KABARBURSA.COM – Kurs dolar Amerika Serikat menguat secara luas, mendorong Indeks Dolar (DXY) naik 0,62 persen ke level 99,47, tertinggi sejak awal Agustus. Kenaikan dipicu oleh kombinasi dua faktor utama, yaitu nada hawkis Federal Reserve dan meningkatnya ketidakpastian global yang mendorong permintaan asset safe haven dalam bentuk greenback.
Risalah rapat The Fed bulan September menunjukkan bahwa sebagian besar pejabat bank sentral AS masih berhati-hati terhadap inflasi dan menilai risiko terhadap pasar tenaga kerja meningkat.
Meskipun peluang pemangkasan suku bunga 25 basis poin pada pertemuan 28–29 Oktober hampir pasti (95 persen), pejabat The Fed seperti Gubernur Michael Barr menekankan pentingnya kehati-hatian dalam pelonggaran lanjutan.
Nada seperti ini memberi kesan bahwa The Fed belum sepenuhnya dovish, sehingga dolar mendapatkan dukungan tambahan.
Penguatan dolar ini membuat nilai tukar yen Jepang tergelincir ke posisi terlemah sejak pertengahan Februari. Kelemahan yen kali ini bukan semata karena faktor teknikal, melainkan akibat kombinasi antara kurangnya kejelasan kebijakan ekonomi dari pemerintahan baru Sanae Takaichi dan kebangkitan kembali dolar AS yang ditopang oleh nada hawkish dari pejabat Federal Reserve.
Kurs dolar AS menguat 0,27 persen menjadi 153,09 yen, setelah sempat menyentuh 153,23, level tertinggi sejak 13 Februari. Pernyataan Takaichi yang “tidak ingin memicu penurunan yen berlebihan” sempat memicu reli sesaat, tetapi pasar segera merespons dengan skeptisisme karena tidak ada komitmen konkret terhadap kebijakan intervensi atau penguatan yen.
Analis menilai, pelaku pasar kini meragukan kemampuan pemerintahan Takaichi untuk meloloskan paket stimulus besar tanpa memperburuk defisit fiskal. Ketidakpastian ini memperlemah posisi yen karena investor menilai bahwa Jepang masih akan mempertahankan kebijakan moneter longgar.
Selain itu, tekanan inflasi domestik yang terus meningkat menambah dilema bagi pemerintah dan Bank of Japan (BOJ). Jika menaikkan suku bunga terlalu cepat, ekonomi berisiko melambat, namun jika tetap akomodatif, nilai tukar yen bisa kian terpuruk.
Euro Melemah di Tengah Krisis Politik Prancis
Di sisi lain, euro menghadapi tekanan ganda, ketidakstabilan politik di Prancis dan pandangan hati-hati dari Bank Sentral Eropa (ECB). Mata uang tunggal Eropa itu merosot 0,61 persen ke posisi USD1,1555, terendah sejak awal Agustus.
Hal ini terjadi setelah Perdana Menteri Prancis Sebastien Lecornu dan seluruh kabinetnya mengundurkan diri. Kekosongan politik ini menghambat proses pengesahan anggaran penghematan yang dibutuhkan untuk menenangkan pasar keuangan dan mengendalikan defisit negara.
Risalah pertemuan ECB pada 10–11 September menegaskan bahwa kebijakan moneter saat ini sudah cukup restriktif untuk menahan inflasi. Namun, pernyataan itu juga mengindikasikan bahwa ECB belum siap mengambil langkah baru sebelum mendapatkan kejelasan lebih lanjut.
Sikap pasif ini menambah tekanan bagi euro, yang kehilangan momentum terhadap dolar karena perbedaan arah kebijakan moneter di kedua sisi Atlantik. The Fed masih hawkish, sedangkan ECB cenderung menunggu.
Secara keseluruhan, pasar valuta asing sedang berada dalam fase risk-off, di mana investor lebih memilih dolar AS sebagai aset aman di tengah ketidakpastian geopolitik dan politik.
Penutupan sebagian pemerintahan AS (government shutdown) juga menciptakan efek paradoksal, meskipun mengindikasikan disfungsi fiskal, kondisi itu justru memperkuat dolar karena investor mencari likuiditas tinggi di tengah volatilitas pasar global.
Selain itu, pernyataan Menteri Transportasi AS Sean Duffy tentang potensi pemberhentian pengendali lalu lintas udara akibat absensi selama penutupan menambah kekhawatiran akan dampak ekonomi praktis dari kebuntuan politik Washington.
Namun sejauh ini, pasar masih menilai shutdown hanya sementara, dan tidak mengubah prospek ekonomi AS secara fundamental.
Analisis Performa Mata Uang: Dominasi Dolar
Kekuatan dolar AS saat ini mencerminkan pergeseran sentimen global menuju aset berisiko rendah. Yen dan euro sama-sama tertekan oleh ketidakpastian domestic, yen karena kebijakan ekonomi yang belum jelas dan euro karena gejolak politik Prancis serta sikap wait and see ECB.
Dalam kondisi seperti ini, dolar berperan sebagai jangkar stabilitas global, sementara mata uang lain tertahan di bawah tekanan fundamental masing-masing.
Yen kemungkinan akan tetap berada di wilayah lemah dalam jangka pendek, kecuali pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan fiskal yang kredibel atau BOJ mengubah sikap ultra-longgarnya. Sementara euro berpotensi pulih secara terbatas jika politik Prancis stabil dan inflasi Eropa menunjukkan penurunan yang konsisten.
Untuk saat ini, dolar AS masih menjadi primadona di pasar global, mencerminkan keyakinan investor bahwa ekonomi Amerika tetap lebih tangguh dibandingkan mitra dagangnya.
Dengan demikian, dinamika di pasar valuta asing saat ini menggambarkan pergeseran keseimbangan kekuatan mata uang global, di mana dolar kembali menjadi pilihan utama di tengah turbulensi politik dan kebijakan yang belum pasti di Eropa dan Asia.(*)