KABARBURSA.COM - Realokasi dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) senilai Rp200 triliun ke bank-bank pelat merah diperkirakan baru akan memberi tenaga penuh pada pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai 2026.
Alasannya, penempatan dana pemerintah baru bergulir di paruh kedua 2025 sehingga dampak terhadap perekonomian tahun berjalan masih terbatas. Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk (BNLI), Josua Pardede, menjelaskan kepada Ipotnews, Senin (15/9), bahwa tambahan pertumbuhan dari kebijakan ini bisa berkisar 0,3 hingga 0,6 poin persentase apabila penyaluran benar-benar mengalir ke sektor produktif. Namun, pada 2025, efeknya kemungkinan hanya setengah dari potensi itu.
“Untuk PDB 2025, kontribusinya cenderung parsial—sekitar separuh dari kisaran 0,3–0,6 ppt. Dampak yang lebih kentara akan terasa pada 2026 ketika pipeline proyek dan konsumsi sudah lebih menyerap,” ujar Josua.
Ia menambahkan, injeksi dana SAL berpeluang menambah pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sekitar 1,7 ppt, mendorong ekspansi kredit tambahan 0,8–1,4 ppt, dan pada akhirnya menyokong pertumbuhan PDB sebesar 0,3–0,6 ppt. Kondisi likuiditas perbankan pun dinilai cukup lapang untuk menyerap dana jumbo tersebut. M2 pada Juli tumbuh 6,5 persen yoy, M1 meningkat 8,7 persen, sementara basis moneter juga ekspansif setelah memperhitungkan insentif likuiditas Bank Indonesia (BI). Dengan demikian, suntikan kas pemerintah tidak berhadapan dengan moneter yang ketat.
Dari sisi desain kebijakan, Josua menilai instrumen ini dipagari untuk mencegah moral hazard. Dana ditempatkan dalam deposito on call dengan bunga mengikuti BI-Rate, dilarang dipakai membeli Surat Berharga Negara (SBN), serta wajib dilaporkan secara rutin lengkap dengan sanksi bila dilanggar. Menurutnya, pagar tata kelola ini membantu meredam volatilitas yield maupun credit default swap (CDS) di tengah kebijakan fiskal yang lebih ekspansif.
Respon pasar sejauh ini positif. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat indeks obligasi negara menguat, rata-rata yield SBN turun 17 basis poin sepanjang Agustus. Likuiditas perbankan pun tetap tebal: AL/NCD mencapai 119,43 persen, AL/DPK 27,08 persen, dan LCR 205 persen.
Meski demikian, Josua menekankan penyaluran kredit tidak serta-merta melonjak hanya karena likuiditas longgar. Akselerasi kredit sangat ditentukan oleh kesiapan proyek, pricing, dan manajemen risiko perbankan—bukan semata ketersediaan dana.
Ia menutup dengan peringatan tegas: realokasi SAL hanyalah dorongan jangka pendek. “Injeksi SAL ibarat pelumas, bukan mesin. Jika ingin mendekati pertumbuhan 8 persen, kita membutuhkan investasi swasta, peningkatan produktivitas, ekspor manufaktur, dan reformasi struktural agar modal swasta benar-benar terundang masuk,” pungkas Josua.(*)