Logo
>

BPH Migas Perketat Pembelian Solar Subsidi, Kuota Harian Dipangkas

Ditulis oleh Dian Finka
BPH Migas Perketat Pembelian Solar Subsidi, Kuota Harian Dipangkas

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi atau BPH Migas berencana memperketat aturan pembelian solar subsidi dengan membatasi jumlah maksimal per kendaraan setiap harinya. Kepala BPH Migas, Erika Retnowati, menyebut revisi aturan ini dilakukan untuk memastikan distribusi BBM subsidi lebih tepat sasaran.

    Kebijakan ini akan merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM. “Kami akan menerbitkan pengaturan untuk pengetatan batas maksimal volume penyaluran BBM ini, agar lebih tepat sasaran,” kata Erika dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XII DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 10 Februari 2025.

    Sebenarnya, aturan pembatasan solar subsidi ini bukan hal baru. Saat ini, kendaraan roda empat pribadi mendapat jatah maksimal 60 liter per hari, kendaraan barang roda enam bisa mengisi 80 liter, sedangkan kendaraan barang dengan roda lebih dari enam boleh mengisi hingga 200 liter per hari.

    Namun, menurut Erika, angka itu masih terlalu tinggi dan rentan disalahgunakan. “Itu terlalu banyak karena melebihi kapasitas tangkinya sehingga berpotensi untuk disalahgunakan. Dan berdasarkan kajian yang kami lakukan bersama tim kajian dari UGM, ini akan kami perketat untuk volumenya,” kata Erika.

    Jika rencana ini benar-benar diterapkan, bukan tak mungkin akan ada pro dan kontra dari kalangan pengusaha transportasi. Pasalnya, bagi kendaraan niaga yang menempuh perjalanan jauh, aturan ini bisa sedikit merepotkan. Tapi, di sisi lain, langkah ini juga bisa menekan praktik penyalahgunaan solar subsidi yang selama ini masih terjadi.

    Subsidi Energi 2025

    [caption id="attachment_110177" align="alignnone" width="680"] Petugas SPBU mengisi bahan bakar kendaraan roda empat di Kota Kasablanka, Jumat, 3 Januari 2025. Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji.[/caption]

    Pemerintah sebelumnya telah menetapkan anggaran subsidi energi untuk tahun 2025. Fokus utama subsidi ini tetap pada Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG).

    Berdasarkan hasil Rapat Kerja Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan Komisi VII DPR RI pada Selasa, 27 Agustus 2024, lalu, total alokasi BBM bersubsidi untuk tahun ini mencapai 19,41 juta kiloliter (KL), terdiri dari minyak tanah 0,52 juta KL dan minyak solar 18,89 juta KL. Sementara itu, untuk LPG 3 kg, pemerintah mengalokasikan 8,2 juta metrik ton.

    Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menyebutkan angka ini mengalami sedikit penurunan dibandingkan target tahun sebelumnya yang mencapai 19,58 juta KL. Pemangkasan ini bukan tanpa alasan—pemerintah ingin memastikan penyaluran BBM subsidi lebih efisien dan tepat sasaran.

    “Harapannya jangan ada lagi mobil-mobil mewah memakai barang-barang subsidi,” kata Bahlil, dikutip dari laman esdm.go.id.

    Pemerintah juga memutuskan untuk tetap mempertahankan besaran subsidi solar Rp1.000 per liter di tahun 2025 dengan mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi jika harga BBM dinaikkan.

    Tak hanya BBM dan LPG, subsidi listrik juga mendapat perhatian. Pemerintah mengalokasikan Rp90,22 triliun untuk subsidi listrik tahun 2025, naik cukup signifikan dari target tahun 2024 yang sebesar Rp73,24 triliun. Angka ini mencakup sisa kurang bayar tahun 2023 sebesar Rp2,02 triliun.

    “Kenaikan tersebut didorong oleh perkiraan kenaikan jumlah penerima subsidi listrik dari 40,89 juta pelanggan di tahun 2024 menjadi 42,08 juta di tahun 2025,” kata Bahlil.

    Menanggapi alokasi subsidi listrik ini, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI periode 2019-2024 yang kini menjadi Menteri Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia, Maman Abdurrahman, menekankan pentingnya penyaluran yang lebih tepat sasaran. “Kita harus fokus pada masyarakat di wilayah Indonesia Timur dan pedalaman Kalimantan yang memang sangat membutuhkan subsidi energi,” ujarnya.

    Maman mengatakan validasi data penerima subsidi harus diperbaiki, agar kelompok masyarakat mampu tidak lagi menikmati jatah yang seharusnya untuk mereka yang benar-benar membutuhkan. Dengan begitu, anggaran negara bisa dimanfaatkan lebih efektif tanpa bocor ke kantong yang salah.

    Subsidi Solar Bocor ke Tambang

    [caption id="attachment_96886" align="alignnone" width="680"] Tambang Batu Hijau PT Amman Mineral Internasional Tbk. Foto: Dok. Amman.[/caption]

    Pada Juni 2024, Kementerian ESDM juga mencatat soal ketidaktepat sasaran penyaluran solar subsidi. Ketika itu, harga keekonomian minyak solar mencapai Rp12.100 per liter, sedangkan Harga Jual Eceran (HJE) yang ditetapkan pemerintah hanya Rp6.800 per liter. Selisih yang cukup besar ini membuat solar subsidi tetap jadi pilihan utama untuk berbagai sektor, mulai dari transportasi darat dan laut, kereta api, usaha perikanan, pertanian, usaha mikro, hingga pelayanan umum.

    Agar harga jual eceran tetap stabil, pemerintah pun berupaya menjaga distribusi dan memastikan subsidi tidak salah sasaran.

    Namun, realitas di lapangan tak selalu sesuai harapan. Anggota Komisi VII DPR RI periode 2019-2024, Nasril Bahar, mengungkapkan solar subsidi masih banyak disalahgunakan, terutama di sektor pertambangan. Menurutnya, perbedaan harga yang cukup jauh antara solar subsidi dan non-subsidi membuka peluang bagi oknum untuk bermain curang.

    “Mereka membeli solar bersubsidi dengan harga murah dan kemudian menjualnya kembali ke industri pertambangan dengan harga yang lebih tinggi,” ujar Nasril dalam rapat bersama Menteri ESDM saat itu, Arifin Tasrif, pada Rabu, 5 Juni 2025.

    Pemerintah pun menyatakan berkomitmen memberikan subsidi tetap untuk BBM jenis solar serta subsidi selisih harga untuk minyak tanah. Namun, mekanisme penyalurannya akan diperketat dengan pengendalian volume dan pembatasan kelompok penerima manfaat agar lebih tepat sasaran.

    Arifin Tasrif menjelaskan penentuan besaran subsidi tetap untuk solar tidak dilakukan sembarangan. Pemerintah mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi makro, seperti harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan nilai tukar rupiah untuk memastikan kebijakan subsidi tetap relevan dengan kondisi pasar.

    “Dalam RAPBN Tahun Anggaran 2025, kami mengusulkan subsidi tetap untuk minyak solar sebesar Rp1.000 - Rp3.000 per liter dan subsidi selisih harga untuk minyak tanah,” kata Arifin.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.