Logo
>

Ekonom: IHSG Terpuruk karena Kebijakan Ekonomi Ugal-ugalan

IHSG anjlok lebih dari 11 persen dalam tiga bulan terakhir, mencerminkan ketidakpercayaan pasar terhadap kebijakan ekonomi pemerintah yang dinilai serampangan.

Ditulis oleh Dian Finka
Ekonom: IHSG Terpuruk karena Kebijakan Ekonomi Ugal-ugalan
Gedung Bursa Efek Indonesia. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang masih dalam kondisi terperosok dinilai karena kepercayaan pasar yang makin luntur terhadap kebijakan ekonomi pemerintah. Dalam tiga bulan terakhir, IHSG anjlok lebih dari 11 persen, jatuh dari level 7.163 ke 6.146. Kejatuhan ini tidak sekadar soal dinamika ekonomi global, tapi juga respons pasar terhadap kebijakan dalam negeri yang dinilai serampangan. 

    Ekonom senior INDEF, Didik J Rachbini, melihat kondisi ini sebagai sinyal bahaya bagi stabilitas ekonomi nasional. Menurutnya, penyebab utama bukan hanya ketidakpastian politik, tetapi juga kebijakan ekonomi yang diputuskan secara terburu-buru, salah satunya pembentukan holding Danantara yang disahkan DPR hanya dalam waktu tujuh hari. 

    Didik mengatakan konsep holding seperti Temasek memang menarik, tetapi karena eksekusinya yang ugal-ugalan justru membuat pasar bereaksi negatif. "Kebijakan ekonomi yang dikemas asal-asalan bisa berdampak negatif. Pasar bereaksi frontal terhadap pembentukan Danantara," ujar Didik kepada KabarBursa.com di Jakarta, Jumat, 21 Maret 2025.

    Dampaknya langsung terasa. Investor asing buru-buru menarik modalnya dengan arus dana keluar mencapai Rp24 triliun dalam waktu singkat. Bahkan, hanya dalam sehari setelah Danantara diresmikan pada 24 Februari 2025, pasar kehilangan Rp3,47 triliun.

    Didik mengingatkan pemerintah, DPR, dan pemangku kebijakan lainnya seharusnya lebih peka terhadap sentimen pasar sebelum membuat keputusan besar. "Kesalahan ini harus segera diperbaiki dengan mendekati pasar, bersahabat dengan investor, dan tidak lagi membuat kebijakan mendadak yang diharapkan langsung diterima pasar," katanya.

    Tiga Biang Kerok

    Presiden AS Donald Trump. Foto: Whitehouse.gov.

    Namun, pukulan terhadap IHSG tak hanya datang dari kebijakan ekonomi dalam negeri yang serampangan, tetapi juga dari faktor eksternal yang semakin memperburuk tekanan di pasar modal.

    Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai kejatuhan IHSG bukan sesuatu yang datang secara tiba-tiba, melainkan hasil dari tekanan yang sudah menggunung selama enam bulan terakhir. “Sejak 6 bulan yang lalu konsisten mengalami penurunan. Kemudian satu hari kemarin, itu betul-betul penurunan yang sangat dramatis. Saya melihatnya ada 3 variabel utama yang muncul bersamaan,” kata Wijayanto dalam program Bursa Pagi-pagi beberapa waktu lalu.

    Dari sisi domestik, kondisi fiskal yang semakin buruk menjadi perhatian utama investor. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per Februari 2025 tercatat lebih besar dari perkiraan, memperburuk sentimen pasar. Di saat yang sama, kebijakan ekonomi pemerintahan baru masih sebatas retorika, tanpa eksekusi teknokratis yang konkret.

    Pasar kini menunggu hasil penilaian peringkat utang Indonesia yang akan dirilis oleh Moody’s dan Fitch pada April, serta Standard & Poor’s (S&P) pada pertengahan tahun. Jika fundamental ekonomi dianggap semakin memburuk, ada potensi peringkat kredit Indonesia diturunkan—dan ini bisa semakin mengusik kepercayaan investor. “Situasi yang tidak menggembirakan ini bisa membuat rating kita berpotensi turun,” ujar Wijayanto.

    Di luar negeri, ketidakpastian global juga ikut menambah tekanan. Sejumlah hedge fund global tengah melakukan rebalancing aset, menarik dana mereka dari pasar negara berkembang dan mengalihkan ke aset yang lebih aman. Kebijakan perdagangan Trump 2.0 yang kembali menerapkan tarif tinggi dan proteksionisme agresif semakin membuat arus modal ke Indonesia terganggu.

    Indonesia masuk dalam daftar negara dengan risiko meningkat akibat kombinasi defisit fiskal yang membengkak, pelemahan rupiah, dan ketidakpastian kebijakan ekonomi yang masih belum jelas. “Investor besar melihat risiko di Indonesia sedang naik,” kata Wijayanto.

    Selain tekanan makro, faktor internal di pasar modal juga ikut memperburuk situasi. Sejumlah saham konglomerasi seperti BREN, TPIA, dan DCII yang sebelumnya naik pesat berkat aksi buyback, kini mengalami aksi jual besar-besaran oleh investor asing.

    Analis Stocknow.id, Abdul Haq, menyebut kepanikan di pasar bermula saat saham-saham unggulan menembus level support krusial. “Begitu saham seperti BREN menembus level support yang dianggap kuat di Rp5.000-6.000, kepanikan mulai menyebar ke seluruh pasar,” jelasnya.

    Investor asing juga melakukan aksi jual besar-besaran di saham perbankan papan atas seperti BBCA, BMRI, dan BBRI, dengan total net sell mencapai Rp2,5 triliun hanya dalam sehari. Tekanan di pasar semakin berat setelah beredar rumor bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto akan mundur dari kabinet. Walaupun keduanya telah mengonfirmasi masih bertahan, ketidakpastian ini tetap membuat pasar memilih bersikap wait and see.  

    “Memang rumor ini sudah beredar lama di kalangan investor. Kalau sampai terjadi pergantian di tengah situasi seperti ini, dampaknya bisa jauh lebih buruk,” ujar Wijayanto.  

    Di tengah kejatuhan pasar, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) disebut tengah menyiapkan regulasi baru yang diharapkan dapat memberikan angin segar bagi investor. Namun, menurut Abdul Haq, dampaknya terhadap pasar masih perlu diuji lebih lanjut. “Regulasi ini bisa menjadi katalis positif, tapi apakah cukup untuk membalikkan sentimen pasar? Itu pertanyaannya,” jelasnya.

    Regulasi yang sedang dinantikan ini kabarnya mencakup kebijakan transparansi pasar melalui pembukaan broker summary serta potensi kebijakan fiskal yang lebih akomodatif. Meski demikian, hingga kini OJK belum memberikan rincian resmi perihal kebijakan tersebut.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.