KABARBURSA.COM – Bursa saham di kawasan Asia emerging markets mencatatkan performa cemerlang pada sesi perdagangan Selasa sore. 7 Oktober 2025. Performa cemerlang ini berkat reli di bursa Taiwan, Singapura, dan Indonesia, yang berhasil menembus rekor tertinggi baru.
Tampak sekali jika investor sangat optimis terhadap prospek ekonomi regional di tengah ekspektasi penurunan suku bunga oleh sejumlah bank sentral Asia dan dukungan dari penguatan pasar global, terutama Wall Street.
Pendorong utama penguatan pasar Asia hari ini datang dari Taiwan, di mana indeks TAIEX melonjak 1,68 persen ke rekor tertinggi. Reli ini didorong oleh lonjakan saham Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC), yang menjadi pemimpin di sektor semikonduktor global.
Dorongan positif datang setelah AMD mengumumkan kerja sama pasokan chip jangka panjang dengan OpenAI. Kabar itu memicu euforia pada saham berbasis artificial intelligence (AI) di kawasan Asia Timur.
Reli di TAIEX turut memperpanjang penguatan indeks teknologi global, mengikuti jejak S&P 500 dan Nasdaq yang juga ditutup di rekor tertinggi tadi pagi. Investor kini semakin percaya diri bahwa tren AI bukan hanya fenomena jangka pendek, tetapi telah menjadi katalis struktural bagi pasar saham global, terutama di sektor teknologi dan manufaktur chip.
Penguatan IHSG dan STI Dorong Kepercayaan Pasar Asia Tenggara
Di kawasan Asia Tenggara, dua indeks utama, yaitu IHSG Indonesia dan STI Singapura, juga mencatatkan rekor baru. IHSG naik 0,40 persen ke level tertinggi tahun ini, didorong oleh aliran dana asing yang masuk ke saham-saham berkapitalisasi besar di sektor keuangan dan infrastruktur.
Optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, inflasi yang terjaga, dan stabilitas politik menjelang tahun fiskal baru memperkuat posisi IHSG sebagai salah satu pasar terbaik di kawasan emerging Asia, dengan kenaikan 15,43 persen secara year-to-date (YtD).
Sementara itu, STI Singapura menguat 0,89 persen dan mencatatkan kenaikan 17,78 persen YtD. Di sini investor sepertinya yakin terhadap daya tahan ekonomi Singapura di tengah ketidakpastian global.
Kinerja saham-saham properti dan perbankan menjadi penopang utama, seiring ekspektasi bahwa Monetary Authority of Singapore (MAS) akan tetap mempertahankan kebijakan moneter yang akomodatif guna menjaga momentum pertumbuhan.
Berbeda dengan Indonesia dan Singapura, bursa saham Malaysia justru terkoreksi. Indeks KLSE melemah 0,69 persen, menjadikannya satu-satunya indeks utama Asia Tenggara yang berada di zona merah sore ini.
Pelemahan ini terjadi di tengah kenaikan ringgit Malaysia (USDMYR +0,00 persen), yang mulai membatasi daya saing ekspor negara tersebut. Investor juga masih menunggu sinyal baru terkait kebijakan fiskal dan reformasi ekonomi dari pemerintah Malaysia yang tengah menghadapi perlambatan investasi asing.
Sementara itu, indeks SET Thailand dan PSEI Filipina justru mencatatkan lonjakan tajam masing-masing 1,46 persen dan 1,39 persen, setelah mengalami tekanan beberapa pekan terakhir.
Di Thailand, pasar mengantisipasi keputusan Bank of Thailand (BoT) yang akan diumumkan Rabu besok, 8 Oktober 2025. Dengan inflasi yang menurun dan pertumbuhan ekonomi yang melemah, analis Nomura memperkirakan peluang 65 persen BoT akan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin.
Kondisi serupa terjadi di Filipina, di mana inflasi yang masih dalam rentang target 2–4 persen memberi ruang bagi Bangko Sentral ng Pilipinas (BSP) untuk memangkas suku bunga.
Barclays memperkirakan pemangkasan sebesar 25 basis poin dapat dilakukan minggu ini, yang membuat investor kembali masuk ke pasar saham Manila. Peso Filipina menguat tipis 0,1 persen, sementara indeks PSEI mencatat rebound setelah sempat tertekan selama beberapa bulan terakhir.
Dolar Menguat, Yen Melemah Tajam
Di pasar valuta, indeks mata uang emerging market MSCI melemah karena dolar AS kembali menguat. Penguatan ini terjadi setelah investor global kembali membeli aset-aset berbasis dolar sebagai lindung nilai menjelang pengumuman data ekonomi AS yang penting pekan ini.
Mata uang yen Jepang jatuh ke level terendah dua bulan, melemah 0,14 persen terhadap dolar AS, setelah Sanae Takaichi, tokoh berhaluan dovish, terpilih sebagai pemimpin baru partai berkuasa.
Pasar menilai kemenangan Takaichi bisa memperpanjang kebijakan moneter ultra-longgar Bank of Japan, yang membuat yen kehilangan daya tarik di tengah tren kenaikan suku bunga global.
Mata uang lain seperti rupiah Indonesia (USDIDR +0,09 persen), ringgit Malaysia (USDMYR +0,00 persen), dan rupee India (USDINR +0,03 persen) bergerak relatif stabil.
Namun baht Thailand melemah cukup tajam, 0,5 persen, ke posisi terendah enam minggu menjelang keputusan BoT, di mana ekspektasi penurunan suku bunga memperlemah daya tarik aset baht.
Secara keseluruhan, indeks MSCI untuk saham emerging market Asia naik 0,5 persen, menandai level tertinggi sejak Maret 2021. Kenaikan ini menunjukkan meningkatnya minat investor terhadap aset berisiko, seiring ekspektasi bahwa bank-bank sentral Asia mulai beralih dari kebijakan ketat menuju pelonggaran moneter.
Namun, meski sentimen saat ini positif, sejumlah analis memperingatkan potensi aksi ambil untung (profit taking) dalam waktu dekat, mengingat reli yang cukup panjang dalam dua pekan terakhir.
Penguatan indeks di Taiwan, Singapura, dan Indonesia sudah menempatkan pasar dalam area jenuh beli (overbought) secara teknikal.
Bursa Asia di Puncak Optimisme
Bursa Asia sore ini bergerak di bawah sentimen optimisme global yang kuat, dipimpin oleh penguatan sektor teknologi dan ekspektasi pemangkasan suku bunga regional. Taiwan dan Indonesia menjadi motor utama reli kawasan, sementara Thailand dan Filipina ikut menguat di tengah ekspektasi pelonggaran moneter.
Namun, pergerakan positif ini juga disertai sinyal waspada dari pasar valuta, di mana dolar AS kembali menguat dan yen terus melemah. Dalam jangka pendek, pasar masih berpotensi lanjut menguat, tetapi risiko koreksi akan meningkat jika data ekonomi global atau keputusan bank sentral regional tidak sesuai ekspektasi.
Dengan kata lain, Asia sedang menikmati reli optimisme, namun keseimbangannya rapuh, di antara euforia AI global, ekspektasi pelonggaran moneter, dan risiko penguatan dolar yang bisa sewaktu-waktu membalikkan arah.(*)