Logo
>

DMI Bukan Urusan Tambang, Pemerintah Diingatkan soal Risiko dan Biaya

IMEF menilai proyek DMI terlalu kompleks untuk ditangani industri tambang, sebab butuh biaya besar, infrastruktur kimia, dan kepastian pasar.

Ditulis oleh Dian Finka
DMI Bukan Urusan Tambang, Pemerintah Diingatkan soal Risiko dan Biaya
IMEF menyebut proyek DMI bukan urusan tambang. Pemerintah perlu perhitungkan keekonomian, risiko teknologi, dan kesiapan pasar secara menyeluruh. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM – Proyek Domestic Market Industry (DMI) digadang-gadang jadi fondasi transisi energi nasional. Tapi di balik narasi besar itu, realitasnya tak semulus wacana. Menurut Ketua Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo, proyek ini justru berada di luar domain industri tambang. Ia menyebut, DMI adalah urusan industri kimia—mahal, berisiko tinggi, dan belum banyak yang berani menyentuhnya.

Singgih menjelaskan dirinya sempat diminta terlibat dalam proyek metal dan pengeboran (drilling), namun nyaris tidak ada pihak yang berani berinvestasi karena kompleksitas dan tantangan biaya yang sangat tinggi. Hal serupa menurutnya terjadi pada proyek DMI.

“Pihak yang diharapkan menjalankan DMI adalah pemegang PKP2B, terutama yang akan berubah menjadi IUPK. Tapi membangun DMI bukan hanya soal niat, ini butuh modal besar, insentif fiskal, kesiapan tambang, pelabuhan, dan kepastian pasar,” kata Singgih kepada awak media, Kamis, 29 Mei 2025.

Menurut Singgih, masalah paling krusial adalah keekonomian. Biaya produksi DMI saat ini dinilai masih lebih mahal dibanding LPG impor, sehingga daya saingnya lemah tanpa dukungan kuat dari sisi teknologi dan kebijakan.

Risiko Besar, Teknologi Belum Siap
Dalam penilaian Singgih, untuk menjadikan DMI sebagai bagian dari strategi transisi energi, perlu ada teknologi yang sangat efisien dan rendah risiko. 

Dewan Energi Nasional (DEN) bahkan telah menetapkan target produksi DMI sebesar 2,5 hingga 3 juta ton. Namun hingga kini, pertanyaan paling mendasar belum terjawab: siapa pelaksana riilnya?

“Siapa yang akan menanggung biayanya? Apakah teknologinya sudah cukup ekonomis?” ucapnya.

Ia kemudian membandingkan dengan China, yang secara teknologi sudah mendekati skala keekonomian dalam bidang engineering dan konstruksi. Namun, lanjutnya, bahkan negara sebesar China pun masih belum mampu menjawab semua tantangan keekonomian dalam transisi energi berbasis DMI.

“Jadi, apakah transisi energi lewat DMI bisa menggantikan peran impor? Jawabannya: belum tentu,” tegasnya.

Kontrol Produksi Lebih Penting daripada Ekspansi Tambang

Singgih menyoroti transisi energi tidak bisa hanya dimaknai sebagai upaya memperluas tambang atau memperbanyak proyek energi baru. Menurutnya, kontrol terhadap produksi nasional menjadi lebih penting dalam konteks menjaga kualitas cadangan dan efisiensi pasokan.

Ia mencontohkan, dalam sektor aluminium, produksi nasional hanya mencapai 6 juta ton. Tambahan dari sektor TBCO (underground mining) dan lainnya diperkirakan hanya menyumbang 20 juta ton lagi. Sementara itu, penurunan impor sektor rumah tangga jauh lebih besar, sehingga dampaknya ke neraca energi menjadi timpang.

“Kunci utama adalah mengontrol produksi nasional, bukan hanya memperbanyak jumlah tambang,” katanya.

Menurutnya, cadangan batubara nasional memang secara angka terlihat besar, namun dari sisi kualitas dan lokasi, potensi masalah sudah mulai muncul. “Cadangan bisa saja tidak habis secara fisik, tapi kualitasnya menurun dan jaraknya makin jauh dari pusat permintaan. Ini harus dikelola dengan cermat,” ujarnya mengingatkan.

Tekanan Fiskal Ubah Arah Produksi

Singgih juga menyinggung arah kebijakan produksi batu bara yang kerap bergeser dari rencana awal akibat tekanan fiskal. Ia mengutip Perpres No. 22 Tahun 2017, di mana Dewan Energi Daerah (DED) sempat mengusulkan batas produksi hanya 400 juta ton. Namun faktanya, pemerintah terus mendorong produksi di atas 700 juta ton demi mengejar pendapatan negara.

“Tahun lalu target produksi adalah 710 juta ton, tapi realisasinya mencapai 836 juta ton. Tahun ini target 736 juta ton, tapi melihat kondisi pasar, bisa saja turun lagi,” jelasnya.

Lonjakan produksi ini, menurut Singgih, justru bisa mengganggu stabilitas jangka panjang karena mempercepat penurunan cadangan berkualitas tinggi dan memperlebar jurang antara produksi dan kebutuhan domestik.

“Jika tidak dikendalikan, kita akan masuk ke jebakan ganda: produksi tinggi tanpa permintaan ekspor, dan pasokan domestik yang tidak mencukupi,” kata Singgih.(")

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.