KABARBURSA.COM - Usulan pembentukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai offtaker rumah subsidi, disebut “Bulog Perumahan”, kembali memantik perdebatan publik. Wacana ini dilempar oleh Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Fahri Hamzah, sebagai langkah strategis untuk menanggulangi backlog perumahan yang hingga 2023 tercatat mencapai 13 juta unit.
Namun, sejumlah ekonom memperingatkan bahwa solusi tersebut tidak bisa serta-merta dianggap obat mujarab atas krisis perumahan nasional. Salah satunya adalah Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, yang menyebut urgensi gagasan ini perlu diuji dari perspektif fiskal dan efektivitasnya dalam menyasar akar persoalan.
“Dengan argumentasi ketiga ini, pembentukan BUMN Baru seperti Bulog Perumahan tidak bijak di saat keuangan negara memburuk dan tidak tepat waktu karena menjadi beban fiskal baru,” kata Achmad dalam keterangannya, Selasa 29 Juli 2025.
Dari sisi fiskal, pembentukan BUMN perumahan bukan perkara ringan. Model bisnis offtaker memang menjanjikan stabilisasi harga dan jaminan pasar bagi pengembang, tetapi pemerintah harus menanggung beban awal yang cukup besar. Berdasarkan simulasi, modal awal untuk mendirikan entitas ini dapat berkisar antara Rp1 hingga Rp3 triliun.
Tak hanya itu, potensi subsidi terselubung juga menjadi perhatian. Jika rumah dibeli dengan harga pasar dari pengembang dan dijual lebih murah kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), selisihnya akan menjadi kompensasi fiskal. Situasi ini mirip dengan skema subsidi energi atau kompensasi BBM yang selama ini membebani APBN.
Achmad menilai, persoalan lain yang tak boleh diabaikan adalah kemungkinan tumpang tindih fungsi dengan BUMN yang telah ada. “Saat ini sudah ada Perum Perumnas yang mendapat mandat membangun rumah rakyat, meski kinerjanya stagnan,” katanya. Maka, memperkuat lembaga yang sudah ada bisa menjadi alternatif yang lebih efisien dibanding membentuk institusi baru dari nol.
Penyebab utama backlog perumahan bukan karena kurangnya pasokan hunian, melainkan karena masyarakat tidak mampu membeli rumah yang tersedia. Harga rumah subsidi masih terlalu tinggi bagi sebagian besar MBR, lokasi pembangunan umumnya jauh dari pusat ekonomi, dan proses pembelian kerap rumit secara administratif maupun finansial.
Dalam kondisi ini, peran offtaker bisa menjadi jembatan antara pasokan dan permintaan. Achmad menggambarkan model ini seperti Bulog dalam sektor pangan yang menyerap produksi dari petani, kemudian mendistribusikannya dengan harga yang terjangkau.
“Mereka membangun rumah, namun kesulitan menjualnya, karena pemerintah tidak hadir sebagai pembeli pertama,” ujarnya, menggambarkan kondisi para pengembang saat ini.
Namun, ia mengingatkan bahwa desain kelembagaan off-taker harus berbeda dari pola lama yang birokratis dan lambat. Ia menyarankan agar model ini bersifat lincah dan efisien seperti startup, namun tetap berpihak pada misi sosial seperti lembaga publik.
Achmad menekankan bahwa negara memang perlu hadir dalam menyelesaikan masalah perumahan, tetapi kehadiran itu harus dikelola secara bijak dan bertanggung jawab secara fiskal. Intervensi pemerintah seharusnya tidak menambah beban keuangan negara secara signifikan, apalagi dalam situasi fiskal yang sedang ketat.
Ia juga menyarankan agar pemerintah memulai inisiatif ini lewat skema pilot project di daerah-daerah dengan backlog tinggi seperti Jawa Barat atau Banten, sehingga efektivitas dan efisiensinya bisa dievaluasi sebelum diperluas.
“Jika negara ingin membentuk Bulog Perumahan, maka ia harus belajar dari keberhasilan dan kegagalan Bulog yang sesungguhnya,” kata Achmad.
Lembaga offtaker perumahan idealnya tidak mengambil alih peran pengembang, melainkan berfungsi sebagai agregator dan distributor. Fokus utamanya adalah menyerap unit rumah dari pengembang dan menyalurkannya secara tepat sasaran kepada MBR dengan pendekatan seleksi yang terverifikasi.
Dengan dukungan sistem daring dan basis data yang kuat, distribusi bisa dilakukan melalui mekanisme by-name by-address atau kolaborasi dengan program bantuan sosial. Cara ini diyakini dapat memangkas rantai distribusi, menstabilkan harga rumah subsidi di kisaran Rp130 juta, dan mendorong partisipasi pengembang swasta.
Namun, Achmad mengingatkan bahwa solusi satu pintu seperti BUMN saja tidak akan cukup menyelesaikan persoalan sistemik. Tantangan seperti tata ruang yang tidak adaptif, izin pembangunan yang lambat, hingga kurangnya infrastruktur dasar juga harus dibenahi dalam satu paket kebijakan terpadu.
“Mimpi memiliki rumah tidak boleh menjadi hak istimewa bagi segelintir. Negara harus memastikan, lewat intervensi cerdas dan tepat, bahwa rumah adalah hak dasar yang nyata bagi setiap warga negara," tutupnya. (*)