KABARBURSA.COM - Harga emas mencatatkan lonjakan signifikan, mendekati level tertinggi dalam tiga bulan terakhir pada penutupan perdagangan pasar global, Rabu, 22 Januari 2025 waktu setempat. Lonjakan ini didukung oleh pelemahan dolar dan ketidakpastian yang menyelimuti kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump.
Situasi ini telah meningkatkan kekhawatiran investor akan potensi perang dagang serta volatilitas pasar global, sehingga mendorong banyak pihak untuk mencari perlindungan dalam aset safe haven seperti emas.
Pada perdagangan emas spot, harga naik sebesar 0,4 persen menjadi USD2.755,2 per ons pada dini hari, mendekati rekor tertinggi yang dicapai pada 31 Oktober, yakni USD2.790,15. Sementara itu, emas berjangka AS ditutup pada posisi USD2.770,90 per ons, mencatat penguatan yang sama sebesar 0,4 persen.
Kinerja kuat logam mulia ini sebagian besar didorong oleh melemahnya Indeks Dolar AS (Indeks DXY), yang turun ke level terendah dalam lebih dari tiga minggu pada awal sesi perdagangan. Penurunan nilai dolar membuat emas, yang dihargai dalam mata uang tersebut, menjadi lebih murah bagi investor yang menggunakan mata uang lain, sehingga meningkatkan daya tariknya.
Menurut Ryan McIntyre, Manajer Portofolio Senior di Sprott Asset Management, ketidakpastian yang terkait dengan rencana tarif dan faktor lainnya telah menciptakan kondisi yang mendukung kenaikan harga emas.
"Saat ketidakpastian meningkat, baik dalam skala besar maupun moderat, emas selalu menjadi pilihan investasi yang wajar," ujar McIntyre.
Rencana tarif Presiden Trump menjadi fokus pasar, setelah ia menyatakan bahwa pemerintahannya sedang mempertimbangkan pemberlakuan tarif sebesar 10 persen untuk barang-barang impor dari China mulai 1 Februari. Trump juga mengisyaratkan kemungkinan tarif 25 persen untuk impor dari Meksiko dan Kanada di waktu yang sama, meskipun hingga kini belum ada rincian konkret yang diumumkan.
Ketidakjelasan ini menciptakan spekulasi di kalangan investor terkait seberapa agresif kebijakan tarif tersebut dan dampak yang mungkin terjadi pada inflasi.
Emas, yang dianggap sebagai pelindung nilai terhadap ketidakpastian ekonomi dan geopolitik, kembali menunjukkan keunggulannya di tengah situasi global yang belum menentu. Namun, kebijakan yang dianggap inflasioner ini juga dapat memaksa Federal Reserve untuk mempertahankan suku bunga tinggi dalam jangka waktu lebih lama, guna mengendalikan tekanan harga.
Tai Wong, seorang trader logam independen, menyebut bahwa pendekatan Trump terhadap tarif mungkin lebih lunak dari yang dikhawatirkan banyak pihak.
"Jika tarif yang diberlakukan lebih rendah atau sedikit dari yang diperkirakan, ini dapat mencerminkan tekanan inflasi yang lebih ringan, sehingga memungkinkan penurunan suku bunga lebih lanjut," ujar Wong.
Tidak hanya emas, logam mulia lain juga mencatatkan pergerakan harga yang menarik. Perak tetap stabil di level USD30,86 per ons, meskipun masih dekat dengan level tertinggi satu bulan yang dicapai pada 16 Januari.
Platinum juga mengalami kenaikan 0,8 persen menjadi USD950,50 per ons, sementara paladium melonjak sebesar 3 persen ke posisi USD987,41 per ons.
Kombinasi ketidakpastian geopolitik dan ekonomi global tampaknya akan terus mendorong minat terhadap logam mulia sebagai instrumen lindung nilai, dengan emas berada di garis depan.
Naik Tipis Dibandingkan Hari Sebelumnya
Dilansir dari Reuters di Jakarta, kemarin harga spot emas naik 1,3 persen menjadi USD2.742,48 per ons (sekitar Rp43,88 juta dengan kurs Rp16.000), mendekati rekor tertinggi sepanjang masa di USD2.790,15 (sekitar Rp44,64 juta) yang tercapai Oktober lalu. Sementara itu, kontrak berjangka emas AS ditutup naik 0,4 persen di USD2.759,20 (sekitar Rp44,15 juta).
Melemahnya dolar AS juga turut memberi dorongan. Indeks dolar (DXY) turun 1,2 persen, mendekati titik terendah dua minggu terakhir, membuat emas lebih murah bagi pemegang mata uang lain. “Lonjakan ini dipicu oleh ancaman tarif universal dari Trump setelah pelantikannya. Tapi informasinya masih sangat minim,” ujar analis komoditas di TD Securities, Daniel Ghali.
Donald Trump, dalam gaya khasnya, memang belum memberikan detail konkret soal tarif universal atau bea tambahan untuk mitra dagang seperti Kanada dan Meksiko. Meski begitu, ia sempat memberi sinyal bahwa tarif untuk kedua negara ini bisa berlaku mulai 1 Februari.
Situasi ini membawa nostalgia tahun pertama kepemimpinan Trump pada 2017, di mana harga emas naik 13 persen. Emas memang selalu menjadi pilihan di tengah ketidakpastian ekonomi dan geopolitik.
Namun, kebijakan Trump yang cenderung memicu inflasi juga memunculkan kekhawatiran pasar. Jika inflasi meningkat, Federal Reserve (The Fed) kemungkinan akan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama yang bisa mengurangi daya tarik emas karena tidak memberikan imbal hasil.
“Pasar sekarang sedang menunggu pertemuan FOMC minggu depan dan data PCE, terutama bacaan inflasi,” kata analis logam senior di Zaner Metals, Peter Grant.
Ia menambahkan, meski The Fed diperkirakan tidak akan mengambil keputusan besar dalam waktu dekat, pernyataan kebijakan mereka tetap menjadi perhatian utama karena bisa memberi petunjuk soal langkah selanjutnya sepanjang tahun.(*)