Logo
>

Franc Swiss Melesat, Dolar AS Tumbang: Apa Implikasinya?

Franc Swiss curi perhatian saat Dolar AS melemah. Apakah ini sinyal pergeseran arus dana global menuju mata uang safe haven baru?

Ditulis oleh Yunila Wati
Franc Swiss Melesat, Dolar AS Tumbang: Apa Implikasinya?
Ilustrasi mata uang Franc Swiss. (Foto: Wise)

KABARBURSA.COM - Di tengah pasar keuangan global yang bergejolak, Dolar Amerika Serikat (AS) kini berada di bawah tekanan serius. 

Indeks Dolar (DXY) yang mencerminkan kekuatan mata uang Negeri Paman Sam terhadap enam mata uang utama dunia tercatat anjlok 7,35 persen dalam setahun terakhir. Bahkan menyentuh level terendah dalam tiga tahun terakhir.

Namun di sisi lain, mata uang yang selama ini cenderung bergerak diam-diam justru mencuri perhatian. Franc Swiss (CHF) mencatatkan penguatan paling tajam dibandingkan mata uang utama lainnya. Dalam periode yang sama, nilai tukarnya terhadap Dolar melonjak 13,26 persen.

Apakah ini pertanda bahwa pasar global sedang mencari "tempat aman" baru di luar Dolar AS?

Franc Swiss, Bukan Lagi Mata Uang Pendiam

Bagi investor global, Swiss selama ini dikenal sebagai negara dengan profil risiko sangat rendah, yaitu netral secara politik, inflasi terjaga, dan punya reputasi tinggi dalam pengelolaan keuangan. Namun Franc Swiss tak pernah benar-benar jadi sorotan utama karena kalah populer dari Yen Jepang dan emas sebagai safe haven.

Situasi kini berubah. Dalam risetnya, Head of Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia Suryanati melihat, saat pasar mulai meragukan ketahanan ekonomi AS dan sinyal resesi makin jelas, investor global mulai mengalihkan aset ke mata uang yang lebih defensif. Franc Swiss pun menjadi magnet baru.

“Yen Jepang juga mengalami penguatan signifikan, naik lebih dari 10,5 persen terhadap Dolar. Namun penguatannya lebih banyak didorong oleh unwinding posisi carry trade, sebuah strategi lama yang meminjam dana dalam Yen berbunga rendah untuk diinvestasikan di aset lain,” tulis riset tersebut, dikutip Rabu, 2 Juli 2025. 

Ketika risiko meningkat, investor cenderung menutup posisi dan kembali memegang Yen, sehingga mendorong nilainya naik.

Rupiah Tak Ramai, tapi Tetap Stabil

Di tengah volatilitas global, kinerja rupiah nyatanya tidak seburuk yang dibayangkan. Sepanjang satu tahun terakhir, rupiah hanya melemah tipis 0,18 persen terhadap Dolar AS. Ini nyaris setara dengan Dolar Kanada (CAD) yang juga mencatat penurunan 0,15 persen di tengah tekanan dari ketidakpastian kebijakan perdagangan AS pasca kebijakan tarif ala Trump jilid dua.

Rupiah bahkan terlihat lebih stabil dibanding Dolar Australia (AUD), yang justru tertekan lebih dari 2,8 persen akibat perlambatan ekonomi China dan turunnya harga komoditas utama.

Sementara itu, Dolar Singapura (SGD) mencatat penguatan lebih dari 5 persen, cerminan ketahanan ekonomi kawasan dan reputasi Singapura sebagai pusat keuangan Asia Tenggara.

Di tengah lanskap seperti ini, kinerja Rupiah tergolong defensif. Bank Indonesia terlihat cukup aktif menjaga kestabilan nilai tukar melalui intervensi di pasar valas, sembari mengelola ekspektasi inflasi dan arus modal asing. Hasilnya tak mencolok, tapi jelas membuahkan hasil.

Yen Masih Favorit, Namun Bukan Satu-satunya

Jika dilihat lebih dalam, hubungan negatif paling jelas terhadap Dolar terlihat pada Yen Jepang. Saat Dolar melemah, Yen justru menguat. Korelasi ini memperkuat asumsi bahwa investor global masih menjadikan Yen sebagai acuan utama dalam kondisi penuh ketidakpastian, meski kini Franc Swiss mulai merebut perhatian.

Di sisi lain, mata uang utama seperti Euro dan Poundsterling juga ikut menguat masing-masing 8,5 persen dan 6,6 persen. Tapi penguatan ini lebih karena pasar melihat kebijakan suku bunga Eropa dan Inggris mungkin akan tetap tinggi lebih lama ketimbang AS, yang mulai mengarah pada pelonggaran.

Apa Implikasinya?

Pergerakan pasar valas selama satu tahun terakhir mengindikasikan bahwa investor mulai melakukan rotasi strategi, dari mencari imbal hasil tinggi ke arah perlindungan nilai. Dan dalam konteks ini, Franc Swiss tak lagi jadi pilihan alternatif, tapi mulai menjadi arus utama.

Bagi Indonesia, kestabilan rupiah di tengah dinamika global menunjukkan kebijakan yang terjaga dengan baik. Memang, rupiah bukan mata uang kuat secara struktural, tapi bukan berarti tak mampu bertahan. 

Dalam dunia yang semakin tidak pasti, kadang kekuatan sejati justru ada pada yang bisa tetap berdiri diam, tak terlalu kuat, tapi cukup solid untuk dipercaya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79