Logo
>

Brent dan WTI Naik Lebih dari Lima Persen Berkat Rencana Sanksi Rosneft-Lukoil

Harga minyak dunia melesat lebih dari 5 persen ke level tertinggi dua pekan setelah AS menjatuhkan sanksi terhadap Rosneft dan Lukoil, memicu kekhawatiran pasokan global.

Ditulis oleh Yunila Wati
Brent dan WTI Naik Lebih dari Lima Persen Berkat Rencana Sanksi Rosneft-Lukoil
Ilustrasi kilang minyak global. Foto: Freepik.

KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia kembali melesat tajam pada perdagangan Kamis waktu setempat, 23 Oktober 2025. Rencana Amerika Serikat memberikan sanksi ekonomi baru terhadap dua raksasa energi Rusia, Rosneft dan Lukoil, menjadi sundutan utama melesatnya harga minyak dunia.

Langkah ini menjadi babak baru dalam perang energi global, mengguncang rantai pasok minyak mentah, dan memicu kekhawatiran akan kekurangan suplai di pasar internasional.

Minyak mentah Brent, acuan global, ditutup melonjak 5,4 persen ke USD65,99 per barel. Sementara West Texas Intermediate (WTI), patokan harga minyak Amerika Serikat, ikut terbang 5,6 persen ke USD61,79 per barel. 

Ini bukan sekadar kenaikan sesaat, melainkan reaksi fundamental terhadap langkah geopolitik yang berpotensi mengubah arah pasar energi global. Kenaikan tersebut juga menandai penutupan tertinggi sejak awal Oktober, sekaligus mempertegas kembalinya momentum bullish setelah periode harga yang relatif stagnan.

David Oxley dari Capital Economics menyebut, sanksi AS terhadap Rosneft dan Lukoil sebagai “eskalasi besar” dalam upaya menekan sektor energi Rusia. Ia memperingatkan bahwa dampak dari kebijakan ini bisa cukup signifikan untuk membalikkan pasar minyak global dari kondisi surplus menjadi defisit pada tahun depan. 

Rusia sendiri masih menjadi produsen minyak terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, sehingga setiap gangguan dalam ekspor negara itu memiliki efek domino terhadap keseimbangan pasokan global.

Asia Bergejolak, Cari Alternatif Impor Baru

Dampak sanksi tersebut terasa cepat di Asia. Kilang-kilang besar di China dan India, dua konsumen utama minyak Rusia sejak perang Ukraina Meletus, kini tengah meninjau ulang kontrak pembelian mereka. 

Menurut laporan Reuters, BUMN migas China bahkan menghentikan pengiriman minyak via laut dari dua perusahaan Rusia yang terkena sanksi. Langkah ini semakin menekan pasokan di pasar spot dan memperkuat tekanan kenaikan harga. 

Ole Hansen dari Saxo Bank menilai, para pembeli Asia kini berada di posisi sulit. Mereka harus mencari alternatif pasokan yang tidak terkena risiko sanksi finansial Barat. Dan, alternatif ini menjadi sebuah langkah yang tentu memerlukan waktu dan biaya tinggi.

Sementara itu, OPEC melalui Menteri Perminyakan Kuwait, menyatakan siap menanggapi ketatnya pasokan dengan membuka kembali sebagian produksi yang sebelumnya dipangkas. Pernyataan ini menunjukkan kesiapan kartel minyak untuk menjaga stabilitas pasar, namun juga menegaskan kekhawatiran bahwa sanksi baru ini dapat menciptakan ketidakseimbangan pasokan dalam waktu dekat.

Reaksi Keras Putin Terhadap Sanksi Lukoil-Rusneft

Dari sisi politik, reaksi Rusia cukup keras. Presiden Vladimir Putin menuduh langkah Washington sebagai “upaya menekan Rusia dengan cara tidak bermartabat” dan menegaskan bahwa negaranya tidak akan tunduk pada tekanan eksternal. 

Putin juga memperingatkan bahwa pasar global akan membutuhkan waktu lama untuk menggantikan pasokan minyak Rusia, yang saat ini mencakup sekitar 7 persen dari total pasokan dunia.

Pemerintah Amerika Serikat menegaskan sanksi ini bertujuan mendorong Moskow agar menyetujui gencatan senjata di Ukraina, sembari memperingatkan kemungkinan tindakan tambahan. 

Namun, analis Pavel Molchanov dari Raymond James menilai bahwa dampak jangka pendek dari sanksi mungkin tidak langsung menghentikan ekspor Rusia. Justru, sanksi ini mendorong Rusia untuk menggunakan jaringan perdagangan yang lebih tidak transparan dan berbiaya tinggi. Meskipun marjin keuntungan ekspor mereka tergerus.

Inggris dan Eropa Lebih Dulu Beri Sanksi Rosneft-Lukoil

Sementara itu, di Eropa dan Inggris, langkah serupa juga tengah diambil. Inggris baru saja menjatuhkan sanksi terhadap Rosneft dan Lukoil. Hal yang sama dilakukan Uni Eropa, yang baru saja  meluncurkan paket sanksi ke-19.

Paket tersebut mencakup larangan impor LNG Rusia serta memasukkan beberapa kilang China dan entitas perdagangan, seperti Chinaoil Hong Kong ke dalam daftar hitam. Kebijakan berlapis ini semakin mempersempit ruang gerak ekspor energi Rusia di pasar global.

Dampaknya terhadap sektor hilir juga signifikan. Futures minyak solar AS melonjak hampir 7 persen, mendorong margin keuntungan penyulingan ke level tertinggi sejak Februari. Kenaikan ini menunjukkan tekanan pasokan mulai terasa di seluruh rantai energi. Bukan hanya di pasar minyak mentah, melainkan juga di produk turunan seperti bahan bakar transportasi dan industri.

Analis UBS Giovanni Staunovo, menekankan bahwa arah harga minyak ke depan akan sangat bergantung pada bagaimana India bersikap. India, yang selama dua tahun terakhir menjadi pembeli terbesar minyak diskon Rusia, kini berada di persimpangan. Mereka mau melanjutkan impor murah dengan risiko terkena sanksi, atau mencari alternatif pasokan dari Timur Tengah dan Afrika. 

Menurut laporan industri, perusahaan raksasa India seperti Reliance Industries bahkan sedang mempertimbangkan penghentian penuh pembelian minyak dari Rosneft dan Lukoil. Dan lagi-lagi, langkah inindapat memicu lonjakan harga lebih lanjut di pasar global.

Dengan latar belakang geopolitik yang semakin kompleks ini, penguatan harga minyak bukan sekadar refleksi dari sanksi semata, tetapi juga representasi dari krisis kepercayaan terhadap kestabilan pasokan energi global.

Sanksi terhadap dua pemain besar Rusia berpotensi menciptakan pergeseran jangka panjang dalam pola perdagangan minyak dunia. Negara-negara pengimpor utama kini harus menata ulang rantai pasokan mereka di tengah risiko politik dan finansial yang meningkat.

Kenaikan tajam harga minyak Brent dan WTI pada pekan ini mencerminkan bahwa pasar sedang memasuki fase sensitif, di mana faktor geopolitik dan strategi energi saling bersinggungan dengan ekonomi global. Bagi investor, situasi ini mempertegas kembali bahwa minyak bukan hanya komoditas, tetapi barometer ketegangan dan dinamika kekuatan dunia.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79