KABARBURSA.COM - Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia melihat Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 cenderung optimistis dan memiliki risiko.
Hal tersebut disampaikan CORE ketika berkaca dari historis target asumsi makro Indonesia dalam APBN yang kerap meleset. Sementara, RAPBN 2026 dengan asumsi cenderung optimistis berisiko mengulang pola yang sama.
"Deviasi antara target dan realisasi bukan sekadar perbedaan teknis, melainkan sinyal rapuhnya postur fiskal yang dibangun di awal tahun anggaran," tulis CORE dalam risetnya, Kamis, 21 Agustus 2025.
Dari segi pertumbuhan ekonomi misalnya, CORE mencatat di tahun-tahun sebelumnya terdapat target yang tidak terealisasi. Seperti tahun 2015, 2020, 2022, 2023, dan 2024.
CORE menyebut ketika pertumbuhan meleset dari target, penerimaan perpajakan tertekan; ketika ICP di luar perkiraan, beban subsidi atau kompensasi energi melonjak; ketika nilai tukar melemah melebihi asumsi, pembayaran bunga utang valas membengkak; dan ketika lifting migas tak tercapai, PNBP dari sumber daya alam langsung terpangkas.
"Rangkaian deviasi inilah yang secara historis memaksa pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan fiskal di tengah tahun, menggerus kredibilitas perencanaan anggaran," jelas CORE.
Diketahui, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,4 persen pada tahun 2026. Menurut CORE, target ini tergolong optimistis mengingat berbagai tantangan struktural yang masih dihadapi dan lebih tinggi dari proyeksi pertumbuhan 2025 yang cenderung melemah ke kisaran 4,7-4,8 persen menurut CORE Indonesia.
CORE membeberkan tantangan terbesar yang akan dihadapi datang dari moderasi konsumsi rumah tangga yang masih dibayangi pemulihan daya beli, melemahnya permintaan global untuk ekspor, dan investasi yang belum konsisten tumbuh di atas 5 persen.
"Tanpa percepatan signifikan di industri pengolahan dan sektor jasa bernilai tambah, target ini rentan tidak tercapai (undershooting) seperti yang terjadi pada periode 2020–2024," sebut CORE.
Asumsi inflasi 2,5 persen yang ditargetkan juga akan menghadapi sejumlah tantangan terkait volatilitas harga pangan dan keterbatasan ruang penyesuaian harga energi bersubsidi.
CORE mencatat pada 2024 menunjukkan inflasi bahan makanan sempat menembus 5 persen secara tahunan akibat dampak El Nino, terganggunya pasokan domestik, dan tingginya ketergantungan pada impor komoditas strategis.
"Proyeksi inflasi rendah juga membatasi ruang pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga energi bersubsidi yang diperlukan untuk mengurangi beban subsidi, berpotensi menggerus ruang belanja produktif," sebut CORE.
Asumsi nilai tukar rupiah Rp 16.500/USD di tahun 2026 turut menghadapi risiko besar akibat lemahnya efektivitas kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan tekanan eksternal.
CORE menyampaikan, implementasi DHE belum mampu mendorong penguatan rupiah secara berkelanjutan karena kepatuhan eksportir yang bervariasi, tingginya proporsi pembayaran impor, dan derasnya arus keluar modal portofolio saat ketidakpastian global meningkat.
"Dengan tren depresiasi rupiah selama dua tahun terakhir dan kemungkinan The Fed menunda penurunan suku bunga, risiko rupiah keluar dari kisaran asumsi tetap besar," tulis CORE.
Selain itu, asumsi suku bunga SBN 10 tahun persen juga berpotensi menghadapi tekanan dari kondisi fiskal yang memburuk dan dinamika pasar keuangan global.
Menurut CORE, Rasio utang terhadap PDB diproyeksi naik ke 42 persen pada 2029 dengan defisit 2025 mendekati 2,78 persen yang meningkatkan risiko premi negara dan berpotensi menjaga yield tetap tinggi.
"Kenaikan yield di luar kisaran asumsi akan langsung menambah beban bunga utang negara dan mempersempit ruang fiskal untuk belanja prioritas," tulis CORE.
CORE juga menyoroti proyeksi harga minyak mentah USD 70/barel pada tahun depan. Menurut mereka, target ini akan menghadapi risiko ganda yang dapat mengganggu keseimbangan fiskal.
CORE menyampaikan pyoyeksi EIA (2025) memperkirakan harga Brent global rata-rata USD 69/barel tahun ini, namun turun menjadi USD 58/barel pada 2026 karena pasokan global meningkat setelah OPEC+ mengumumkan kenaikan produksi.
"MICP di luar kisaran proyeksi menghadirkan risiko: harga tinggi akan meningkatkan beban subsidi energi, sementara harga rendah akan memangkas PNBP migas secara signifikan," terang CORE.
Terakhir, target lifting migas 610 ribu barel/hari untuk minyak dan 984 RBSMPH untuk gas di tahun depan terancam tidak tercapai berdasarkan kinerja historis lima tahun terakhir.
CORE membeberkan realisasi lifting migas hampir selalu di bawah target, dipengaruhi menurunnya produktivitas kilang yang sudah tua, lambatnya investasi di sektor hulu, dan minimnya penemuan cadangan baru berskala besar.
"Jika target kembali meleset, PNBP dari SDA akan turun yang kemudian memaksa pemerintah melakukan penyesuaian belanja atau pembiayaan di tengah tahun," ungkap CORE.(*)