Logo
>

CORE Ingatkan Risiko Fiskal Kop Des Merah Putih Rp400 Triliun

CORE Indonesia menyoroti risiko fiskal dari skema pembiayaan koperasi desa Merah Putih yang memakai APBN hingga Rp400 triliun dan kredit KUR Bank Himbara.

Ditulis oleh Syahrianto
CORE Ingatkan Risiko Fiskal Kop Des Merah Putih Rp400 Triliun
Ilustrasi: Koperasi Desa Merah Putih (Kop Des Merah Putih). (Foto: AI untuk KabarBursa)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Program Koperasi Desa (Kop Des) Merah Putih yang dicanangkan pemerintah berpotensi menjadi salah satu intervensi fiskal terbesar dalam sejarah ekonomi desa Indonesia. 

    Dalam laporan COREinsight edisi 4 Juni 2025, CORE Indonesia menyoroti rencana pengucuran dana hingga Rp400 triliun untuk membiayai pembentukan 80.000 koperasi di seluruh pelosok desa, dengan plafon Rp3–5 miliar per koperasi.

    Pembiayaan jumbo ini akan disalurkan melalui dua skema, yakni channelling dan executing. Skema channelling melibatkan Bank Himbara sebagai penyalur dana APBN untuk pembangunan infrastruktur koperasi, sementara skema executing mengandalkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk mendukung operasional koperasi. Kedua skema ini tercantum dalam Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2025 sebagai dasar hukum pelaksanaan program.

    Namun, CORE Indonesia menyampaikan peringatan keras. Skema pendanaan yang ambisius ini dinilai mengandung risiko fiskal serius, terutama dalam konteks efektivitas belanja dan tata kelola anggaran negara. 

    “Ini bisa menimbulkan contingency risk terhadap APBN,” tulis CORE dalam laporannya, dikutip Kabarbursa.com, Selasa, 10 Juni 2025.

    Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, menegaskan bahwa peluncuran koperasi secara serentak di seluruh desa dengan dana besar dapat membebani keuangan negara, apalagi jika kesiapan kelembagaan dan sumber daya manusia belum memadai.

    “Jika 80.000 koperasi diberikan plafon Rp5 miliar tanpa tata kelola yang jelas, maka risiko anggaran akan jauh lebih besar dari potensi manfaatnya. Ini bukan sekadar efisiensi fiskal, tapi soal integritas fiskal jangka panjang,” ujar Faisal.

    CORE menyoroti bahwa dalam skema executing, koperasi desa Merah Putih akan mengakses KUR dengan status badan usaha yang baru terbentuk. Hal ini meningkatkan risiko gagal bayar secara sistemik, terutama jika koperasi tidak memiliki rekam jejak usaha dan infrastruktur bisnis yang kuat. Akibatnya, kualitas portofolio kredit nasional, khususnya di perbankan milik negara, akan ikut terdampak.

    “Portofolio KUR Himbara bisa terdistorsi jika koperasi yang belum matang dibiayai secara masif. Kita bukan bicara bantuan sosial, ini adalah skema kredit produktif yang butuh disiplin manajemen risiko,” kata Yusuf Rendy Manilet, ekonom CORE Indonesia.

    Dalam laporan yang sama, CORE mencatat bahwa pendekatan top-down seperti ini mengulang pola lama yang pernah gagal pada era Koperasi Unit Desa (KUD). Kala itu, koperasi dipaksakan berdiri dengan dana besar namun lemah dalam struktur dan partisipasi masyarakat. Banyak KUD akhirnya menjadi koperasi papan nama, hidup karena subsidi, dan mati saat pendanaannya dihentikan.

    Kekhawatiran ini diperkuat dengan temuan bahwa dalam desain program, pendanaan tidak diiringi dengan sistem audit independen yang kokoh. CORE menyebutkan bahwa tidak ada mekanisme risk assessment dan pengawasan dini yang dijelaskan secara rinci dalam dokumen pelaksanaan program koperasi Merah Putih.

    Selain itu, CORE menilai bahwa program ini berpotensi mengganggu prioritas belanja desa dan realokasi anggaran yang selama ini dialokasikan untuk infrastruktur dasar, pendidikan, atau pemberdayaan lokal. 

    Dalam Surat Edaran Menteri Desa No. 6 Tahun 2025, desa yang belum memiliki BUMDes bahkan diwajibkan mengalokasikan minimal 20 persen dana desa untuk koperasi Merah Putih.

    “Kita harus tanya ulang: apa dasar ekonomi dari alokasi Rp400 triliun ini? Apakah sudah ada studi kelayakan? Apakah ini investasi yang berorientasi keberlanjutan atau hanya memenuhi target politik semata?” kritik Faisal.

    Dengan potensi pemborosan fiskal yang besar dan tumpang tindih kelembagaan di tingkat desa, CORE menyarankan pemerintah untuk meninjau ulang skema pembiayaan dan fokus pada integrasi antar lembaga ekonomi desa yang sudah ada, seperti BUMDes.

    “Program sebesar ini tak boleh diluncurkan hanya karena ambisi. Butuh tata kelola, butuh akuntabilitas, dan yang paling penting: butuh logika ekonomi,” tegas Yusuf Rendy.

    Jika tidak ada penyesuaian mendasar dalam pendekatan dan desain pelaksanaan, program koperasi desa Merah Putih bisa menjadi proyek ekonomi rakyat paling mahal dalam sejarah, namun juga yang paling tidak produktif. Sebuah ironi fiskal yang seharusnya bisa dihindari. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.