Logo
>

DPR Kritik Kompensasi Dagang RI–AS: Kedaulatan Ekonomi Tergerus

DPR menilai kompensasi USD34 miliar untuk penurunan tarif ekspor ke AS berisiko menggerus kedaulatan ekonomi Indonesia.

Ditulis oleh Dian Finka
DPR Kritik Kompensasi Dagang RI–AS: Kedaulatan Ekonomi Tergerus
Presiden Indonesia Prabowo Subianto berbincang lewat sambungan telepon dengan Presiden AS Donald Trump, Juli 2025. Prabowo menyebut percakapan itu sebagai awal era baru hubungan dagang Indonesia–Amerika yang saling menguntungkan. Foto: Instagram @prabowo.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Anggota Komisi XI DPR RI, Amin Ak, menyoroti kesepakatan dagang terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat yang menurunkan tarif ekspor RI menjadi 19 persen.

    Meski mengapresiasi keberhasilan tim negosiator dalam meredam tekanan tarif tinggi, Amin menilai kesepakatan tersebut dibayar dengan ongkos ekonomi yang sangat besar dan minim keuntungan timbal balik bagi Indonesia.

    “Ini akan menguras devisa karena belanja negara yang sangat besar. Karena itu, saya berharap para pembantu Presiden bisa mengedepankan kehati-hatian agar kedaulatan ekonomi Indonesia tidak tergerus,” tegas Amin dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Jumat, 18 Juli 2025

    Wakil Ketua Fraksi PKS ini membeberkan, sebagai kompensasi atas penurunan tarif, Indonesia harus menyepakati pembelian energi dari AS senilai USD15 miliar, produk pertanian sebesar USD4,5 miliar, serta pembelian 50 unit pesawat Boeing. Total nilai transaksi mencapai USD34 miliar atau setara Rp552 triliun.

    “Di mana prinsip keadilan dagang atau resiprokal yang selama ini digaungkan Trump sendiri. Tarif 19 persen harus dibayar dengan membuka pasar kita bagi Amerika. Padahal, negara tetangga seperti Singapura hanya dikenai tarif 10 persen,” katanya.

    Amin juga menyoroti ketimpangan struktur perjanjian dagang tersebut. Di saat produk ekspor Indonesia tetap dikenai tarif, barang-barang Amerika seperti gandum, jagung, dan pesawat bisa masuk ke Indonesia tanpa bea masuk yang setara. Hal ini, menurutnya, menunjukkan tidak adanya keseimbangan yang seharusnya dijunjung dalam prinsip perdagangan internasional.

    Meski memahami tekanan yang dihadapi tim negosiator, Amin menyebut hasil perjanjian ini sebagai bentuk kompromi yang belum menguntungkan posisi Indonesia dalam konteks kedaulatan ekonomi nasional.

    Ia mendesak Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk bersikap lebih terbuka. Menurutnya, seluruh isi kesepakatan perlu diumumkan secara transparan ke publik, termasuk kemungkinan adanya klausul tersembunyi terkait pengadaan barang publik, integrasi sistem pembayaran asing ke dalam QRIS, dan pelonggaran sertifikasi halal.

    “Perlu juga dinegosiasikan ulang agar resiprokal tarif lebih adil dan bersifat timbal balik. Kalau ekspor kita dikenakan 19 persen, maka produk AS juga perlu dikenai tarif serupa atau diberi preferensi seperti yang diterima negara ASEAN lainnya,” ujarnya.

    Amin pun mengingatkan agar pembelian besar-besaran produk Amerika, khususnya di sektor pangan dan energi, tidak justru menekan sektor produksi dalam negeri yang masih berjuang menghadapi tekanan global.

    “Kesepakatan ini jangan sampai membuat kita terlena. Ini bukan akhir, tapi awal dari tantangan baru. Kita harus memastikan bahwa keringanan tarif hari ini tidak berubah menjadi ketergantungan pangan dan energi di masa depan,” kata Amin.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.