Logo
>

Dolar AS Menguat Terdongkrak Imbal Hasil Obligasi

Ditulis oleh Yunila Wati
Dolar AS Menguat Terdongkrak Imbal Hasil Obligasi

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pada penutupan perdagangan Rabu waktu setempat, 8 Januari 2025, atau Kamis dinihari WIB, 9 Januari 2025, dolar AS mengalami penguatan untuk sesi kedua berturut-turut, seiring dengan lonjakan imbal hasil obligasi AS, khususnya US Treasury 10 tahun yang mencapai 4,73 persen, tertinggi sejak April 2024.

    Penguatan ini terjadi di tengah laporan mengenai langkah-langkah darurat yang sedang dipertimbangkan oleh Presiden terpilih Donald Trump. CNN melaporkan, Trump sedang mempertimbangkan untuk mengumumkan keadaan darurat ekonomi nasional untuk memberikan dasar hukum bagi penerapan tarif baru kepada sekutu maupun negara musuh.

    Meskipun data ketenagakerjaan swasta AS melalui laporan ADP menunjukkan pelemahan yang lebih tajam dari perkiraan pada Desember 2024—hanya menambah 122.000 pekerjaan—sentimen pasar terhadap dolar tetap bullish. Hal ini sejalan dengan peningkatan tajam di Indeks Dolar (DXY) yang melonjak 0,41 perseb menjadi 109,15, mengindikasikan kekuatan dolar yang masih kokoh meskipun ada data pasar tenaga kerja yang kontradiktif.

    Imbal hasil yang meningkat ini menjadi sentimen positif bagi dolar, meskipun ada laporan dari Washington Post yang mengisyaratkan tarif yang lebih longgar oleh pemerintah Trump, yang kemudian dibantah oleh Presiden.

    Data pasar tenaga kerja menunjukkan ada penurunan klaim pengangguran ke level terendah dalam 11 bulan, yang semakin memperkuat pandangan positif terhadap ekonomi AS. Para investor kini menantikan laporan ketenagakerjaan utama yang akan dirilis pada hari Jumat ini.

    Meski ada tanda-tanda pelambatan ekonomi, pasar memperkirakan bahwa Federal Reserve kemungkinan besar akan mulai mengurangi suku bunga pada Juni 2025, meskipun ada ketidakpastian mengenai kecepatan penurunan tersebut.

    Di sisi lain, nilai tukar poundsterling jatuh 1,06 persen menjadi USD1,2339, tertekan oleh aksi jual tajam terhadap saham dan surat utang pemerintah Inggris, dengan imbal hasil obligasi Inggris mencapai level tertinggi dalam 16,5 tahun. Penguatan dolar AS juga tercatat terhadap yen Jepang, naik 0,22 persen menjadi 158,36, mendekati level 160 yang memicu kekhawatiran otoritas Jepang akan melakukan intervensi.

    Investor kini memperhatikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pergerakan dolar lebih lanjut, di antaranya adalah langkah kebijakan ekonomi Trump terkait tarif dan pertemuan terbaru Federal Reserve yang dapat memberi petunjuk lebih lanjut tentang arah kebijakan moneter di tengah kondisi ekonomi global yang terpengaruh oleh pengaruh tarif dan inflasi.

    Mata Uang Asia Rontok

    Penguatan dolar AS membuat nilai tukar mata uang emerging market di kawasan Asia rontok pada sesi perdagangan hari Rabu, 8 Januari. Keruntuhan dipimpin oleh kemerosotan rupiah Indonesia dan dollar Taiwan.

    Indeks MSCI yang mengukur pergerakan mata uang negara-negara berkembang tercatat turun sebesar 0,2 persen, mencatatkan penurunan terburuk dalam hampir tiga pekan terakhir. Pemicu utama pelemahan mata uang tersebut adalah penguatan dolar AS, yang dipicu oleh rilis data ketenagakerjaan Amerika Serikat yang menunjukkan pasar tenaga kerja AS masih kuat. Kondisi ini memberikan ruang bagi Federal Reserve untuk menunda pengurangan suku bunga lebih lama daripada yang diperkirakan sebelumnya.

    Salah satu faktor yang memperkuat dolar adalah ketahanan pasar tenaga kerja AS, yang membuat prospek kenaikan suku bunga lebih tinggi untuk jangka waktu lebih lama semakin mungkin. Hal ini menambah ketertarikan terhadap dolar AS sebagai aset yang lebih stabil dan menguntungkan.

    Indeks Dolar AS (DXY) sendiri mendekati level tertinggi dalam dua tahun terakhir, didorong oleh imbal hasil obligasi US Treasury 10 tahun yang mencapai level tertinggi sejak April. Akibatnya, investasi di pasar negara-negara berkembang (emerging market/EM) menjadi kurang menarik, karena perbedaan imbal hasil yang semakin lebar dengan dolar AS.

    Menurut Christopher Wong, ahli strategi mata uang di OCBC, kebijakan suku bunga yang lebih tinggi dan berlanjut di Amerika Serikat berpotensi memberi tekanan besar pada mata uang negara-negara berkembang yang mengambil kebijakan lebih longgar.

    Mata uang seperti peso Filipina, rupee India, dan rupiah Indonesia (IDR) mengalami tekanan pelemahan, yang terlihat jelas dengan dolar Taiwan dan rupiah Indonesia yang masing-masing turun sekitar 0,5 persen. Peso Filipina juga tercatat turun 0,3 persen, sementara ringgit Malaysia melemah sekitar 0,2 persen.

    Selain itu, yuan China jatuh lebih lanjut, merosot ke posisi terendah dalam 16 bulan terakhir. Penurunan nilai yuan ini tak lepas dari kekhawatiran mengenai kemungkinan penerapan tarif AS yang lebih tinggi setelah Presiden Donald Trump dilantik. Ketegangan perdagangan antara AS dan China menjadi salah satu faktor yang menjaga nilai mata uang China tetap tertekan, mengingat kekhawatiran tentang dampak kebijakan perdagangan tersebut.

    Namun, meskipun sebagian besar pasar valuta asing Asia mengalami pelemahan, pasar saham di kawasan ini menunjukkan perkembangan yang beragam.

    Indeks saham di Singapura justru mencatatkan kenaikan signifikan, naik hingga 1,1 persen, mencapai level tertinggi sejak Oktober 2007. Salah satu faktor pendorongnya adalah harapan bahwa Bank Sentral Singapura akan menurunkan suku bunga pada rapat kebijakan mendatang, seiring dengan melambatnya inflasi inti yang lebih cepat dari yang diperkirakan.

    Di Korea Selatan, indeks saham acuan KOSPI melonjak 1,2 persen, mencatatkan penguatan untuk sesi keempat berturut-turut. Katalis utama kenaikan ini adalah penguatan saham Samsung Electronics, yang dipicu oleh optimisme pasar setelah CEO Nvidia menyatakan keyakinannya bahwa Samsung dapat segera menghasilkan desain chip memori yang lebih canggih.

    Namun, saham-saham Taiwan yang sebelumnya meroket, berbalik arah dan turun 1 persen setelah mencatatkan kenaikan tiga hari berturut-turut. Begitu pula dengan saham-saham di Malaysia, yang tergelincir 0,5 persen.

    Pergeseran nilai tukar mata uang dan volatilitas yang terjadi di pasar saham Asia ini menandakan adanya dinamika global yang berpengaruh besar pada perekonomian kawasan, dengan pasar AS dan kebijakan The Fed menjadi faktor utama yang terus memengaruhi sentimen investasi di negara-negara berkembang.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79