KABARBURSA.COM - Indeks Dolar AS (DXY) kembali melemah tipis sebesar 0,1 persen menjadi 106,25. Pelemahan ini terdorong ekspektasi pasar bahwa Federal Reserve akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan Desember.
Pasar keuangan global memang sedang memasuki periode volatilitas yang dipicu oleh data ekonomi Amerika Serikat, perkembangan politik di Eropa dan Asia, serta kebijakan bank sentral yang sangat dinantikan oleh para investor.
Data tenaga kerja dari ADP menunjukkan peningkatan payrollsdi sektor swasta sebesar 146.000 pekerjaan pada November. Angka tersebut sedikit di bawah ekspektasi analis, sementara pertumbuhan upah tahunan mulai meningkat untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir.
Selain itu, aktivitas sektor jasa AS juga melambat. Indeks PMI non-manufaktur turun ke angka 52,1 dari 56,0 pada Oktober. Perlambatan ini menjadi sinyal bahwa momentum ekonomi mulai memudar pada kuartal ini, seiring dengan kinerja sektor manufaktur yang masih lesu.
Pasar saat ini sedang mencermati komentar dari Ketua Federal Reserve Jerome Powell, yang menjadi petunjuk lebih lanjut mengenai arah kebijakan moneter, sebelum laporan ketenagakerjaan AS pada Jumat esok, 6 Desember 2024, memberikan gambaran yang lebih jelas.
Di Asia, won Korea Selatan menunjukkan penguatan signifikan setelah sebelumnya tertekan akibat pengumuman darurat militer oleh Presiden Yoon Suk Yeol yang kemudian dibatalkan.
Won naik 0,7 persen terhadap dolar AS, didukung oleh intervensi bank sentral dan komitmen pemerintah untuk menyediakan likuiditas tanpa batas. Namun, ketidakstabilan politik tetap menjadi perhatian, terutama setelah parlemen Korea Selatan mengajukan mosi pemakzulan terhadap Presiden Yoon.
Sementara itu, di Eropa, euro menguat tipis sebesar 0,1 persen terhadap dolar, ditutup pada USD1,0522, meski dihadapkan pada ketidakpastian politik di Prancis. Mosi tidak percaya terhadap Perdana Menteri Michel Barnier hampir dipastikan akan menggulingkan koalisi pemerintahannya, yang berpotensi memperdalam krisis politik di ekonomi terbesar kedua zona euro.
Presiden Emmanuel Macron disebut-sebut siap menunjuk perdana menteri baru jika Barnier dilengserkan. Kondisi ini semakin membebani euro yang telah mengalami pelemahan akibat tantangan ekonomi Eropa, termasuk ancaman tarif dari AS dan melemahnya minat investor terhadap aset Eropa.
Presiden Bank Sentral Eropa (ECB) Christine Lagarde, juga memberikan komentar dalam sidang parlemen bahwa ECB akan terus menurunkan suku bunga. Namun, ia tidak memberikan komitmen pelonggaran tambahan, meninggalkan pasar dalam ketidakpastian menjelang pertemuan ECB pada 12 Desember, yang diperkirakan akan menghasilkan pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin.
Dengan berbagai dinamika ini, pasar global bergerak di bawah bayang-bayang ketidakpastian yang dipicu oleh kombinasi faktor ekonomi, geopolitik, dan kebijakan moneter.
Fokus kini tertuju pada langkah-langkah strategis dari bank sentral utama dunia, terutama Federal Reserve dan ECB, yang akan sangat menentukan arah pergerakan pasar dalam beberapa pekan mendatang.
Rupiah Terbenam Dolar
Sementara, nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat terhadap rupiah, dengan kurs mata uang Negeri Paman Sam itu masih bertahan di kisaran Rp15.900, pada perdagangan Rabu sore, 4 Desember 2024.
Penguatan ini memberikan tekanan signifikan pada perekonomian Indonesia, terutama pada harga bahan baku impor yang semakin mahal.
Mengutip data Google Finance, Rabu, 4 Desember 2024, dolar AS berada di posisi Rp15.958,76, mengalami penurunan tipis 0,13 persen. Namun, data RTI mencatat dolar AS di level Rp15.954, menguat 25 poin atau 0,16 persen.
Pengamat Pasar Uang Ariston Tjendra menyebutkan pelemahan rupiah didorong oleh berbagai faktor global, termasuk kebijakan proteksionis Presiden Terpilih AS, Donald Trump, seperti kenaikan tarif impor.
“Kebijakan ini memicu gejolak ekonomi global sehingga pelaku pasar mencari aset yang dianggap aman, seperti dolar AS. Selain itu, peningkatan tensi perang di Timur Tengah dan Ukraina turut mendorong permintaan dolar AS,” jelas Ariston.
Ia menambahkan, prospek pemangkasan suku bunga acuan AS juga menjadi perhatian pasar. Namun, data ekonomi AS yang menunjukkan perbaikan membuat pasar memproyeksikan bahwa langkah tersebut tidak akan agresif.
Penguatan dolar AS memicu kekhawatiran terhadap industri dalam negeri yang bergantung pada bahan baku impor.
“Industri yang membutuhkan bahan baku impor, termasuk sektor pertanian dan peternakan, akan kesulitan karena biaya pembelian bahan baku melonjak,” ujar Ariston.
Selain itu, ia menyoroti dampak terhadap utang dalam dolar AS. “Utang perusahaan berbasis rupiah akan semakin sulit dilunasi, dan utang pemerintah juga berisiko membengkak,” tuturnya.
Pengamat Pasar Uang lainnya, Ibrahim Assuaibi, mengungkapkan bahwa kondisi geopolitik global menjadi salah satu penyebab utama melemahnya rupiah.
“Dolar terus menguat akibat ketegangan geopolitik, sehingga nilai tukar rupiah bahkan mencapai Rp16.000 dalam perdagangan perbankan,” ujarnya.
Ibrahim juga menambahkan bahwa penguatan dolar akan memicu inflasi yang lebih tinggi di Indonesia.
“Barang-barang impor, seperti teknologi, otomotif, pupuk, dan komoditas seperti kacang kedelai, akan semakin mahal. Hal ini pada akhirnya mendorong inflasi di dalam negeri,” tuturnya.
Penguatan dolar AS menuntut kewaspadaan dari pemerintah dan pelaku industri untuk memitigasi dampaknya, baik melalui pengelolaan kebijakan moneter maupun penguatan struktur industri domestik.(*)