Logo
>

Dampak B40 bagi Petani Sawit: Analisis dan Solusi dari GAPKI

Ditulis oleh Dian Finka
Dampak B40 bagi Petani Sawit: Analisis dan Solusi dari GAPKI

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyoroti potensi penurunan ekspor CPO Indonesia sebagai dampak dari kebijakan B40, yang mendorong peningkatan konsumsi domestik biodiesel. Meskipun demikian, GAPKI menilai ada sejumlah langkah strategis yang dapat diambil untuk menjaga stabilitas ekspor dan pendapatan petani sawit.

    Ketua GAPKI, Eddy Martono, mengungkapkan bahwa peningkatan produksi merupakan langkah kunci untuk mengatasi penurunan ekspor yang berpotensi terjadi.

    "Jika produksi sawit stagnan, ekspor akan tertekan. Peningkatan produksi bisa dicapai melalui intensifikasi dan ekstensifikasi lahan, seperti mengganti tanaman sawit yang sudah tua dengan replanting atau membuka lahan baru yang khusus untuk energi," ujarnya dalam wawancara dengan Kabarbursa.com pada Senin, 6 Januari 2025.

    Eddy juga berharap bahwa Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dapat berjalan dengan baik, karena hal ini diyakini akan memberikan dampak positif yang signifikan bagi petani sawit.

    Namun, meskipun ada proyeksi penurunan ekspor CPO akibat meningkatnya konsumsi domestik, Eddy optimistis bahwa pasar alternatif tetap tersedia. "Peluang pasar alternatif tetap ada, tetapi jika produksi CPO Indonesia terbatas, kesempatan untuk mengembangkan pasar tersebut juga akan terbatas," jelasnya.

    Oleh karena itu, kebijakan yang mendorong peningkatan produksi sangat diperlukan untuk memastikan Indonesia dapat memanfaatkan peluang pasar internasional.

    Terkait dengan kebijakan B40, Eddy menilai bahwa kebijakan ini justru dapat memberikan dampak positif bagi petani sawit kecil dalam jangka panjang.

    "Jika pasokan minyak sawit global berkurang karena meningkatnya konsumsi domestik, harga minyak nabati, termasuk minyak sawit, akan cenderung naik. Ini tentu akan menguntungkan petani sawit karena harga jual mereka akan meningkat," ujarnya.

    Namun, Eddy juga mengingatkan adanya potensi dampak negatif dari kenaikan harga minyak sawit. "Kenaikan harga minyak sawit bisa memicu kenaikan harga produk turunannya. Ini berisiko menambah inflasi, yang pada gilirannya dapat mengurangi daya beli masyarakat," tambahnya.

    Oleh karena itu, meskipun harga yang lebih tinggi menguntungkan petani, penting untuk mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian secara keseluruhan.

    GAPKI juga menekankan pentingnya kebijakan yang komprehensif dan tidak hanya fokus pada pengurangan impor energi. "Kebijakan energi harus mempertimbangkan dampaknya terhadap seluruh sektor kelapa sawit, termasuk petani kecil dan industri hilir, seperti oleokimia dan pangan," ujar Eddy.

    Untuk itu, pemerintah diharapkan dapat merumuskan kebijakan yang lebih holistik untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan energi domestik dan kelangsungan ekspor sawit.

    Dalam jangka panjang, GAPKI berharap pemerintah dapat mendorong efisiensi produksi dalam negeri, mendorong diversifikasi produk sawit, serta menjalin kerja sama dengan negara-negara importir. Langkah-langkah ini diharapkan dapat membantu Indonesia menjaga stabilitas pasar internasional dan memastikan keberlanjutan industri kelapa sawit, sekaligus memperkuat daya saing di pasar global.

    GAPKI Prediksi Ekspor CPO Turun dan Harga Melonjak

    GAPKI mengungkapkan bahwa penerapan program bahan bakar solar dengan campuran biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen atau B40 mulai 1 Januari 2025 akan berdampak terhadap peningkatan konsumsi biodiesel di Indonesia.

    Dalam perhitungan GAPKI, penerapan B40 akan meningkatkan konsumsi biodiesel dalam negeri hingga sebanyak 3 juta ton. Secara total, program tersebut membutuhkan setidaknya 15,6 juta kiloliter (kl) atau setara dengan 14 juta ton bahan baku minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO).

    Namun demikian, Ketua GAPKI Eddy Martono menyampaikan bahwa berdasarkan data tersebut, kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah berpotensi memberi dampak besar terhadap sektor kelapa sawit, utamanya terkait volume ekspor dan harga minyak kelapa sawit global.

    Menurut GAPKI, ekspor produk CPO dan PKO menurun sebesar 2,38 persen dari 33,15 juta ton pada tahun 2022 menjadi 32,21 juta ton pada tahun 2023. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa nilai ekspor kelapa sawit Indonesia pada tahun 2023 mencapai USD24,99 miliar, mengalami penurunan sebesar 19,39 persen dibandingkan tahun 2022.

    Sementara pada 2024, ekspor CPO Indonesia menunjukkan tren peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada bulan Januari 2024, ekspor CPO tercatat sebesar 347.044 ton, melanjutkan total ekspor CPO pada tahun 2023 yang mencapai 3.595.946 ton. Pada bulan Februari 2024, realisasi ekspor CPO meningkat drastis, mencapai 2,17 juta ton. Secara keseluruhan, pada semester I tahun 2024, volume ekspor CPO mengalami lonjakan sebesar 39,71 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023, dari 1.249.000 ton menjadi 1.745.000 ton.

    “Jika konsumsi biodiesel meningkat, sementara produksi CPO masih stagnan, maka ekspor akan berkurang sekitar 2 hingga 3 juta ton. Dan kondisi ini dapat memicu lonjakan harga minyak nabati dunia, seperti minyak sawit mentah,” jelas Eddy kepada Kabarbursa.com, Senin, 6 Januari 2025.

    Saat ini, produksi CPO diproyeksi akan turun sebesar 4,4 persen pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari 54,844 juta ton pada 2023 menjadi 52,449 juta ton. Pada tahun 2023, GAPKI melaporkan bahwa konsumsi minyak sawit domestik mencapai 25,4 juta ton, meningkat 9,08 persen dari 23,28 juta ton pada tahun 2022. Konsumsi biodiesel mendominasi dengan penyerapan 11,6 juta ton.

    GAPKI memperkirakan konsumsi minyak sawit domestik akan meningkat menjadi 27,4 juta ton, dengan tambahan 2 juta ton untuk biodiesel (proyeksi konsumsi B40). Namun, data hingga September 2024 menunjukkan penurunan konsumsi domestik dengan rincian September 2024 tercatat 1,989 juta ton, lebih rendah dari Agustus yang mencapai 2,060 juta ton.

    Lebih jauh, apabila pemerintah melanjutkan program peningkatan penggunaan biodiesel menjadi B50, Eddy menegaskan bahwa akan memicu dampak yang jauh lebih besar. “Contohnya akan menyebabkan penurunan ekspor sekitar 6 juta ton. Hal ini akan semakin membatasi pasokan CPO untuk pasar internasional,” ungkap dia.

    Untuk merespons hal ini, GAPKI menekankan perlunya kebijakan yang lebih holistik dan berkelanjutan untuk memastikan sektor kelapa sawit tetap berkembang tanpa mengorbankan ekspor. Selain itu, sektor hilir, seperti oleokimia dan pangan, juga akan merasakan dampaknya, mengingat ketergantungan pada CPO sebagai bahan baku utama.

    Dalam menghadapi potensi penurunan ekspor ini, GAPKI berharap pemerintah dapat meningkatkan efisiensi produksi dalam negeri, memperkenalkan kebijakan yang mendukung diversifikasi produk kelapa sawit, dan menyiapkan pasar ekspor alternatif.

    “Dukungan kepada petani sawit kecil juga harus terus diperkuat agar mereka tidak terlalu terdampak oleh fluktuasi harga pasar,” pungkas Eddy. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.