KABARBURSA.COM - Beijing tampaknya sedang memainkan kartu balas dendamnya terhadap Amerika Serikat. Setelah lebih dulu menargetkan Nvidia dan Google dengan tuduhan praktik monopoli, kini daftar perusahaan AS yang diawasi China makin panjang. Nama-nama besar seperti Apple, Broadcom, hingga perusahaan desain semikonduktor Synopsys juga masuk radar.
Synopsys sendiri punya urusan besar di China—mereka sedang menunggu lampu hijau dari Beijing untuk menyelesaikan akuisisi senilai USD35 miliar (sekitar Rp560 triliun). Tak heran, Beijing memanfaatkan momen ini untuk memperkuat posisi tawar mereka.
“China sedang mengumpulkan chip untuk bernegosiasi,” ujar analis kebijakan teknologi dari Trivium China, Tom Nunlist, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Senin, 10 Februari 2025. Ia menggambarkan situasi ini seperti permainan poker, di mana China ingin membawa sesuatu ke meja negosiasi agar bisa bermain lebih agresif.
Namun, strategi ini tak datang tanpa risiko. Jika dulu, saat era Trump, perusahaan-perusahaan AS masih mau membela kepentingan China, kini kondisinya berbeda. Ancaman Beijing bisa jadi bumerang dan membuat investor asing justru ragu menanamkan modal di China—sesuatu yang justru ingin dihindari oleh Beijing.
Dalam beberapa tahun terakhir, China memang makin gencar meniru taktik AS dalam mengatur pasar. Pada 2020, mereka menciptakan daftar “entitas tidak dapat dipercaya,” mirip dengan daftar hitam AS yang menghambat bisnis Huawei dan perusahaan China lainnya. Lalu, pada 2022, China merevisi undang-undang antitrust untuk memperketat pengawasan merger yang dianggap merugikan persaingan pasar.
Sumber Wall Street Journal yang dekat dengan kebijakan Beijing menyebutkan, langkah-langkah ini juga ditujukan untuk menarik perhatian para petinggi perusahaan AS yang pernah akrab dengan Trump, seperti Sundar Pichai (Google) dan Tim Cook (Apple).
Tak butuh waktu lama, hanya berselang beberapa jam setelah AS resmi mengenakan tarif tambahan 10 persen terhadap barang-barang China pada Selasa lalu, Beijing langsung mengumumkan penyelidikan antitrust terhadap Google.
Tampaknya, China masih menyimpan dendam lama. Pada 2019, Google membatasi akses Huawei ke sistem operasi Android setelah menyesuaikan aturan dengan kebijakan AS. Huawei pun kehilangan akses ke layanan Google dan terpaksa mengembangkan sistem operasinya sendiri.
Seperti permainan catur yang terus berlanjut, China juga menyasar Nvidia, tak lama setelah pemerintahan Biden memperketat kontrol ekspor semikonduktor ke China pada Desember lalu. Sepekan setelah kebijakan AS itu, Beijing langsung mengumumkan penyelidikan terhadap Nvidia terkait merger yang mereka lakukan pada 2019.
Investigasi ini berfokus pada apakah Nvidia sengaja mendiskriminasi perusahaan China dengan menghentikan penjualan produk tertentu. Sejak 2022, kebijakan ekspor AS memang membatasi Nvidia dalam menjual chip AI canggihnya ke China. Tentu saja, Nvidia enggan memberikan komentar.
Sementara itu, Apple juga tak luput dari sorotan. Perusahaan berbasis di Cupertino itu kerap berselisih dengan raksasa teknologi China seperti Tencent dan ByteDance terkait kebijakan pemotongan komisi di App Store. Perusahaan-perusahaan China menilai aturan Apple soal pembayaran dalam aplikasi tidak adil.
Keluhan ini sebenarnya bukan hal baru—regulator di berbagai negara juga menaruh perhatian pada kebijakan App Store Apple. Namun, dalam beberapa pekan terakhir, otoritas China mulai terjun langsung meneliti masalah ini. Beberapa pejabat menganggap tarif Apple di China terlalu tinggi dan aturan pembayaran aplikasinya menghambat persaingan pasar.
Hasil akhirnya? Apple kini menjadi salah satu “kartu” lain yang bisa dimainkan Beijing dalam negosiasi dagang dengan AS.
Akuisisi Raksasa Teknologi AS Terancam Gagal
Dalam dunia bisnis global, merger perusahaan multinasional selalu butuh restu dari regulator antimonopoli di berbagai negara. Kalau ada satu negara besar yang menolak, kesepakatan bisa langsung ambyar.
Sudah ada preseden soal ini. Pada 2018, di tengah tensi dagang antara AS dan China di era pertama pemerintahan Trump, Qualcomm terpaksa membatalkan rencana akuisisi produsen chip asal Belanda, NXP Semiconductors. Alasannya adalah China tidak memberi izin.
Kasus serupa hampir terjadi pada akuisisi Broadcom atas VMware yang diumumkan pada Mei 2022 dengan nilai USD61 miliar (sekitar Rp976 triliun). Kesepakatan ini sempat di ujung tanduk sampai akhirnya Presiden AS Joe Biden bertemu dengan Presiden China Xi Jinping pada November 2023. Setelah pertemuan itu, kedua negara sepakat meredakan ketegangan. Tak lama kemudian, China memberi restu dengan syarat: Broadcom harus memastikan pasokan produk ke pelanggan di China tetap aman.
China makin sering menggunakan taktik seperti ini, terutama dalam merger perusahaan semikonduktor. Dengan menambahkan syarat ketat, perusahaan yang sudah menyelesaikan merger tetap berada di bawah pengawasan regulator. Intel dan AMD, misalnya, beberapa tahun terakhir mendapatkan izin akuisisi di China dengan berbagai persyaratan tambahan.
“Dengan menerapkan aturan kepatuhan yang ketat, Beijing bisa menekan perusahaan dan menjatuhkan sanksi kalau ada pelanggaran,” ujar profesor di University of Southern California yang mendalami hukum antimonopoli China, Angela Zhang.
Namun, Beijing juga tak bisa sembarangan. “China harus berhati-hati saat menargetkan perusahaan AS, terutama yang masih mereka butuhkan, seperti Nvidia,” tambah Zhang.
Salah satu kesepakatan bisnis yang kini terkatung-katung adalah akuisisi Synopsys atas Ansys, perusahaan perangkat lunak teknik senilai USD35 miliar (sekitar Rp560 triliun).
Masalahnya, Synopsys sebelumnya tunduk pada aturan ekspor AS yang membatasi akses China terhadap perangkat lunak desain chip canggih. Hal ini jelas bikin Beijing kesal. Pada Desember lalu, regulator antimonopoli China memberi tahu Synopsys bahwa mereka menghentikan proses peninjauan merger dengan alasan kurangnya dokumen pendukung.
Meski begitu, juru bicara Synopsys tetap optimistis. “Kami yakin tinjauan ini akan selesai dengan hasil positif dan berharap transaksi ini bisa rampung di semester pertama 2025,” ujarnya.
Selain aturan antimonopoli, China juga menggunakan dalih keamanan nasional untuk menekan perusahaan AS. Tahun lalu, China melarang perusahaan-perusahaan besar mereka membeli chip dari Micron Technology—perusahaan semikonduktor AS. Mereka berdalih hasil investigasi keamanan siber menemukan risiko terhadap keamanan nasional.
Tentu saja, Washington langsung membantah. Departemen Perdagangan AS menyebut keputusan China tak berdasar dan lebih bernuansa politik. Taktik ini menunjukkan perang dagang AS-China tak cuma soal tarif impor atau pembatasan ekspor, tetapi juga soal siapa yang bisa mengontrol industri teknologi global.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.