KABARBURSA.COM - Pemerintah Indonesia telah berkomunikasi dengan para pejabat Amerika Serikat untuk melakukan negosiasi dalam merespons tarif impor yang ditetapkan oleh Presiden Donald Trump.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa Indonesia secara aktif melakukan pendekatan diplomatik dan ekonomi dengan para pejabat tinggi di Washington.
“Kami dari Washington tadi telah bertemu dengan Secretary of Commerce, World Olympics dan juga U.S. Trade Representative Mr Ambassador Jamieson Greer. Dan akan ada rencana pertemuan dengan Secretary Treasury minggu depan terkait dengan pengenaan tarif dari Amerika,” ujar Airlangga dalam konferensi pers yang dilakukan secara daring, Jumat, 18 April 2025.
Airlangga menyebut komunikasi lintas kementerian juga dilakukan secara paralel.
“Kemarin Menteri Luar Negeri Sugiono, bertemu mitra, Secretary of State, Marco Rubio,” katanya.
Langkah ini merupakan bagian dari strategi negosiasi tarif yang tengah digencarkan Indonesia, menyusul pernyataan Amerika Serikat untuk meninjau ulang kebijakan tarif terhadap sejumlah negara mitra dagang, termasuk Indonesia. Pemerintah RI menekankan pentingnya kerja sama dagang yang adil dan berimbang dengan Amerika Serikat.
“Pemerintah Indonesia secara aktif mengakses pejabat yang terkait di Amerika Serikat ini sebagai kelanjutan daripada yang sudah disampaikan kepada United States Trade Representative (USTR), Secretary of Commerce, dan Secretary of Treasury,” ujarnya.
Airlangga juga menyampaikan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang menerima respons cepat dari AS.
“Kami sudah ber-zoom video hari Senin yang lalu dan dengan Commerce Secretary Howard Lutnick. Dan dari hasil pembicaraan Indonesia ini merupakan salah satu negara yang diterima lebih awal,” ungkapnya.
Tawaran Dagang Indonesia
Untuk memperkuat posisi dalam negosiasi, Indonesia menyampaikan beberapa tawaran konkret.
“Ada beberapa hal yang diusulkan oleh Indonesia seperti yang sudah disampaikan di dalam surat resmi bahwa Indonesia akan meningkatkan pembelian energi dari Amerika Serikat antara lain LPG, kemudian juga fuel oil, dan gasoline,” jelas Airlangga.
Tak hanya itu, Indonesia juga berencana meningkatkan impor produk agrikultur dari AS.
“Indonesia berencana untuk terus memberi produk agrikultur antara lain gandum, soya bean, soya bean meal dan juga Indonesia akan meningkatkan pembelian barang-barang modal dari Amerika,” imbuhnya.
Indonesia juga membuka ruang kerja sama strategis di sektor mineral penting.
“Indonesia juga menawarkan kerjasama terkait dengan mineral strategis atau critical mineral dan juga terkait dengan mempermudah terkait dengan prosedur daripada impor untuk produk-produk termasuk produk hortikultura dari Amerika,” terang Airlangga.
Dalam bidang investasi, pemerintah mendorong skema business-to-business dan membuka peluang kerja sama di sektor pendidikan, teknologi, hingga layanan keuangan.
“Indonesia juga mendorong pentingnya perkuatan kerjasama di sektor pengembangan sumber daya manusia antara lain untuk sektor pendidikan, sains, teknologi, engineering, matematika, ekonomi digital serta tentu Indonesia juga mengangkat terkait dengan financial services yang lebih cenderung untuk menguntungkan negara Amerika Serikat,” tandas Airlangga.
Bahaya Intai Indonesia
Di tengah ketegangan geopolitik dan persaingan ekonomi global, Amerika Serikat (AS) tengah merancang strategi baru: menggunakan kebijakan tarif sebagai alat untuk mengisolasi China.
Langkah ini bertujuan menggalang dukungan lebih dari 70 negara mitra dagang, agar mereka ikut menekan China dengan tidak membuka celah perdagangan yang bisa dimanfaatkan Negeri Tirai Bambu untuk menghindari tarif dari Washington.
Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana melihat absennya Indonesia dalam agenda kunjungan Xi sebagai sinyal yang patut dicermati. Apalagi dalam konteks wacana isolasi China oleh AS, posisi Indonesia bisa berada dalam risiko yang dilematis.
“Selama ini Indonesia telah bertindak submisif dengan permintaan AS agar tarif ke Indonesia bisa dikurangi. Namun, jika nanti AS meminta Indonesia untuk ikut mengisolasi China, maka ini akan menjadi permintaan yang lebih sulit karena China hari ini bagi perdagangan Indonesia posisinya jauh lebih lebih penting daripada AS,” ujar Andri kepada kabarbursa.com, Kamis, 17 April 2025.
Andri mengungkapkan China tercatat sebagai negara tujuan ekspor sekaligus sumber impor terbesar bagi Indonesia. Artinya, permintaan AS untuk turut mengisolasi China berpotensi merugikan kepentingan ekonomi nasional, apalagi jika Indonesia tunduk tanpa syarat.
Lebih lanjut, Andri mengingatkan bahwa jika Indonesia tetap menunjukkan sikap terlalu patuh terhadap tekanan AS, maka bisa saja justru Indonesia yang akan tersingkir dari peta strategi dagang regional.
“Jika Indonesia semakin bertindak submisif (tunduk) dengan AS dan bahkan mempertimbangkan tawaran AS untuk mengisolasi China tersebut, maka ini akan berdampak negatif bagi posisi Indonesia di mata mitra-mitra dagang China dan bisa jadi malah Indonesia yang ikut terisolasi,” tegasnya.
Ia juga menilai bahwa wacana isolasi China oleh AS memang tampak masuk akal di atas kertas, tetapi akan sulit diimplementasikan oleh banyak negara.
Bila ada yang setuju, kata dia, jumlahnya kemungkinan sangat sedikit. Indonesia, menurut Andri, sebaiknya tidak ikut dalam kelompok kecil tersebut.
“Wacana AS tersebut walaupun tampak plausibel di atas kertas namun akan sulit dilaksanakan untuk efektif dilakukan oleh banyak negara, dan andaikan ada yang bersedia sekalipun, jumlahnya akan sedikit. Indonesia sebaiknya tidak termasuk dalam sedikit negara tersebut dan sudah semestinya berhenti berperilaku submisif terhadap AS,” jelasnya.
Andri juga menyayangkan sikap Indonesia yang seolah terlalu yakin bisa mengambil untung dari konflik dagang antara dua kekuatan besar dunia. Menurutnya, alih-alih menjadi pemain netral, Indonesia justru terlihat seperti pihak yang melayani dua tuan sekaligus.
“Indonesia sangat dipertanyakan seberapa kuat pendirian Indonesia untuk bisa menyebut dirinya netral. Alih-alih berlagak sebagai pemain netral yang mengambil kesempatan dalam pertarungan dua pemain besar, Indonesia jauh lebih mudah diperlakukan menjadi bawahan yang melayani dua tuan,” kata dia.(*)