Logo
>

Ekonomi RI Tertinggal Jauh dari Vietnam, ini Kata Pengusaha

Vietnam sebagai “murid biasa” yang kini mampu menjadi juara kelas dalam dunia manufaktur.

Ditulis oleh Cicilia Ocha
Ekonomi RI Tertinggal Jauh dari Vietnam, ini Kata Pengusaha
Ilustrasi: Ekonomi Vietnam kini lebih jauh di atas Indonesia. (Foto: AI untuk KabarBursa)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COMPengusaha Arsjad Rasjid membandingkan kondisi ekonomi Indonesia dengan Vietnam. Ia mengibaratkan Vietnam sebagai “murid biasa” yang kini mampu menjadi juara kelas dalam dunia manufaktur, sementara Indonesia yang dulu unggul kini justru mengalami penurunan performa.

    “Vietnam itu ibarat murid yang biasa saja, tapi tiba-tiba jadi juara kelas. Sedangkan kita, Indonesia, dulu ranking atas, sekarang nilai rapornya malah turun,” ujar Arsjad dalam unggahan akun Instagram @arsjadrasjid, Senin, 14 April 2025.

    Kendati demikian, Arsjad menyoroti ketertinggalan perekonomian Indonesia dibandingkan dengan perekonomian Vietnam. Lantas, apa yang terjadi dengan perekonomian Indonesia?

    Menurutnya, jika ekonomi dianalogikan sebagai ajang balapan, maka sektor manufaktur adalah mesinnya. Ia menilai Vietnam telah melakukan upgrade besar-besaran pada sektor manufakturnya, menjadikannya seperti mesin turbo. Sementara itu, Indonesia dinilai masih menggunakan mesin lama yang belum berkembang, sehingga tertinggal dalam persaingan global.

    “Kita belum sampai garis finish, tapi sudah masuk pit stop dan bahkan turun mesin,” katanya. 

    Ia menyebut kondisi ini sebagai deindustrialisasi prematur, yaitu saat sektor manufaktur melemah sebelum mencapai potensi maksimal. Tanda-tandanya antara lain sepinya pabrik, banyaknya tenaga kerja yang beralih ke sektor informal, serta melemahnya penggerak utama ekonomi nasional.

    Arsjad juga membandingkan angka ekspor manufaktur kedua negara. Menurut data yang ia sebutkan, ekspor manufaktur Vietnam mencapai USD356,7 miliar, jauh di atas Indonesia yang hanya USD242,8 miliar.

    Lebih lanjut, Ketua Umum Kamar Dagang (Kadin) Indonesia itu menyebut keberhasilan Vietnam sebagai hasil dari reformasi kebijakan yang nyata, bukan sekadar wacana. 

    Ia juga mengajak Indonesia untuk meniru strategi Vietnam dengan cara membuka lebih lebar pintu investasi, memberikan insentif, memperkuat pendidikan vokasi, membangun sumber daya manusia, menyiapkan infrastruktur sejak awal, dan fokus pada produk-produk yang diminati pasar global. 

    Menurut Arsjad Indonesia memiliki potensi besar dalam membangun perekonomian. “Kita juga punya potensi untuk gas sampai finish line,” tutupnya.

    Alasan Vietnam Lampaui RI

    Dalam persaingan menarik investasi global, Indonesia harus bekerja lebih keras untuk mengimbangi ketertarikan investor terhadap Vietnam. Investasi yang masuk ke negara ini cukup besar selama beberapa tahun terakhir. Hal ini dapat menunjukkan bahwa negara ini lebih ramah investasi.

    Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran, Arianto Muditomo, menyatakan tren investor yang beralih ke Vietnam berpotensi menekan prospek pertumbuhan emiten Indonesia, terutama di sektor manufaktur, teknologi, dan ekspor. 

    “Hal ini bisa berdampak pada valuasi pasar yang kurang atraktif akibat minimnya arus modal baru serta lambatnya ekspansi produksi,” ujar Arianto saat dihubungi Kabarbursa.com melalui telepon, Sabtu, 5 April 2025.

    Ia menambahkan bahwa emiten-emiten yang bergantung pada investasi asing langsung atau perluasan rantai pasok global akan menghadapi tantangan kompetitif yang semakin besar.

    Menurutnya, perusahaan Indonesia perlu mengandalkan efisiensi operasional, diversifikasi pasar, serta kolaborasi strategis lintas negara untuk tetap relevan dalam peta investasi regional.

    Vietnam kini tampil dominan atas Indonesia di sejumlah indikator ekonomi. Padahal dari sisi populasi, Indonesia unggul dengan 282 juta jiwa dibanding Vietnam yang hanya 101 juta jiwa. Namun, dari sisi pertumbuhan ekonomi, Vietnam mencatatkan angka impresif 7,09 persen pada 2024, melampaui Indonesia yang hanya tumbuh 5,03 persen.

    Rasio investasi asing terhadap PDB juga menunjukkan perbedaan yang mencolok. Vietnam berhasil menarik FDI hingga 5,90 persen dari PDB-nya dalam periode 2010 hingga 2018, sementara Indonesia hanya 2,10 persen. Fakta ini mempertegas tingkat kepercayaan investor global terhadap Vietnam yang lebih tinggi dibanding Indonesia.

    Keunggulan Vietnam turut ditopang oleh kebijakan fiskal yang lebih bersaing. Pajak Penghasilan Badan Vietnam hanya sebesar 20 persen, sementara Indonesia mematok 25 persen. Begitu pula dengan Pajak Pertambahan Nilai yang di Vietnam hanya 8 persen, sedangkan Indonesia menerapkan PPN 11 persen dan 12 persen untuk barang mewah.

    Indeks Persepsi Korupsi menjadi indikator lain yang menggambarkan keunggulan Vietnam. Skor Vietnam tercatat 41, sementara Indonesia hanya 34. Semakin rendah skor, semakin tinggi tingkat korupsi. Ini menjadi cerminan tantangan transparansi dan tata kelola di Indonesia yang perlu diperbaiki guna menarik investor jangka panjang.

    Dampak dari perbedaan iklim investasi ini sangat terlihat dalam besarnya investasi dari raksasa global. Apple telah menanamkan modal sebesar Rp265,7 triliun di Vietnam, sedangkan di Indonesia hanya Rp1,6 triliun. Samsung menanamkan Rp289,8 triliun di Vietnam, sementara di Indonesia hanya Rp8 triliun.

    Inflasi Indonesia yang hanya 1,57 persen memang lebih rendah dibandingkan Vietnam sebesar 3,63 persen. Namun stabilitas harga saja tidak cukup. Tanpa reformasi struktural, keunggulan ini belum mampu menjadikan Indonesia destinasi utama investasi global.

    Arianto menjelaskan bahwa investor seperti Apple dan Samsung memilih Vietnam karena ekosistem industri yang lebih ramah manufaktur, infrastruktur logistik yang berkembang pesat, serta stabilitas kebijakan yang lebih konsisten. 

    “Termasuk dengan Uni Eropa, serta efisiensi birokrasi yang lebih tinggi, yang mempercepat proses perizinan dan eksekusi proyek. Sementara Indonesia, meski memiliki pasar domestik besar, masih menghadapi hambatan regulasi, ketidakpastian kebijakan, dan biaya logistik yang relatif tinggi,” ungkapnya.

    Dari perspektif fiskal, Indonesia masih menghadapi tantangan yang cukup besar. Kompleksitas perpajakan dan ketidakpastian hukum membuat investor enggan mengambil risiko jangka panjang. Arianto menilai bahwa meski reformasi telah diperkenalkan lewat UU Cipta Kerja dan sistem perizinan OSS RBA, pelaksanaannya belum sepenuhnya efektif.

    “Dibanding Vietnam, Indonesia kalah dalam hal efisiensi regulasi, transparansi birokrasi, dan kestabilan insentif fiskal, sehingga daya saing investasi relatif tertinggal di kawasan ASEAN,” tutup Arianto. (

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Cicilia Ocha

    Seorang jurnalis muda yang bergabung dengan Kabar Bursa pada Desember 2024. Menyukai isu Makro Keuangan, Ekonomi Global, dan Energi. 

    Pernah menjadi bagian dalam desk Nasional - Politik, Hukum Kriminal, dan Ekonomi. Saat ini aktif menulis untuk isu Makro ekonomi dan Ekonomi Hijau di Kabar Bursa.