KABARBURSA.COM - Ketegangan geopolitik yang memuncak di Timur Tengah diprediksi menciptakan efek berlapis terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. Selain menimbulkan ancaman fiskal, peningkatan tensi geopolitik berpotensi menaikkan inflasi pangan dan penurunan daya beli masyarakat.
Laporan terbaru Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyoroti disrupsi pasokan energi akibat ancaman penutupan Selat Hormuz dapat mengerek biaya impor pangan dan logistik.
Komoditas strategis seperti gandum, kedelai, dan gula menjadi perhatian utama karena tingkat ketergantungan impor mencapai 100 persen, 70 persen, dan antara 30 hingga 40 persen.
"Biaya logistik yang tinggi menciptakan efek ganda terhadap inflasi pangan, baik dari sisi impor maupun distribusi dalam negeri," tulis CORE dalam keterangannya, Rabu, 2 Juli 2025.
CORE menjelaskan, lonjakan harga minyak akan menaikkan ongkos distribusi, khususnya karena sistem transportasi darat dan laut Indonesia masih sangat bergantung pada BBM.
Lembaga ini juga memprediksi dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi terjadi dalam dua gelombang. Gelombang pertama berupa tekanan langsung terhadap sektor-sektor padat energi seperti logistik, pertanian, dan perikanan.
Lebih lanjut, gelombang kedua muncul ketika seluruh pelaku usaha dalam rantai pasok mulai menyesuaikan harga jual mereka sebagai respons terhadap biaya produksi yang membengkak.
"Pada akhirnya, kondisi ini melemahkan daya beli masyarakat dan mendorong pergeseran pola konsumsi ke produk yang lebih murah dan kurang bergizi," terangnya.
Wilayah terpencil seperti Papua dan Indonesia Timur diprediksi akan menjadi yang paling terdampak akibat tingginya ongkos logistik dan ketergantungan pada energi fosil.
Berkaca dari Perang Rusia-Ukraina
Pengalaman inflasi tinggi pada 2022 akibat perang Rusia-Ukraina menjadi cermin yang relevan. Ketika itu, lonjakan harga komoditas global dan BBM domestik mendorong inflasi tahunan Indonesia menembus angka 5 persen.
CORE menggarisbawahi bahwa situasi serupa bisa kembali terjadi jika harga minyak global menembus angka USD 100–130 per barel pada kuartal ketiga hingga keempat 2025. Analisis CORE terhadap data Indeks Penjualan Riil (IPR) dan Indeks Harga Konsumen (IHK) periode 2014–2023 mengungkap pola yang konsisten, yakni inflasi yang tinggi langsung berdampak negatif terhadap konsumsi rumah tangga.
“Lonjakan inflasi menyebabkan penurunan konsumsi rumah tangga secara tajam dalam tiga bulan pertama," katanya.
Pemulihan baru terjadi secara bertahap dan normal kembali pada bulan ke-20 setelah guncangan. Tak hanya itu, tekanan inflasi juga berdampak pada sisi produksi industri. CORE mencatat bahwa ketika IHK melonjak, IPR turun signifikan. Penurunan terdalam terjadi pada bulan ketiga pasca-inflasi, dengan kontraksi hampir mencapai -10 poin.
Ini mencerminkan tekanan berat terhadap dunia usaha yang menghadapi biaya input produksi yang lebih tinggi dan permintaan yang melemah.
Namun demikian, ada optimisme yang ditunjukkan lewat tren pemulihan. Mulai bulan ke-5 hingga ke-12, IPR mulai membaik meskipun belum pulih sepenuhnya.
Pada bulan ke-20, indeks kembali ke titik netral, menandakan bahwa aktivitas produksi mulai stabil seiring penyesuaian ekonomi terhadap tekanan harga.(*)