KABARBURSA.COM – Masa jabatan kedua Presiden Donald Trump kembali mengguncang tatanan global. Bukan hanya dari sisi geopolitik tetapi juga melalui kebijakan ekonomi yang ekstrem dan tidak konvensional.
Dalam waktu singkat, Trump mengeluarkan 143 perintah eksekutif dalam 100 hari pertama. Banyak di antaranya kontroversial dan dinilai bertentangan dengan hukum serta Konstitusi AS.
Beberapa kebijakan yang mencuat antara lain rencana menjadikan Kanada sebagai provinsi ke-51 AS, mengundang Greenland bergabung, hingga mengganti nama Gulf of Mexico menjadi Gulf of America.
Trump juga menyampaikan gagasan relokasi 2,1 juta warga Gaza dan menjadikan wilayah tersebut sebagai Riviera Timur Tengah. Selain itu, ia menarik AS dari WHO, Paris Agreement, dan UNHCR, serta membubarkan lembaga seperti USAID dan Kementerian Pendidikan.
Di bidang ekonomi, Trump kembali memainkan kebijakan tarif sebagai senjata utama. Ia menaikkan tarif untuk Kanada dan Meksiko sebesar 25 persen, serta menerapkan tarif balasan terhadap 90 negara dengan kisaran 10,5 hingga 50 persen. Tarif untuk China bahkan sempat diumumkan sebesar 245 persen sebelum direvisi menjadi 145 persen dan akhirnya turun menjadi 30 persen.
Ekonom Senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai bahwa kebijakan seperti ini menandakan pendekatan populis-ekstrem yang bisa mempercepat fragmentasi global.
“Ini bukan sekadar negosiasi dagang, tapi gambaran dari kecenderungan AS untuk memaksakan relasi satu arah,” ujarnya di Universitas Paramadina Kuningan, Jakarta Selatan pada Jumat, 13 Juni 2025.
Ketegangan politik dalam negeri turut membayangi. Persetujuan publik terhadap Trump turun ke kisaran 39 persen, salah satu yang terendah dalam sejarah presiden AS. Bila Partai Republik kehilangan kendali atas Kongres dalam pemilu sela 2026, Trump berpotensi menjadi presiden lame duck atau tanpa kekuatan legislatif yang berarti.
Ketidakpastian tersebut juga berdampak pada negosiasi dagang dengan China yang belum menunjukkan kepastian.
Di sisi fiskal, risiko kebangkrutan semakin nyata. Defisit anggaran AS diproyeksikan menembus USD 2,5 triliun atau 8,3 persen dari PDB pada 2025. Pemerintah juga diperkirakan akan mencatat utang publik sebesar USD 6,8 triliun pada 2034 jika tidak ada intervensi drastis. Selama satu dekade terakhir, defisit anggaran bahkan melampaui defisit perdagangan dengan rata-rata 5,8 persen terhadap PDB.
Wijayanto Samirin memaparkan, krisis citra AS semakin dalam. Sebuah survei menunjukkan bahwa 50,5 persen populasi ASEAN lebih memilih agar kawasan berpihak kepada China, sedangkan 49,5 persen berpihak kepada AS.
Setelah pengumuman tarif balasan pada 2 April 2025, persepsi terhadap AS diprediksi akan terus merosot. Citra lunak yang dibangun sejak Perang Dunia II cepat terkikis, bahkan di mata sekutu tradisional seperti Jepang, Korea Selatan, Kanada, dan Meksiko.
Dampaknya Terhadap Ekonomi Global juga Signifikan
Data terbaru menunjukkan perlambatan pertumbuhan PDB 2025 di berbagai negara, terutama Meksiko, Thailand, dan Vietnam yang sangat bergantung pada pasar ekspor AS. Sementara negara-negara dengan orientasi domestik yang lebih kuat seperti Brasil, India, dan Indonesia akan terdampak lebih ringan.
China telah bersiap menghadapi perang dagang berkepanjangan. Meskipun total ekspor China meningkat dari USD 2,65 triliun pada 2018 menjadi USD 3,58 triliun pada 2024, porsi ekspor ke AS justru turun dari 13 persen menjadi 12,3 persen. Sebagai strategi mitigasi, China memperbesar pasar ekspor non-AS dan meningkatkan investasi di negara-negara seperti Indonesia dan Vietnam.
"Indonesia sendiri tergolong cukup tangguh dalam menghadapi gejolak ini. Ekspor hanya menyumbang 21,8 persen dari PDB, sementara ekspor ke AS hanya mencakup 2,2 persen PDB," ujar dia.
Namun, 45,1 persen dari surplus ekspor Indonesia berasal dari perdagangan dengan AS, sehingga penurunan volume perdagangan dapat berdampak pada stabilitas neraca transaksi berjalan dan nilai tukar.
Wijayanto menegaskan, Indonesia harus tetap waspada terhadap dampak lanjutan dari kebijakan AS, terutama dalam menjaga stabilitas eksternal dan menjaga hubungan dagang dengan mitra non-AS.
“Ketahanan kita cukup baik, tapi bukan berarti kita kebal. Ketergantungan pada surplus perdagangan harus dikelola hati-hati,” katanya.
Dengan meningkatnya ketidakpastian global, ASEAN dan negara-negara berkembang dituntut untuk memperkuat kerja sama regional, meminimalkan risiko eksternal, dan memperluas diversifikasi pasar sebagai upaya meredam dampak dari turbulensi kebijakan global yang didorong oleh Trump 2.0.(*)