Logo
>

DPR: Indonesia Bangsa Besar, tak Perlu Takut Ancaman Trump

DPR menegaskan Indonesia tak boleh gentar hadapi ancaman AS. Ia dorong strategi diplomasi yang kuat dan sinkronisasi data perdagangan untuk jaga kedaulatan ekonomi.

Ditulis oleh Dian Finka
DPR: Indonesia Bangsa Besar, tak Perlu Takut Ancaman Trump
Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun berbicara dengan awal media soal ancaman Donald Trump di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Kamiś, 24 April 2025. Foto: KabarBursa/Dian Finka

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan Indonesia tak perlu gentar menghadapi pernyataan keras dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Menurutnya, sikap mental bangsa harus diperkuat dengan jiwa patriotisme dan strategi diplomasi yang matang.

    “Apa yang perlu kita takutkan dari pernyataan Trump? Bangsa kita ini bangsa besar, bangsa yang ditakuti. Mungkin kita sedang naik kelas, jadi wajar jika ada yang mulai memberi tekanan,” ujar Misbakhun, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 24 April 2025.

    Politisi Partai Golkar itu mengungkapkan, situasi ini seharusnya dimaknai sebagai momen untuk belajar dan membangun taktik nasional yang lebih kokoh. Ia menilai keputusan Presiden Prabowo Subianto mengirim tim negosiator dari Indonesia sebagai langkah tepat dan strategis. “Kita butuh strategi. Tim negosiasi adalah cara terbaik untuk memahami dan mengantisipasi arah kebijakan selanjutnya dari AS,” ujarnya.

    Misbakhun juga menyoroti ketidaksinkronan data perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat. Dari total nilai perdagangan sebesar USD26,4 miliar (setara Rp441,9 triliun), Indonesia mencatatkan surplus yang berbeda versi. Versi Menteri Koordinator Perekonomian mencatat USD17,9 miliar (Rp298,9 triliun), sementara Badan Pusat Statistik dan Menteri Perdagangan mencatat USD14,6 miliar (Rp243,8 triliun).

    “Selisih USD3,3 miliar itu bukan angka kecil. Pemerintah perlu segera sinkronkan, karena ini menyangkut kredibilitas data nasional,” katanya. 

    Misbakhun menduga perbedaan tersebut muncul dari metode pencatatan antara yang berbasis devisa masuk dan dokumen Certificate of Origin (COO). Meski AS menjadi salah satu mitra dagang utama, Misbakhun mengingatkan ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam tersebut hanya mencakup 10 persen dari total ekspor nasional atau setara 2–2,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). “Kalau diibaratkan tubuh manusia, ini seperti sakit gigi atau bisul, mengganggu, tapi tidak mengancam keseluruhan sistem,” ujarnya.

    Ia pun mengingatkan agar publik tidak terjebak pada narasi krisis yang tidak berdasar. “Kadang ada yang suka menciptakan wacana krisis, lalu tampil sebagai ‘pemadam kebakaran’. Jangan sampai ini dimanfaatkan pihak tertentu,” kata Misbakhun.

    Soal kebijakan kuota dan perizinan teknis (pertek), Misbakhun mengapresiasi perhatian Prabowo. Namun, ia mewanti-wanti agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan kesan proteksionisme yang justru merugikan posisi Indonesia di mata mitra dagang global. “Contohnya TKDN. Kalau kita sudah kuat, silakan tetapkan target tinggi. Tapi kalau belum, jangan dipaksakan 80 persen. Kita harus fair,” katanya..

    Misbakhun juga menyinggung serangan terhadap Gerbang Pembayaran Nasional atau GPN oleh pihak asing. Menurutnya, Indonesia berhak membangun kedaulatan sistem pembayaran sendiri dan lepas dari dominasi sistem global seperti SWIFT. “Kita negara merdeka. Kedaulatan ekonomi, termasuk di sektor digital dan pembayaran, adalah keniscayaan,” ujarnya.

    Misbakhun menegaskan, bangsa Indonesia tidak bisa ditakut-takuti dan harus terus bergerak menuju kemandirian di berbagai sektor—dari energi hingga ekonomi digital.

    Trump Naikkan Tarif, Ancaman Serius bagi Sektor Padat Karya

    Kebijakan dagang proteksionis ala Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menghantam. Kali ini, giliran Indonesia yang kena getahnya: mulai 9 April 2025, seluruh produk asal Indonesia dikenai tarif 32 persen oleh Paman Sam. Angka ini bukan main-main, naik lebih dari tiga kali lipat dibanding tarif dasar sebelumnya di kisaran 10 persen.

    Tapi yang perlu dicatat bukan cuma soal barang. Ini juga soal nasib jutaan pekerja Indonesia di sektor padat karya, yang kini berada di garis depan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penurunan ekspor.

    Menurut Ninasapti Triaswati, ekonom dari Universitas Indonesia, sebagian besar produk Indonesia yang mencetak surplus dagang ke AS justru berasal dari sektor padat karya, seperti alas kaki, tekstil dan produk turunannya, serta mesin dan elektronik ringan. 

    "Ini adalah industri yang menyerap banyak tenaga kerja. Kalau permintaan dari AS turun karena tarif mahal, maka dampaknya langsung ke pabrik-pabrik kita di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan daerah lain,” ujar Nina, sapaan akrabnya, dalam wawancara eksklusif di Kabar Bursa.

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Perindustrian, sektor tekstil dan alas kaki sendiri menyerap lebih dari 4 juta tenaga kerja langsung di Indonesia, dengan sebagian besar berada di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ekspor tekstil dan produk tekstil ke AS pada tahun 2024 tercatat mencapai USD4,2 miliar, sementara alas kaki menyumbang sekitar USD2,1 miliar. 

    Artinya, tarif bukan cuma isu makro, tapi juga soal dapur pekerja kecil di Karanganyar, Ciamis, Majalaya, hingga Batam.

    Namun di balik risiko itu, ada juga peluang. Nina menyebut bahwa keterlibatan tenaga kerja Indonesia dalam rantai pasok produk AS bisa menjadi kartu tawar dalam negosiasi.

    “Ini bukan sekadar barang ekspor, ini soal livelihood pekerja kita yang bantu suplai kebutuhan pasar Amerika. Kalau itu terganggu, AS juga bisa kena dampak. Jadi kita bisa pakai ini sebagai alasan agar tarif diturunkan,” jelasnya.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.