KABARBURSA.COM — Di tengah memanasnya kembali konflik tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China, bank sentral Australia justru melihat ada alasan untuk tetap optimistis terhadap ketahanan ekonomi China. Wakil Gubernur Reserve Bank of Australia (RBA), Andrew Hauser, mengungkapkan keyakinan bahwa China siap menghadapi tekanan eksternal dan tetap mengejar target pertumbuhan tahunan mereka.
Dalam kunjungan ke China awal April 2025 lalu—tepat ketika Washington kembali mengumumkan tarif terhadap mitra dagangnya—Hauser bertemu dengan sejumlah pelaku usaha. Menurutnya, para pemimpin bisnis di Negeri Tirai Bambu menunjukkan kepercayaan diri tinggi terhadap posisi negosiasi ekonomi China dalam perang dagang.
Mereka yakin, bukan hanya mampu bertahan, tapi juga bisa memutar arah ekonomi lewat stimulus fiskal yang sudah digelontorkan sejak 2024. “Kalau tren pemulihan ini berlanjut, itu bisa jadi titik balik penting bagi ekonomi China setelah lama stagnan,” ujar Hauser dalam pidatonya kemarin, dikutip dari The Wall Street Journal, Jumat, 23 Mei 2025.
Selain dukungan dari stimulus fiskal, Hauser mencatat hampir semua pihak yang ia temui menyebut target pertumbuhan 5 persen yang ditetapkan pemerintah bukan sekadar angka, tapi sudah seperti azimat ekonomi. Komitmen tersebut, katanya, diyakini sangat kuat, bahkan menjadi semacam ‘iman ekonomi’ yang menyatukan banyak pelaku pasar.
Soal dampak tarif dari Amerika Serikat, sebagian besar analis di China berpandangan justru ekonomi AS sendiri yang bakal menanggung beban paling besar. Hauser menyebut pihak China tidak berniat memberi kelonggaran apapun atas kebijakan tarif tersebut. Bahkan, ide untuk melemahkan nilai tukar yuan pun tidak populer karena dinilai justru akan mengurangi efek balasan ke AS.
“Kami tidak mendeteksi adanya harapan bahwa yuan akan didevaluasi besar-besaran. China tampaknya tidak mau AS terbebas dari beban tarif yang mereka ciptakan sendiri,” ujar Hauser.
Meski begitu, Hauser mengakui jika tarif tinggi terus berlanjut, ekonomi China, terutama para eksportir, tetap akan merasakan tekanan. Namun, dari berbagai percakapan yang ia lakukan, muncul satu sikap yang konsisten: determinasi untuk menghadapinya secara langsung, bukan menghindar.
Optimisme terhadap ekonomi China semakin menguat seiring dengan meredanya ketegangan dagang belakangan ini. Dengan posisi negosiasi yang kuat dan ruang untuk menambah stimulus fiskal, RBA memproyeksikan pertumbuhan ekonomi China sebesar 4,8 persen pada 2025 dan 4,4 persen di 2026.
Di sisi lain, perusahaan-perusahaan Australia juga mulai membaca ulang peta peluang. Dengan memburuknya relasi dagang antara Australia dan Amerika Serikat, banyak pelaku usaha Negeri Kangguru kini melirik kembali peluang ekspor ke ekonomi China.
“Yang mengejutkan saya, nyaris semua perusahaan yang saya temui sangat optimistis terhadap prospek bisnis mereka ke depan,” ujar Hauser.
Menurutnya, suasana hati pasar yang membaik sejak awal 2025 dan keyakinan bahwa otoritas China akan melakukan apa pun untuk menjaga kestabilan, menjadi kunci dari bangkitnya kembali kepercayaan terhadap ekonomi China.
Ekonomi China Bangkit, Saham Komoditas Layak Pantau
Kalau ekonomi China mulai pulih dan kembali memacu pertumbuhan di atas 4 persen, siapa yang paling sumringah di Asia Tenggara? Jawabannya bukan hanya pabrikan di Guangdong, tapi juga para pemegang saham batu bara, nikel, dan sawit di Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi China, yang diproyeksikan tumbuh 4,8 persen pada 2025 dan 4,4 persen di tahun berikutnya, bukan cuma kabar baik buat Beijing. Ia juga jadi stimulus diam-diam bagi pasar modal Indonesia, terutama saham-saham komoditas yang terhubung langsung dengan mesin industri Negeri Tirai Bambu.
Pernyataan ini bukan sekadar asumsi. Klaim ini berdiri di atas fondasi teori yang kokoh, yakni Teori Keterkaitan Ekonomi Global atau Global Economic Linkages. Dalam istilah gampangnya, kalau China bersin—Asia ikut pilek. Tapi kalau China belanja besar-besaran untuk stimulus, pasar-pasar komoditas bakal ikut segar.
Dalam makalah resmi Dana Moneter Internasional (IMF) berjudul Spillovers from Large Emerging Economies: How Dominant Is China? yang ditulis oleh Hany Abdel-Latif dan Adina Popescu (2025), dijelaskan secara rinci bahwa guncangan ekonomi China berdampak signifikan pada pertumbuhan negara-negara mitra dagang, termasuk Indonesia.
Memakai model Bayesian Global Vector Autoregression (GVAR), studi ini menunjukkan shocks dari sisi permintaan China—misalnya dorongan stimulus fiskal—bisa berdampak hingga 0,88 persen ke emerging markets dan 0,65 persen ke negara maju. Kanal utamanya adalah harga komoditas, perdagangan langsung, dan rantai pasok global.
Indonesia jelas masuk radar. Produk ekspor utama Indonesia seperti batu bara, sawit, dan nikel semuanya masuk dalam mesin pabrik China. Maka, ketika ekonomi mereka menghangat, permintaan bahan baku ikut naik, dan saham-saham sektor energi serta sumber daya alam ikut menggeliat.
Investor Harus Apa?
Bagi investor yang melek makro, ini saatnya mulai memantau emiten komoditas yang punya eksposur ekspor tinggi ke China. Beberapa nama yang layak masuk watchlist:
- PTBA dan ADRO (batu bara),
- TINS dan ANTM (logam dasar),
- INCO (nikel),
- MEDC dan PGAS (energi dan gas).
Perlu dicatat, perusahaan-perusahaan ini tidak selalu mencetak cuan besar tiap kuartal, tapi mereka sensitif terhadap harga komoditas global. Harga komoditas global adalah cermin dari permintaan negara besar seperti China.
Tentu saja, ketergantungan pada China juga mengandung risiko. Kalau Beijing mengubah arah kebijakan atau tarif dagang global kembali memburuk, maka efeknya bisa seperti rem mendadak. Tapi dibanding risiko, peluang pertumbuhan jangka menengah lebih besar, apalagi jika China berhasil menjaga stabilitas tanpa devaluasi yuan atau chaos pasar keuangan.
Untuk investor yang bermain dengan horizon waktu menengah hingga panjang, kondisi ini memberi angin segar. Investor tak perlu buru-buru beli. Tapi kalau selama ini belum memperhitungkan faktor China dalam portofolio, sekarang waktunya bikin ruang.
Pertumbuhan ekonomi China bukan urusan Beijing semata, melainkan juga sinyal penting bagi investor Indonesia. Jika China tancap gas dengan stimulus fiskal dan tetap kejar target 5 persen, maka pasar ekspor Indonesia akan ikut bergerak dan saham-saham komoditas dalam negeri jadi penumpang pertama yang kecipratan efek positifnya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.