KABARBURSA.COM - Seorang debitur Bank DKI, Perintis Gunawan, mengaku menjadi korban kriminalisasi yang didalangi pihak perbankan.
Perintis, yang merupakan komisaris sekaligus pemilik saham PT Tucan Pumpco Services Indonesia (TPSI), mengatakan bahwa selain kehilangan aset, dirinya nyaris dipidanakan.
Menurut pengacara Perintis, Cecep Suhardiman, kliennya telah menjadi debitur Bank DKI sejak sekitar 2014.
Cecep menceritakan, dugaan kriminalisasi bermula pada 2016, saat krisis keuangan global yang disebabkan oleh penurunan tajam harga minyak merugikan usaha yang dikelola Perintis, sehingga menyebabkan kebangkrutan.
Akibat kebangkrutan tersebut, Perintis mengalami kesulitan dalam membayar cicilan kredit, yang kemudian memicu Bank DKI untuk menyita asetnya di Jalan Wijaya 1, Jakarta Selatan. Saat ini, aset tersebut digunakan oleh Bank DKI sebagai Learning Center.
“Pada 2016, Pak Perintis meminta saya untuk menjadi kuasa hukumnya. Di dunia perbankan, ada pola penyelamatan kredit bermasalah yang disebut restrukturisasi,” ujar Cecep dalam konferensi pers yang berlangsung di Jl. Antasari, Jakarta Selatan, Rabu, 18 Desember 2024.
Cecep menjelaskan bahwa restrukturisasi kredit memberikan kesempatan bagi debitur untuk memperpanjang jangka waktu kredit, bahkan hingga 10 hingga 15 tahun, sehingga usaha debitur tetap berjalan dan kewajibannya kepada bank dapat dipenuhi.
“Bank adalah lembaga intermediasi, yang bertindak sebagai penghubung antara pihak yang membutuhkan dana dengan pihak yang menyediakan dana. Bank bukanlah pihak yang membeli atau mengambil alih jaminan secara sembarangan, karena model usaha bank bukan seperti pegadaian,” tegas Cecep.
Dari perkara ini, Cecep mengklaim bahwa telah ditemukan dugaan korupsi. Sebagai bank yang merupakan bagian dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Bank DKI dianggap memiliki keterkaitan dengan keuangan negara.
“Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara, BUMN dan BUMD adalah bagian dari keuangan negara,” jelas Cecep.
Dia menambahkan bahwa keuangan negara meliputi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta modal yang disertakan dalam BUMN dan BUMD.
“Jika terjadi penyalahgunaan, pihak yang terlibat dapat dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi," ujar Cecep.
[caption id="attachment_107404" align="aligncenter" width="794"] Seorang debitur Bank DKI, Perintis Gunawan (kanan), mengaku menjadi korban kriminalisasi yang didalangi pihak perbankan. (Foto: Adi Subchan/Kabar Bursa)[/caption]
Cecep juga mengungkapkan bahwa perkara ini sudah berlangsung cukup lama. Pihaknya berhasil memenangkan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi, namun Bank DKI mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
“Pada tahap kasasi, pihak Bank DKI memenangkan perkara dengan dugaan adanya pengeluaran biaya sebesar Rp1,1 miliar,” ujarnya.
Temuan ini, menurut Cecep, diperoleh dari hasil penelusuran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Kasus Utang Piutag WSBP-Bank DKI
Sementara itu, PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) memberikan tanggapan atas permohonan kasasi yang diajukan Bank DKI terhadap putusan Pengadilan Tinggi yang menerima banding WSBP dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur, yang sebelumnya mengabulkan sebagian gugatan Bank DKI terkait dengan kasus utang piutang.
Corporate Secretary WSBP, Fandy Dewanto menjelaskan kronologi pengajuan kasasi oleh Bank DKI. Fandy mengungkapkan bahwa pada 16 Desember 2024, Bank DKI telah mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Tinggi yang mengabulkan banding WSBP. Pengadilan Tinggi Jakarta pada 2 Desember 2024, melalui Nomor Putusan Banding 1329/PDT/2024/PT DKI, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan Nomor 107/Tim/X/2024-AP.Jo nomor 05/Pdt.G/2024/PN.Jkt.Tim yang sebelumnya mengabulkan gugatan Bank DKI.
“Selama proses hukum ini berjalan, WSBP tetap berkomitmen untuk melaksanakan skema restrukturisasi keuangan yang telah disetujui seluruh kreditur, yang berdasarkan Putusan Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) sejak 20 September 2022,” jelas Fandy dalam keterangannya, Selasa, 17 Desember 2024.
Fandy menambahkan, salah satu bentuk kepatuhan WSBP terhadap implementasi skema restrukturisasi adalah konsistensi perusahaan dalam memenuhi kewajiban pembayaran Cash Flow Available for Debt Services (CFADS).
“Hingga saat ini, perusahaan telah menyelesaikan empat tahap pembayaran CFADS dengan total nilai mencapai Rp320,85 miliar secara tepat waktu,” ujar Fandy.
Selain itu, Fandy juga menyampaikan bahwa WSBP telah berhasil menyelesaikan konversi 85 persen kewajiban kepada Kreditur Pemegang Obligasi melalui penerbitan Obligasi Wajib Konversi (OWK). WSBP juga telah melaksanakan Private Placement Tahap 1, 2, dan 3, dengan total nilai mencapai Rp1,46 triliun, untuk penyelesaian kewajiban kepada kreditur dagang.
Fandy menegaskan bahwa WSBP tetap berkomitmen untuk melaksanakan seluruh kewajiban sesuai dengan ketentuan perjanjian perdamaian yang telah berkekuatan hukum tetap.
“Kami akan terus memastikan bahwa tata kelola perusahaan yang baik diterapkan dengan konsisten, serta memastikan seluruh program transformasi perusahaan terealisasi sesuai dengan target pemulihan kinerja pasca-restrukturisasi,” pungkasnya. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.