KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) mencatat survei konsumen pada Mei 2025 mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi masih terjaga.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso mengatakan catatan itu tecermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Mei 2025 yang tetap berada pada level optimis (indeks >100) sebesar 117,5.
"Terjaganya keyakinan konsumen pada Mei 2025 ditopang oleh Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang tetap berada pada level optimis," ujar dia dalam keterangannya, Kamis, 12 Juni 2025.
Ramdan menjelaskan IKE dan IEK masing-masing tercatat sebesar 106,0 dan 129,0, meski lebih rendah dibandingkan dengan indeks bulan sebelumnya yang masing-masing tercatat sebesar 113,7 dan 129,8.
Di sisi lain, BI mencatat cadangan devisa Indonesia pada akhir Mei 2025 sebesar 152,5 miliar dolar AS, stabil dibandingkan posisi pada akhir April 2025.
Ramdan menuturkan perkembangan tersebut antara lain dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan jasa serta penerimaan devisa migas, di tengah kebutuhan untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah.
"Posisi cadangan devisa pada akhir Mei 2025 setara dengan pembiayaan 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," jelasnya.
Ramdan menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Indonesia Deflasi pada Mei 2025
Di tengah keyakinan konsumen, namun pada Mei 2025 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia mengalami deflasi 0,37 persen secara bulanan (mtm).
Masih mengutip laman resmi BI, Ramdan mengatakan deflasi didorong oleh kelompok volatile food dan administered prices. Namun ke depan, ia menyatakan pihaknya optimis inflasi akan tetap terkendali dalam kisaran sasaran 2,5±1 persen pada 2025 dan 2026.
Deflasi sebesar 0,37 persen yang terjadi pada Mei 2025 bukan sekadar peristiwa statistik. Di balik penurunan harga tersebut, tersembunyi realitas ekonomi yang lebih dalam: masyarakat menahan konsumsi bukan karena tak memiliki kebutuhan, melainkan karena tak memiliki keyakinan.
Ekonom dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menyatakan bahwa kondisi ini mencerminkan tekanan psikologis yang semakin kuat di tengah ketidakpastian ekonomi.
“Konsumen diam bukan karena mereka tak butuh, melainkan karena mereka tak yakin. Mereka meragukan kestabilan pendapatan, khawatir kehilangan pekerjaan, dan merasa belum aman secara finansial,” tegasnya kepada KabarBursacom di Jakarta, Selasa 3 Juni 2025.
Meski inflasi tahunan masih berada di 1,6 persen dan inflasi tahun berjalan tercatat 1,19 persen, penurunan harga tidak otomatis mendorong belanja. Pasokan barang stabil, harga turun, tetapi masyarakat tetap enggan mengeluarkan uang.
Dalam pandangan Syafruddin, ini menandakan adanya krisis kepercayaan yang tidak bisa diatasi hanya dengan kebijakan moneter biasa.
Ia menekankan bahwa deflasi saat ini tidak bisa ditafsirkan sebagai angin segar bagi konsumen, melainkan justru sebagai alarm lemahnya daya beli dan ekspektasi ekonomi.
“Daya beli masyarakat bukan hanya soal nominal pendapatan, tapi soal ekspektasi. Jika mereka merasa masa depan tidak pasti, maka mereka akan menyimpan uangnya, bukan membelanjakannya,” jelasnya.
Kondisi ini berdampak langsung pada sektor produksi. Ketika konsumsi stagnan, produsen cenderung mengurangi output, menahan ekspansi, dan menunda perekrutan tenaga kerja. Akibatnya, siklus ekonomi ikut melambat.
Rantai ekonomi—yang menghubungkan konsumsi, produksi, dan pendapatan—mengalami pelemahan menyeluruh.
Bank Indonesia sebenarnya telah mengambil langkah dengan menurunkan suku bunga acuan sebanyak tiga kali sejak September 2024. Namun, menurut Syafruddin, efektivitas pelonggaran moneter akan sangat tergantung pada sejauh mana kebijakan itu mampu memulihkan kepercayaan publik.
“Suku bunga rendah bisa membantu, tapi tidak cukup kuat jika masyarakat masih diliputi rasa waswas. Tanpa keyakinan akan stabilitas pendapatan, insentif konsumsi tetap tak akan maksimal,” katanya.(*)