KABARBURSA.COM - Ekonom sekaligus pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap proyeksi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang semakin melebar.
Achmad memaparkan data terkini yang dia lihat dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) soal penerimaan pajak Indonesia pada Januari 2025 hanya mencapai Rp88,89 triliun atau 4,06 persen dari target tahunan, Sebuah angka yang diklaim sangat rendah dan turun 41,86 persen dibandingkan Januari 2024. Bahkan menjadi penerimaan Januari terburuk dalam lima tahun terakhir, jika dibandingkan persentase terhadap target APBN tahunan.
Bila di tahun-tahun sebelumnya, rata-rata penerimaan pajak Januari mampu menyumbang 7,5 persen hingga 9,2 persen dari target setahun, maka posisi 2025 yang baru 4,06 persenmenunjukkan potensi kekurangan penerimaan yang sangat serius.
Lebih jauh, jika tren ini berlanjut, penerimaan negara bisa mengalami shortfall hingga Rp300 hingga Rp400 triliun, yang otomatis menggembungkan defisit. "Jika tren ini berlanjut, defisit APBN 2025 bisa mencapai Rp800 triliun atau hampir 3 persen PDB," ujar Achmad melalui pernyataan resminya yang diterima Kabarbursa.com pada Selasa, 12 Maret 2025.
Menurutnya, penurunan ini dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni turunnya kemampuan ekonomi publik dan kegagalan implementasi sistem administrasi perpajakan baru, Coretax, yang diluncurkan pada Januari 2025. Sistem yang seharusnya meningkatkan efisiensi justru menghambat proses administrasi perpajakan, mengakibatkan banyak wajib pajak kesulitan melapor dan menyetor pajak.
"Coretax terbukti mengganggu proses administrasi perpajakan, dan ini menjadi ancaman besar bagi stabilitas fiskal Indonesia. Tanpa langkah koreksi fiskal yang cepat dan tepat, Indonesia akan menghadapi defisit yang lebih parah," kata dia
Coretax merupakan sistem administrasi perpajakan terbaru yang diluncurkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan untuk menggantikan sistem lama. Coretax dirancang untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam proses pelaporan, pembayaran, serta pengawasan pajak dengan mengandalkan teknologi digital dan otomatisasi data. Namun pada praktiknya, penerapan coretax ini mendapat berbagai kendala.
Lebih lanjut, Achmad menilai bahwa kinerja APBN Februari 2025 akan semakin tertekan, dengan penerimaan pajak yang diperkirakan tidak mampu mengejar kekurangan dari Januari.
Meski penerimaan bea dan cukai menunjukkan peningkatan pada Januari 2025, sektor ini hanya berkontribusi sekitar 15 persen dari total penerimaan pajak, yang tidak cukup untuk menutupi kekurangan besar di sektor pajak utama. Achmad mengingatkan bahwa Indonesia sangat bergantung pada pajak, dan kegagalan administrasi seperti Coretax hanya akan memperburuk kondisi fiskal negara.
Sementara itu, proyeksi defisit yang disampaikan oleh Goldman Sachs, yakni 2,9 persen produk domestik bruto (PDB), dianggap terlalu optimis tanpa adanya pembenahan serius. "Ini lebih buruk dari prediksi Goldman Sachs yang baru memperkirakan defisit 2,9 persen PDB. Patut diketahui Goldman Sachs, lembaga investasi ternama di dunia memprediksi defisit Indonesia bisa defisit mencapai Rp650 hingga Rp750 triliun, biasanya prediksi ini mejadi baseline realistis oleh para Investor dunia," ujar dia.
Dia mendesak pemerintah segera mengambil langkah darurat, termasuk audit menyeluruh terhadap Coretax, membuka kembali layanan manual administrasi perpajakan, dan mengevaluasi ulang belanja negara. "Pemerintah harus transparan tentang situasi fiskal ini agar pasar dan masyarakat bisa memahami kondisi yang sebenarnya," ujarnya.
Achmad menegaskan bahwa krisis fiskal bukan hanya masalah angka, tetapi juga masalah kepercayaan. Pemerintah diminta lebih terbuka untuk mengoreksi kebijakan fiskal agar tidak memperburuk keadaan ekonomi di Indonesia.
Prospek Ekonomi Indonesia Menurut Goldman Sachs
Goldman Sachs merilis risetnya mengenai kondisi ekonomi Asia, terutama Indonesia pada 2025 merupakan sebuah tantangan besar.
Dikutip dari data Asia Outlook 2025 : Positioning Trade War pada Selasa, 12 Maret 2025 Goldman Sachs memberikan pandangan tentang prospek ekonomi Asia pada 2025 dengan fokus pada dampak kebijakan moneter, ketegangan perdagangan global, serta pergeseran strategi ekonomi di China.
Dalam laporan itu Goldman Sachs memprediksi pertumbuhan ekonomi di emerging markets (EM) Asia akan melambat karena peralihan strategi ekonomi China ke pasar domestik serta kebijakan perdagangan Amerika Serikat yang lebih proteksionis.
"India, Indonesia, dan Filipina menjadi tiga negara dengan proyeksi pertumbuhan tertinggi di Asia, sekitar 5 hingga 6,5 persen per tahun, didukung oleh faktor demografi dan potensi ekonomi yang masih besar," tulis isi dalam riset Goldman Sachs, di Jakarta, 12 Maret 2025.
Dampak Jangka Pendek
Pengamat Pasar Modal, Wahyu Tri Laksono mengatakan dampak kepercayaan investor asing terhadap pasar di Indonesia bisa terjadi dalam jangka pendek maupun panjang.
"Jangka pendek, downgrade ini dapat memicu reaksi negatif dari investor asing karena Goldman Sachs adalah institusi keuangan global yang berpengaruh," ujarnya kepada Kabarbursa.com melalui aplikasi pesan di Jakarta, Rabu, 12 Maret 2025.
Wahyu menyebut, investor cenderung memperhatikan rekomendasi dari bank investasi besar seperti Goldman Sachs sebagai sinyal pasar. Jika peringkat yang lebih rendah ini diartikan sebagai tanda menurunnya prospek pertumbuhan atau meningkatnya risiko, kata dia, kepercayaan investor asing bisa terguncang.
"Yang berpotensi tercermin dalam penurunan aktivitas pembelian saham atau bahkan aksi jual. Apalagi dalam medium term ini terutama sejak akhir tahun IHSG nasibnya kurang baik," ungkapnya.
Untuk jangka panjang, Wahyu menjelaskan investor asing akan melihat penurunan peringkat ini sebagai perubahan sementara atau indikasi masalah struktural yang lebih dalam di ekonomi Indonesia.
Dia mengingatkan, jika faktor penurunan peringkat (misalnya risiko fiskal atau pelemahan rupiah) tidak segera membaik, kepercayaan investor asing bisa terus tergerus. "Terutama jika diikuti oleh penilaian serupa dari lembaga lain seperti Morgan Stanley atau Fitch," tuturnya.
Namun, Wahyu berpandangan dampak jangka panjang itu bisa diredam jika pemerintah dan otoritas pasar modal merespons dengan langkah konkret untuk mengatasi kekhawatiran tersebut. "Bahkan bisa membaik dan peringkat dinaikkan kembali," ujar dia. (*)