Logo
>

Efektivitas Kenaikan UMP dan PPN Dipertanyakan, Celios Soroti Risiko ini

Ditulis oleh Dian Finka
Efektivitas Kenaikan UMP dan PPN Dipertanyakan, Celios Soroti Risiko ini

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Center of Economic and Law Studies (Celios) meragukan efektivitas kebijakan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen dan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada 2025.

    Achmad Hanif Imaduddin, peneliti dari Celios, menyatakan bahwa pendapatan pekerja atau buruh pada 2025 diperkirakan masih belum mencukupi untuk mengimbangi lonjakan harga barang dan jasa akibat inflasi. Di sisi lain, bagi para pengusaha, peningkatan upah ini justru menambah beban operasional perusahaan.

    "Meskipun kenaikan UMP dapat dilihat sebagai kabar positif, dampaknya dalam jangka panjang diperkirakan tidak akan signifikan," ujar Hanif dalam wawancara dengan Kabarbursa.com pada Kamis, 5 Desember 2024.

    Hanif menjelaskan bahwa tingginya tarif pajak akan langsung menggerus daya beli masyarakat. Konsumsi yang terhambat akibat kondisi ini diprediksi akan membuat perekonomian berjalan stagnan.

    "Kenaikan upah yang ditetapkan oleh pemerintah tidak akan banyak berpengaruh. Pemasukan masyarakat tetap tidak akan cukup untuk mengimbangi pengeluaran mereka," tambahnya.

    Sebagai solusi, Hanif mengusulkan berdasarkan hasil penelitian Celios, agar pemerintah menaikkan UMP sebesar 9 persen. Angka ini dianggap diperlukan untuk mengimbangi dampak inflasi dan memberikan ruang bagi buruh untuk mempertahankan kapasitas daya beli mereka.

    “Melihat tren kenaikan harga barang, penyesuaian UMP seharusnya lebih besar. Meskipun ada peningkatan 6,5 persen, hal ini tidak cukup untuk meringankan beban hidup buruh. Kenaikan UMP yang lebih signifikan diperlukan agar daya beli mereka tetap terjaga,” jelasnya.

    Hanif juga menyoroti dampak kebijakan ini terhadap pengusaha. Dengan adanya peningkatan tarif PPN dan kewajiban membayar upah yang lebih tinggi, banyak pengusaha merasa tertekan.

    “Untuk mengimbangi kenaikan PPN, perusahaan terpaksa harus menaikkan harga produk dan jasa mereka. Namun, langkah ini berpotensi menurunkan daya beli konsumen, yang pada gilirannya dapat mengakibatkan penurunan penjualan,” ujarnya.

    Menurut Hanif, dalam kondisi seperti ini, pengusaha mungkin akan lebih memilih memangkas jumlah tenaga kerja sebagai upaya menekan biaya operasional. Banyak perusahaan cenderung mengurangi jumlah karyawan daripada mengorbankan margin keuntungan mereka.

    Hanif menambahkan bahwa kebijakan kenaikan UMP yang tidak signifikan, ditambah dengan kenaikan PPN, dapat berpotensi menjadi "bom waktu" bagi perekonomian Indonesia. Tekanan ganda berupa peningkatan biaya hidup akibat kenaikan PPN dan upah yang tidak memadai dapat merugikan stabilitas ekonomi secara keseluruhan.

    “Jika kondisi ini terus berlanjut, kita bisa melihat semakin banyak perusahaan yang terpaksa memangkas tenaga kerja, sementara daya beli masyarakat tetap tertekan. Akibatnya, perekonomian tidak hanya stagnan, tetapi juga berisiko mengalami kontraksi,” tutup Hanif.

    Hanif menegaskan, tanpa langkah-langkah pendukung seperti peningkatan produksi atau kebijakan yang mampu mendorong daya beli masyarakat, ekonomi Indonesia berpotensi terjebak dalam lingkaran setan yang menghalangi pemulihan yang signifikan.

    Pemerintah Tetapkan Kenaikan 6,5 Persen

    Pada Jumat, 29 November 2024 pekan lalu, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk menaikkan upah minimum provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5 persen. Prabowo beralasan, kondisi usaha dan kebutuhan masyarakat menjadi pertimbangan utama hasil tersebut.

    “Kami memutuskan untuk menaikkan rata-rata UMP nasional sebesar 6,5 persen pada tahun 2025,” ujar Prabowo Subianto dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat, 29 November 2024.

    Tak lama setelah ketetapan presiden tersebut, kenaikan UMP sebesar 6,5 persen diapresiasi kalangan buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengapresiasi keputusan Prabowo yang menetapkan kenaikan UMP 2025 sebesar 6,5 persen. Menurut dia, keputusan ini sudah mempertimbangkan kesejahteraan buruh sekaligus keberlangsungan dunia usaha.

    “Setelah bertemu Presiden RI, bapak Prabowo Subianto, di Istana Kepresidenan hari ini, beliau memutuskan bahwa kebijakan UMP 2025 akan memperhatikan kesejahteraan buruh serta keberlangsungan dunia usaha,” kata Said Iqbal, Jumat, 29 November 2024.

    Keputusan ini lebih tinggi dari rekomendasi Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli, yang sebelumnya mengusulkan kenaikan sebesar 6 persen.

    “Menteri Ketenagakerjaan menyarankan kenaikan sebesar 6 persen, namun Pak Presiden menetapkan 6,5 persen. Ini sudah mendekati target tuntutan, sehingga kami dapat menerimanya,” ucap Said Iqbal.

    Said menilai, keputusan ini merupakan sebagai langkah positif dalam memperjuangkan kesejahteraan buruh tanpa mengabaikan stabilitas dunia usaha.

    Namun demikian, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkapkan bahwa hingga kini belum ada penjelasan menyeluruh mengenai metodelogi kenaikan UMP 2025. Mereka juga mempertanyakan apakah perhitungan tersebut sudah mempertimbangkan faktor produktivitas tenaga kerja, daya saing perusahaan, serta kondisi ekonomi yang berlaku saat ini.

    “Metodologi perhitungan ini sangat penting agar kebijakan yang diambil bisa menciptakan keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan dunia usaha. Penjelasan terkait penetapan UMP 2025 juga diperlukan agar dunia usaha dapat merespons ketidakpastian kebijakan pengupahan yang masih berlanjut,” kata Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani dalam keterangan tertulis, Minggu, 1 Desember 2024.

    Shinta menjelaskan, kenaikan UMP yang cukup besar ini tentu akan langsung berdampak pada biaya tenaga kerja dan struktur biaya operasional perusahaan, terutama di sektor yang padat karya.

    Ia pun mendorong pemerintah untuk memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai dasar kenaikan UMP serta memperhitungkan masukan dari dunia usaha guna memastikan kebijakan yang lebih efektif dan berkelanjutan. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.