KABARBURSA.COM - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa mengenai Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau Core Tax Administration System (CTAS) yang dimiliki Indonesia akan menjadi sistem pajak terbesar di dunia.
Kata dia, pembangunan sistem ini merupakan yang terbesar dibandingkan dengan negara lain seperti Selandia Baru dan Kanada, yang skala pembangunannya tidak sebesar Indonesia.
“Ini mungkin termasuk pembangunan Core Tax terbesar di dunia. Negara-negara seperti New Zealand, Kanada, enggak sebesar Indonesia. Ini mungkin yang terbesar di dunia,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Senayan, Jakarta, Rabu 21 Agustus 2024.
Sri Mulyani menargetkan peluncuran sistem tersebut akan dilakukan pada akhir tahun ini atau awal tahun depan, meskipun diakuinya masih banyak masalah yang ditemukan selama uji coba.
Dia berharap sistem ini bisa beroperasi secara penuh setelah diluncurkan, meski dukungan implementasi akan terus berlanjut.
“Kami berharap bisa diluncurkan paling tidak akhir tahun ini atau awal tahun depan akan bekerja, live, sudah hidup, dan dengan demikian projeknya bisa diselesaikan meskipun implementation support akan continue,” tuturnya.
Diungkapkannya, pembangunan sistem ini sempat tertunda akibat pandemi COVID-19, dan baru dimulai kembali pada tahun 2022, dan dilakukan uji coba pada tahun 2023.
Uji coba ini mengungkap berbagai masalah dalam sistem, termasuk fungsi-fungsi yang belum bisa diintegrasikan sehingga perlu dilakukan beberapa perancangan ulang.
“2023 kemarin melakukan testing dari berbagai fungsi dan di situ mulai muncul loh, kenapa fungsinya hanya ini, fungsi ini, kenapa belum dapat dimasukkan atau harus dimasukkan sehingga ada konsekuensi dari berbagai re-design berdasarkan tes-tes yang kita lakukan,” jelasnya.
Selain itu, kendala lain yang dihadapi adalah migrasi data dari sistem sebelumnya ke sistem baru, terutama karena Indonesia memiliki 78 juta wajib pajak dengan jutaan transaksi setiap harinya.
Sri Mulyani menekankan pentingnya migrasi data yang hati-hati agar tidak mengganggu kinerja sistem perpajakan dan memastikan data lama tetap terjaga.
“Yang rumit lagi migrasi data, terus terang kita bicara 78 juta Wajib Pajak, tetapi transaksinya itu jutaan per hari. Jadi data migration dilakukan hati-hati pada saat kita melakukan ini fungsi pajaknya tetap jalan,” tuturnya.
Ia juga menyatakan bahwa proses migrasi data masih berlangsung dan memerlukan perhatian ekstra untuk memastikan data lama tetap aman dan ada cadangan jika terjadi sesuatu. Tantangan lainnya adalah mengubah pola pikir 40.000 karyawan DJP yang nantinya harus bekerja berdasarkan sistem baru tersebut.
“Jadi ini yang kita terus lakukan. Data migration tetap continue sampai sekarang making sure old data di migrasi tetapi tidak hilang kalau terjadi apa kita masih punya backup. Dan yang lebih rumit lagi mengubah mindset 40.000 karyawan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), karena nanti mereka bekerja base on system,” pungkasnya.
Kenaikan PPN Lemahkah Daya Beli Masyarakat
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) disorot publik. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai dampaknya akan menurunkan daya saing industri dan melemahkan daya beli masyarakat.
Menurut INDEF, kenaikan taruf PPN akan menyebabkan biaya produksi industri meningkat, sehingga berpotensi menggerus daya saing industri nasional di pasar global.
Mereka menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan penerapan skema multi tarif yang lebih adaptif terhadap berbagai sektor industri.
“Perlu dipertimbangkan skema multi tarif,” kata INDEF dalam siaran persnya secara tertulis, Selasa, 20 Agustus 2024.
Selain itu, INDEF juga memperingatkan bahwa kenaikan PPN akan memicu penurunan daya beli masyarakat, terutama di tengah tingginya inflasi pangan.
Daya beli yang melemah ini dikhawatirkan akan berdampak negatif pada penjualan dan utilisasi industri, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kinerja ekonomi secara keseluruhan.
Bahkan, kata INDEF , dampak kenaikan PPN akan membuat biaya produksi akan meningkat di saat permintaan sedang melambat. Sehingga, kondisi ini memaksa industri untuk melakukan penyesuaian terhadap input produksi, termasuk dalam hal penggunaan tenaga kerja.
Penyesuaian tersebut berpotensi mengurangi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) karena penurunan jumlah pekerja.
Namun, di sisi lain, pemerintah tampaknya berharap kenaikan PPN ini akan meningkatkan penerimaan negara secara agregat. INDEF mengingatkan bahwa pemerintah harus mempertimbangkan baik-baik cost and benefit dari kebijakan ini, terutama dalam konteks perekonomian jangka pendek dan jangka panjang.
“Ketika kenaikan PPN, pemerintah berharap akan meningkatkan penerimaan negara secara agregat, namun perlu dikalkulasi cost and benefit-nya terhadap perekonomian dalam jangka pendek dan jangka panjang,” terangnya.
Jaring Wajib Pajak Baru
Dalam analisisnya, INDEF juga menyoroti pentingnya memperluas basis pajak (tax base) PPN sebagai strategi untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa harus mengandalkan kenaikan tarif.
Menurut mereka, penerimaan negara yang lebih besar dapat dicapai melalui penjaringan wajib pajak baru, bukan semata-mata dengan menaikkan tarif PPN.
“Untuk mendapatkan penerimaan negara yang lebih besar, bukan melalui peningkatan tarif PPN, tetapi melalui penjaringan wajib pajak baru,” imbuhnya.
Selain itu, INDEF mengusulkan ekstensifikasi penerimaan perpajakan, termasuk melalui peningkatan cakupan cukai. Mereka mencatat bahwa ekstensifikasi cukai telah direncanakan untuk diterapkan pada tahun-tahun mendatang sebagai bagian dari upaya optimalisasi penerimaan negara bukan pajak.
“Untuk meningkatkan penerimaan pajak perlu optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak,” pungkas INDEF. (*)