Logo
>

Dampak Kesepakatan Dagang AS–China bagi Pasar

Tarif dagang AS–China diturunkan sementara selama 90 hari. Saham melonjak, emas melemah, pasar berharap pada reformasi struktural dan arah baru kebijakan perdagangan global.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Dampak Kesepakatan Dagang AS–China bagi Pasar
Saham global naik usai tarif AS–China diturunkan jadi 30 persen. Pasar berharap pembaruan kebijakan dagang yang lebih stabil.

KABARBURSA.COM — Langkah Amerika Serikat (AS) memangkas tarif dagang terhadap produk China dari 145 persen menjadi 30 persen selama 90 hari berhasil memicu euforia pasar keuangan global. Indeks S&P 500 di AS melonjak 3,3 persen, sementara harga emas anjlok 3,1 persen. Hal ini menunjukkan pergeseran sentimen yang signifikan.

Namun, menurut pengamat pasar yang juga kolumnis senior The Wall Street Journal, James Mackintosh, euforia pasar bukan semata karena penundaan tarif perdagangan. Baginya, hal yang lebih penting justru siapa yang kini mengendalikan arah kebijakan dagang Amerika Serikat.

“Kelihatannya kini Menteri Keuangan Scott Bessent yang memegang kendali kebijakan perdagangan. Singkatnya, orang dewasa akhirnya masuk ke dalam ruangan,” tulis Mackintosh dalam kolomnya, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Selasa, 13 Mei 2025.

Mackintosh melihat perubahan pendekatan dari gaya Trump yang penuh gejolak menuju strategi teknokrat yang lebih struktural. Kebijakan tarif tak lagi digunakan sebagai alat tawar-menawar yang serampangan, melainkan diarahkan untuk mendorong reformasi ekonomi jangka panjang di China.

“Bessent mengincar reformasi mendalam terhadap ekonomi China—dari yang selama ini berorientasi ekspor menjadi berbasis konsumsi domestik,” tulisnya.

Ini artinya, bukan hanya AS yang diminta menyesuaikan. Mackintosh menyebut, China telah lama bicara soal meningkatkan konsumsi domestik, tapi implementasinya lambat. Jerman, sebagai mitra dagang besar lain, juga belum banyak berbuat untuk menumbuhkan konsumsi. Jika reformasi berhasil, maka keseimbangan neraca dagang global bisa tercapai bukan lewat penurunan impor AS, tapi justru karena ekspor AS meningkat.

Mackintosh juga mengingatkan harapan pasar tidak boleh terlalu tinggi. “Kemungkinan besar tarif tidak akan kembali ke level sebelum era Trump,” tulis Mackintosh. Ia menilai pendekatan Scott Bessent jauh lebih strategis ketimbang gaya Trump yang cenderung “pasang tarif dulu, cabut kemudian, seperti saat berurusan dengan Meksiko dan Kanada.

Dari sisi makroekonomi, pergeseran ini juga membawa implikasi bagi pola tabungan global. Jika negara-negara surplus seperti China dan Jerman mengurangi ekspor dan mulai menggenjot konsumsi, maka mereka juga akan mengurangi aliran dana ke Amerika. Ini berarti warga AS sendiri harus meningkatkan tabungan domestik atau pemerintah AS menekan defisit fiskalnya.

Mackintosh menyoroti ada juga kubu lain di pemerintahan yang punya agenda tarif berbeda. Beberapa, termasuk Trump, melihat tarif sebagai sumber pendapatan untuk membiayai pemotongan pajak. Sementara sebagian anggota Kongres menggunakannya sebagai alat strategis untuk membatasi kebangkitan Tiongkok sebagai pesaing geopolitik.

Namun bagi pasar, harapan kini tertumpu pada arah strategi dagang yang lebih stabil dan rasional. “Setidaknya, jauh lebih baik bagi pasar jika AS menggunakan tarif untuk membuka akses pasar luar negeri, ketimbang sekadar menerapkannya karena Trump mengaku sebagai ‘pecinta tarif’,” kata Mackintosh.

Dengan latar belakang ini, investor disarankan tetap waspada, namun optimistis. Selama kendali ada di tangan para teknokrat, bukan impuls politik, jalan menuju kesepakatan dagang yang lebih seimbang masih terbuka. Untuk sementara waktu, pasar boleh bernapas lega.

Dampak Kesepakatan Dagang AS–China bagi Indonesia


Di balik gegap gempita pasar saham dan meredanya tensi antara dua raksasa ekonomi dunia, pertanyaan penting bagi negara berkembang seperti Indonesia justru lebih mendalam, apa arti semua ini bagi neraca dagang?

Untuk menjawabnya, perlu kembali ke konsep terms of trade (ToT)—istilah klasik dalam ekonomi perdagangan internasional yang belakangan menjadi sangat relevan. Ekonom Alan V. Deardorff dari University of Michigan dalam jurnalnya What Do We (and Others) Mean by The Terms of Trade?  (2016) menyatakan bahwa ToT adalah rasio antara harga ekspor terhadap harga impor suatu negara (𝑝ₓ/𝑝ₘ). Semakin tinggi nilai ini, semakin menguntungkan posisi dagang negara tersebut karena artinya lebih banyak barang impor bisa dibeli dari setiap unit ekspor.

Dengan menggunakan kerangka ToT tersebut, investor bisa melihat bahwa perang dagang AS–China sejak era Trump memperburuk posisi banyak negara eksportir seperti Indonesia. Tarif tinggi atas produk China menyebabkan kelebihan pasokan global yang sebagian dialihkan ke pasar-pasar berkembang termasuk Asia Tenggara.

Akibatnya, harga ekspor Indonesia ke China cenderung melemah karena persaingan meningkat, sementara harga impor dari AS atau negara lain yang terkena pembalasan tarif cenderung naik. Kombinasi dua faktor ini—harga ekspor turun, harga impor naik—secara teori menurunkan terms of trade Indonesia.

Kini, dengan adanya kesepakatan sementara antara AS dan China, tekanan ToT itu sedikit mereda. Dalam perspektif Mackintosh, peran teknokrat seperti Bessent menandai pendekatan baru, bukan lagi tarif impulsif, tetapi tarif yang digunakan sebagai alat diplomasi strategis untuk mendorong reformasi struktural di China.

“Bessent mendorong reformasi mendalam terhadap perekonomian China, mengubahnya dari negara eksportir merkantilis menjadi konsumen domestik,” tulis Mackintosh.

Jika misi ini berhasil—yakni memperbesar konsumsi domestik China—maka pasar ekspor bagi negara-negara seperti Indonesia bisa terbuka lebih luas. Saat China berhenti bergantung pada ekspor dan mulai menyerap lebih banyak produk asing, posisi ToT Indonesia pun bisa membaik.

Sektor seperti pertanian, mineral, bahkan komponen manufaktur berpeluang mendapat porsi lebih besar di pasar China. Ini menjadi vital di tengah perlambatan ekonomi global dan tren reshoring produksi ke dalam negeri yang sedang ramai di AS dan Eropa.

Stabilitas Tarif dan Sentimen Pasar
Dari sisi pasar modal, jeda perang dagang dan arah kebijakan yang lebih “dewasa” ini juga menciptakan kestabilan yang disukai investor. Saham-saham industri global menguat, dolar menguat, sementara harga emas terkoreksi—semua menjadi indikasi bahwa pasar menyambut baik arah kebijakan yang lebih teknokratis.

Hal ini menguntungkan Indonesia. Sebagai pasar berkembang yang rentan terhadap aliran modal spekulatif, kepastian dagang global akan memperkecil risiko capital outflow. Investor asing, yang selama ini berhati-hati terhadap ketegangan AS–China, bisa kembali percaya diri menanam modal, termasuk di sektor-sektor yang terdampak seperti tekstil, manufaktur, dan agrikultur.

Bagi Indonesia, kesepakatan dagang ini ibarat jeda dari pukulan bertubi-tubi yang diterima ekonomi global sejak pandemi, perang Ukraina, hingga perang tarif. Namun jeda ini tidak boleh disia-siakan. Pemerintah perlu mendorong ekspor bernilai tambah, memperkuat produk lokal yang bisa menembus pasar China, serta menyeimbangkan struktur impor agar ToT tetap terjaga.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).