KABARBURSA.COM – China mempercepat langkah dalam membangun cadangan minyak mentah pada Juni 2025. Impor minyak yang mencapai rekor tertinggi dalam dua tahun terakhir melampaui volume pengolahan di kilang domestik, sehingga menciptakan surplus yang signifikan.
Berdasarkan perhitungan Reuters dari data resmi pemerintah, China memiliki surplus minyak mentah sebesar 1,42 juta barel per hari (bph) pada Juni. Angka ini naik tipis dari 1,40 juta bph pada Mei dan menjadi bulan keempat berturut-turut dengan kelebihan pasokan di atas 1 juta bph. Selama semester pertama 2025, surplus rata-rata harian tercatat 1,06 juta barel, menunjukkan tren kuat sejak kuartal kedua, meskipun awal tahun berjalan lambat.
Surplus ini memberikan fleksibilitas bagi perusahaan kilang di China. Mereka kini memiliki opsi untuk menahan atau mengurangi impor apabila menilai harga minyak naik terlalu tajam, terutama setelah gejolak geopolitik seperti konflik Israel-Iran bulan lalu.
Meski otoritas China tidak mengungkapkan data resmi soal aliran keluar-masuk cadangan minyak strategis dan komersial, tren penumpukan minyak bisa dibaca dari selisih antara pasokan dan jumlah minyak yang diolah di kilang.
Selama Juni, kapasitas pengolahan kilang naik ke level 15,15 juta bph, melonjak 8,8 persen dibanding Mei, dan menjadi level tertinggi sejak September 2023. Di sisi lain, impor minyak mentah China mencapai 12,14 juta bph, tertinggi sejak Agustus tahun lalu dan naik 7,1 persen dari bulan sebelumnya. Produksi domestik juga meningkat tipis menjadi 4,43 juta bph, dari sebelumnya 4,35 juta.
Jika digabung, total pasokan minyak yang tersedia di dalam negeri mencapai 16,57 juta bph, jauh di atas kapasitas pengolahan sehingga menghasilkan surplus bersih 1,42 juta bph. Meski belum tentu seluruh kelebihan ini masuk ke dalam tangki penyimpanan—karena sebagian bisa diolah oleh kilang yang tidak tercakup dalam data resmi—surplus tetap mencerminkan strategi akumulasi cadangan.
Main Aman di Harga Murah
China dikenal memiliki kebiasaan membeli minyak dalam jumlah besar ketika harga rendah, lalu mengerem pembelian saat harga naik. Strategi ini terlihat jelas di kuartal kedua. Ketika harga minyak global sedang turun, China justru mengamankan banyak kontrak pengiriman.
Pada April hingga awal Mei, harga patokan global Brent jatuh dari USD75,47 per barel menjadi USD58,50, level terendah dalam empat tahun terakhir. Periode inilah ketika kontrak pengiriman kuartal kedua disepakati. Sebaliknya, volume impor yang lebih rendah pada kuartal pertama terjadi di tengah tren harga naik. Harga Brent naik dari USD70,85 pada awal Desember 2024 menjadi USD82,63 pada pertengahan Januari 2025, membuat biaya impor lebih mahal bagi kilang China.
Namun volatilitas harga kembali terjadi. Konflik singkat antara Israel dan Iran pada Juni sempat mendorong harga Brent ke level USD81,40 pada 23 Juni, sebelum turun tajam ke USD68,71 pada Selasa lalu, dipicu kekhawatiran pasar atas dampak ekonomi dari kenaikan tarif impor yang dijanjikan Presiden AS Donald Trump.
Dengan kondisi ini, besar kemungkinan kilang-kilang China akan menahan laju impor pada Agustus dan September. Meski demikian, semuanya akan bergantung pada apakah lonjakan harga Juni hanya bersifat sementara di tengah tren penurunan harga global.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.