Logo
>

CORE: BI Terjepit Dilema Suku Bunga

CORE menyebut Bank Indonesia terjepit antara tekanan eksternal dari The Fed dan kebutuhan riil untuk melonggarkan moneter di tengah konsumsi dan pembiayaan yang masih lemah.

Ditulis oleh Dian Finka
CORE: BI Terjepit Dilema Suku Bunga
The Fed tahan suku bunga, tapi sektor riil RI butuh stimulus. CORE menyebut BI terjepit antara menjaga stabilitas rupiah dan memberi napas ke ekonomi domestik. Foto: Setiapgedung.id.

KABARBURSA.COM – Keputusan The Federal Reserve atau The Fed menahan suku bunga acuan pada Mei 2025 menjadi sinyal kuat bahwa bank sentral Amerika belum siap melonggarkan kebijakan moneter. Langkah ini memicu kehati-hatian di pasar global, termasuk Indonesia, yang kini menghadapi tekanan terhadap rupiah, pasar modal, dan ruang gerak suku bunga Bank Indonesia.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menilai kondisi ini menjadi dilema tersendiri bagi bank sentral di negara berkembang.

Di satu sisi, sektor riil membutuhkan pelonggaran moneter untuk mendorong pertumbuhan. Namun di sisi lain, risiko inflasi global yang meningkat membuat ruang untuk manuver menjadi sangat terbatas.

“Dalam kondisi seperti ini sebetulnya ada sinyal untuk melonggarkan moneter dengan menurunkan tingkat suku bunga acuan. Tapi itu tidak dilakukan karena memang ada ekspektasi bahwa inflasi akan meningkat sejalan dengan berlakunya kebijakan Trump, terutama yang kaitannya dengan tarif resiprokal,” ujar Faisal saat dihubungi KabarBursa.com, Senin, 19 Mei 2025.

Faisal menjelaskan, salah satu pemicu utama kekhawatiran The Fed adalah potensi lonjakan inflasi akibat kebijakan dagang Amerika Serikat. Meski tensi dengan China sempat mereda, tarif impor yang diterapkan Amerika terhadap produk Negeri Tirai Bambu tersebut tetap tinggi dalam konteks historis.

“Walaupun sekarang ada penurunan tensi dengan China, tapi itu sifatnya hanya penurunan dibandingkan dengan tarif sebelumnya yang sempat di atas 100 persen. Kalau dilihat dari sejarahnya, tarif sebesar 30 persen terhadap produk China itu masih termasuk yang tertinggi sepanjang sejarah kebijakan tarif di Amerika,” jelasnya.

Dengan kebijakan tersebut, Faisal menilai risiko inflasi di Amerika Serikat akan tetap tinggi ke depan. Pasalnya, beban tarif tersebut pada akhirnya akan ditanggung konsumen domestik, mendorong naiknya harga barang secara umum.

“Kalau tarif-tarif itu diterapkan lebih luas lagi terhadap negara-negara lain setelah masa tenggang 90 hari berakhir, maka akan ada tekanan tambahan terhadap inflasi Amerika. Dan inflasi ini bukan main-main karena efeknya langsung ke harga-harga,” ungkapnya.

Rupiah dan Pasar Modal Tertekan

Dalam konteks Indonesia, Faisal melihat keputusan The Fed menahan suku bunga sebagai upaya untuk menjaga stabilitas global yang masih rentan. Namun bagi Bank Indonesia (BI), langkah ini membuat ruang kebijakan menjadi lebih sempit. BI tidak bisa gegabah menurunkan suku bunga acuan meskipun sektor riil sangat membutuhkan dorongan.

“Bagi Indonesia, ketika suku bunga The Fed tidak dinaikkan dan tidak juga diturunkan, maka posisi BI pun berada dalam kondisi menunggu. Ini paling tidak membantu mempertahankan kondisi yang ada saat ini,” ujarnya.

Menurut Faisal, jika The Fed sampai menurunkan suku bunga, biasanya itu akan memberikan ruang bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk ikut melonggarkan kebijakan moneter. Ini bisa mendorong aliran modal masuk ke pasar keuangan domestik, memperkuat rupiah, dan menggairahkan pasar modal.

“Tapi sekarang semua pembacaan sama. Walaupun inflasi di Amerika sudah turun, ekspektasi inflasi ke depan justru meningkat. Itu sebabnya The Fed memilih tetap berjaga-jaga dan belum mau melonggarkan,” jelasnya.

Situasi ini, kata Faisal, membuat rupiah berpotensi tertekan karena investor global cenderung mempertahankan portofolionya di aset dolar AS. Pasar modal pun tidak mendapatkan dorongan positif karena pelonggaran moneter belum terjadi, baik di Amerika maupun di Indonesia.

“Rupiah dan pasar modal akan mengalami tekanan selama The Fed mempertahankan suku bunga tinggi. Ini menciptakan kondisi wait and see bagi investor asing,” kata Faisal.

Pelonggaran Moneter Jadi Mendesak

Di tengah tekanan eksternal tersebut, Faisal menyoroti kebutuhan sektor riil yang saat ini sedang menghadapi tantangan berat. Permintaan domestik belum sepenuhnya pulih, konsumsi masih lemah, dan dunia usaha masih menunggu kepastian dari sisi pembiayaan.

“Kalau melihat kebutuhan dari kondisi ekonomi riil saat sekarang, memang dibutuhkan pelonggaran tingkat suku bunga, pelonggaran moneter untuk mendorong pertumbuhan,” tegasnya.

Namun, ia menambahkan BI tidak bisa bertindak hanya berdasarkan kebutuhan domestik saja. Risiko global yang berasal dari Amerika dan kebijakan tarif harus ikut diperhitungkan agar tidak menciptakan tekanan baru terhadap nilai tukar dan inflasi dalam negeri.

“Ini dilema klasik. Di satu sisi ekonomi riil butuh stimulus, tapi di sisi lain risiko dari luar negeri juga besar. Itulah sebabnya BI juga harus sangat berhati-hati dalam mengambil kebijakan,” kata Faisal.

The Fed Tahan Bunga di 4,25–4,50 Persen

The Fed sebelumnya memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya di kisaran 4,25 persen hingga 4,50 persen pada rapat FOMC yang digelar 7 Mei 2025 waktu setempat. Keputusan ini memperpanjang sikap wait and see bank sentral Amerika di tengah ketidakpastian arah inflasi dan prospek ekonomi global.

Dalam pernyataan resminya di laman federalreserve.gov, Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) menyatakan bahwa aktivitas ekonomi Amerika masih tumbuh pada laju yang solid, sementara pasar tenaga kerja tetap kuat dan tingkat pengangguran stabil di level rendah. Namun, inflasi disebut “masih agak tinggi” dan ketidakpastian terhadap prospek ekonomi dinilai terus meningkat .

“Komite tetap memperhatikan risiko di kedua sisi mandatnya, dan menilai bahwa risiko terhadap peningkatan pengangguran maupun inflasi sama-sama telah naik,” tulis FOMC.

Dalam konteks kebijakan, FOMC menyatakan akan terus mengevaluasi data ekonomi terbaru, ekspektasi inflasi, serta perkembangan domestik dan internasional sebelum menentukan penyesuaian suku bunga lebih lanjut. Komite juga tidak menutup kemungkinan melakukan penyesuaian jika muncul risiko signifikan terhadap pencapaian target inflasi dua persen dan lapangan kerja maksimal.

Keputusan ini juga mencerminkan pandangan internal bahwa tekanan inflasi saat ini belum cukup mereda secara struktural, terutama yang berasal dari sektor jasa dan pasar tenaga kerja—fenomena yang dikenal sebagai sticky inflation.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.