KABARBURSA.COM – China lagi-lagi bikin kejutan. Di tengah panasnya perang dagang dengan Amerika Serikat, Negeri Tirai Bambu justru sukses mencetak lonjakan ekspor sebesar 12,4 persen pada Maret 2025 dibanding tahun lalu. Bukan sulap, bukan sihir, lonjakan ini diduga karena perusahaan-perusahaan buru-buru kirim barang sebelum tarif AS yang mencekik itu benar-benar berlaku penuh.
Sementara ekspor ngebut, impor malah jalan di tempat. Bahkan, berdasarkan data dari Administrasi Bea Cukai China yang dirilis Senin, 14 April 2025, sebagaimana dikutip dari AP di Jakarta, impor China justru turun 4,3 persen pada bulan yang sama. Secara kumulatif, kuartal pertama 2025 memperlihatkan pertumbuhan ekspor naik 5,8 persen, sedangkan impor turun sampai 7 persen. Itu artinya, neraca dagang mereka semakin surplus.
Khusus dengan Amerika, surplus China pada Maret tercatat USD27,6 miliar, seiring kenaikan ekspor sebesar 4,5 persen. Kalau ditotal selama Januari-Maret, China sudah mengantongi surplus dagang dengan AS senilai USD76,6 miliar.
Tapi jangan lupa, di balik angka-angka ini ada bayang-bayang gelap, yakni kebijakan tarif baru Trump yang bikin ekspor China kena palu godam 145 persen. Walau begitu, pasar China ternyata tidak cuma bergantung pada AS. Mereka juga menggenjot perdagangan ke negara-negara tetangga.
Buktinya? Ekspor ke negara-negara Asia Tenggara melonjak hampir 17 persen dibanding Maret tahun lalu. Sementara ekspor ke Afrika juga tak kalah kinclong, naik lebih dari 11 persen. Jadi, China memang lagi agresif cari jalan keluar dari tekanan tarif AS.

Presiden Xi Jinping bahkan langsung tancap gas keliling Asia Tenggara. Hari ini atau Senin, 14 April 2025, ia mampir ke Vietnam dan akan lanjut ke Malaysia serta Kamboja. Perjalanan ini bukan sekadar kunjungan diplomatik, tapi juga upaya mempererat jalur dagang di tengah ancaman tarif baru yang sempat ditunda 90 hari oleh Trump minggu lalu.
Juru bicara Bea Cukai China, Lyu Daliang, tak menampik situasi yang mereka hadapi saat ini “rumit dan berat.” Tapi dia santai, bilang “langit tak akan runtuh.” Menurutnya, China punya banyak opsi ekspor dan pasar domestik yang sangat besar untuk jadi bantalan.
Saat ditanya kenapa impornya malah turun, Lyu menegaskan China tetap jadi negara importir terbesar kedua di dunia selama 16 tahun berturut-turut. Ia juga mengklaim pangsa pasar impor China sudah naik dari sekitar 8 persen menjadi 10,5 persen.
“Sekarang dan ke depan, ruang pertumbuhan impor China masih besar. Pasar dalam negeri kami selalu menjadi peluang besar bagi dunia,” kata Lyu dengan percaya diri.
Jadi, meski dunia dagang lagi panas-panasnya, China masih percaya diri. Ekspor meroket, diplomasi jalan terus, dan Presiden Xi makin rajin keliling tetangga. Siapa tahu, jalan keluar dari perang dagang ternyata justru lewat tetangga sebelah.
Neraca Dagang Indonesia-China
Nilai perdagangan Indonesia dengan China pada 2024 tercatat meningkat meskipun ekspor RI ke Negeri Tirai Bambu justru turun. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, total perdagangan kedua negara naik 5,7 persen, dengan nilai ekspor Indonesia ke China mencapai USD62,4 miliar—turun 4 persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu, China tetap menjadi mitra dagang utama, menyerap 23,6 persen dari seluruh ekspor Indonesia. Komoditas unggulannya mencakup besi dan baja, batu bara, serta nikel.
Sebaliknya, nilai impor Indonesia dari China justru melonjak. Sepanjang tahun lalu, nilai impor tercatat sebesar USD72,7 miliar, meningkat 16 persen dibanding 2023. Pangsa impor dari China kini mencapai 31,1 persen dari total keseluruhan, dengan barang-barang utama meliputi mesin-mesin mekanik dan elektrik, logam dasar, produk plastik, hingga kendaraan.
Akibat ketimpangan tersebut, neraca dagang Indonesia dengan China kembali mencetak defisit sebesar USD10,3 miliar—berbanding terbalik dengan 2023 yang masih mencatat surplus USD2 miliar.
Jika menilik ke belakang, neraca dagang Indonesia dan China memang punya rekam jejak yang naik turun. Dalam tiga tahun terakhir sejak 2021, hubungan dagang dua negara ini sempat mengalami tren defisit meskipun tak terlalu dalam. Pada 2021 misalnya, menurut data resmi BPS, Indonesia tercatat defisit USD2,4 miliar, kemudian menyusut jadi defisit USD1,88 miliar di 2022. Namun memasuki 2023, neraca perdagangan RI-China justru balik arah dan mencetak surplus sebesar USD2,05 miliar.
Surplus di 2023 itu tergolong prestasi karena terjadi di tengah tekanan global dan ketidakpastian permintaan China akibat disinflasi berkepanjangan. Tapi situasi ini tak bertahan lama. Seperti disebut sebelumnya, tahun 2024 ekspor Indonesia ke China turun 4 persen, sementara impor justru naik 16 persen. Hasilnya neraca dagang kembali mencatat defisit hingga USD10,3 miliar.
Kondisi ini memberi gambaran bahwa meskipun perdagangan kedua negara tumbuh secara total, struktur dagangnya belum sepenuhnya menguntungkan Indonesia—terutama karena impor barang modal dan barang konsumsi dari China makin mendominasi. Pemerintah dan pelaku ekspor pun perlu menyikapi ini sebagai alarm untuk mendorong hilirisasi ekspor dan diversifikasi pasar.
Meski begitu, tak cuma di perdagangan, China tetap jadi sumber besar penanaman modal asing. Sepanjang Januari hingga September 2024, nilai investasi China di Indonesia tercatat mencapai USD5,8 miliar. Hal ini menjadikannya salah satu negara dengan kontribusi terbesar dalam daftar investor asing.(*)
 
      