KABARBURSA.COM - Defisit fiskal yang kian melebar telah mendorong pemerintah untuk mengambil langkah agresif dalam meningkatkan penerimaan pajak. Salah satu kebijakan yang diambil adalah mengejar 2.000 wajib pajak yang dianggap berkontribusi pada penurunan penerimaan pajak.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai kebijakan ini hanya menargetkan kuantitasnya saja, sementara masalah penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi bawah tanah (underground economy) jauh lebih kompleks dan melibatkan ribuan bahkan jutaan pelaku ekonomi informal. Dengan fokus yang terlalu sempit, kebijakan ini mengabaikan pelaku usaha mikro dan kecil yang juga berkontribusi pada kebocoran pajak.
“Padahal, sektor informal ini justru menjadi salah satu penyebab utama rendahnya basis penerimaan pajak,” ujar Achmad kepada Kabarbursa.com, Senin 17 Maret 2025.
Di samping itu, menurutnya dengan pemerintah yang hanya berfokus pada 2.000 wajib pajak. Seakan-akan mereka mengabaikan realitas bahwa penerimaan pajak sangat dipengaruhi oleh faktor struktural, seperti sistem perpajakan yang tidak adaptif, integrasi data yang lemah, dan birokrasi yang rumit.
Masalah seperti integrasi data yang lemah, birokrasi yang rumit, dan tarif pajak yang tidak kompetitif turut berkontribusi pada rendahnya kepatuhan pajak.
“Kebijakan mengejar 2.000 wajib pajak tidak menyentuh masalah-masalah struktural ini, sehingga hanya menjadi solusi jangka pendek yang tidak berkelanjutan,” jelas dia.
Oleh karena itu menurutnya kebijakan ini berisiko menekan kelas menengah yang selama ini menjadi motor penggerak ekonomi. Jika kelompok ini dibebani pajak yang lebih tinggi, daya beli mereka bisa semakin tergerus, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
“Alih-alih menargetkan kelas menengah, pemerintah seharusnya fokus pada kelompok oligarki atau sektor-sektor yang selama ini kurang berkontribusi secara proporsional,” terangnya.
Imbas Daya Beli Lemah, Pajak Jadi Turun?
Meskipun pertumbuhan ekonomi tahun 2024 masih berada di kisaran 5 persen, daya beli masyarakat yang terus menurun menjadi tanda peringatan. Inflasi pangan dan energi yang masih bertahan di atas 4 persen turut menekan konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari 55 persen terhadap PDB nasional. Jika daya beli tidak segera dipulihkan, UMKM, sektor ritel, dan industri manufaktur bisa terkena dampak domino yang lebih besar.
Penurunan penerimaan pajak sebesar 30 persen juga perlu dikaji secara hati-hati. Jika memang aktivitas ekonomi melemah, maka wajar jika pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) ikut menurun. Namun, dalam kasus ini, faktor utama penyebab penurunan lebih disebabkan oleh kegagalan implementasi sistem Coretax yang seharusnya dapat mengoptimalkan pemungutan pajak secara digital.
“Artinya, penurunan penerimaan pajak bukan utamanya refleksi ekonomi lesu, melainkan kegagalan administratif,” ungkap dia.
Kendati demikian Achmad mengungkapkan daya beli yang rendah bisa menjadi sinyal awal perlambatan. Jika masyarakat mengurangi konsumsi, efek berantai pada UMKM, sektor ritel, dan industri manufaktur akan memperparah perlambatan.
“Dengan kata lain, daya beli yang lemah adalah alarm pertama risiko ekonomi lesu, meski belum cukup untuk menyimpulkan Indonesia sudah berada di fase resesi,” jelas dia.
Dampak terhadap Iklim Investasi
Kebijakan yang terlalu represif dalam penagihan pajak juga berpotensi menciptakan iklim investasi yang tidak kondusif. Pelaku usaha, baik lokal maupun asing, dapat merasa tidak nyaman dengan pendekatan yang dianggap terlalu agresif.
Menurutnya hal ini bisa menyebabkan capital outflow atau bahkan mendorong wajib pajak untuk mencari celah guna menghindari pajak, yang pada akhirnya justru memperburuk penerimaan negara.
“Pelaku usaha, baik lokal maupun asing, mungkin merasa tidak nyaman dengan pendekatan yang terlalu keras dalam penagihan pajak,” kata dia.
Hal tersebut berpotensi mengurangi minat investasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Padahal kata dia dengan kondisi fiskal yang sulit, investasi sebenarnya dibutuhkan sebagai salah satu faktor utama untuk memulihkan perekonomian.
“Padahal, dalam situasi fiskal yang sulit, investasi justru menjadi salah satu kunci untuk memulihkan perekonomian,” ungkapnya.
Untuk diketahui, berdasarkan data APBN KiTa Februari 2025 menunjukkan bahwa Indonesia mengalami defisit fiskal sebesar Rp31,2 triliun atau 0,13 persen dari PDB dalam dua bulan pertama tahun ini, berbeda dengan periode yang sama tahun sebelumnya di mana tercatat surplus sebesar Rp26 triliun atau 0,11 persen dari PDB.
Selain itu, penerimaan pajak turun drastis sebesar 30,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, dengan realisasi mencapai Rp187,8 triliun hingga akhir Februari 2025. Penurunan ini terutama disebabkan oleh turunnya harga komoditas utama serta perubahan metode pengumpulan pajak.
Situasi tersebut semakin diperparah oleh daya beli masyarakat yang masih lemah, tampak dari inflasi pangan dan energi yang masih di atas 4 persen, sehingga menekan konsumsi rumah tangga. Mengingat konsumsi rumah tangga menyumbang 55 persen dari PDB, penurunan daya beli ini berpotensi membuatnya terkontraksi jika tidak segera pulih. (*)