KABARBURSA.COM — Ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan Iran kembali memuncak. Serangan militer AS ke fasilitas nuklir Iran serta balasan terbatas dari Teheran telah mengguncang pasar global.
Hal ini berdampak terhadap kenaikan harga minyak dan emas, pasar saham volatile, nilai tukar tertekan, dan aliran modal asing keluar dari emerging market seperti Indonesia makin deras.
Dalam situasi seperti ini, investor menghadapi tantangan bukan hanya untuk bertahan, tetapi juga menyusun ulang arah portofolio. Risiko tidak lagi bersifat teknikal atau sektoral semata, tetapi sistemik.
Ketidakpastian geopolitik, inflasi global, dan suku bunga tinggi membentuk kombinasi tekanan yang kompleks. Analis pasar modal sekaligus pendiri Traderindo, Wahyu Laksono mengatakan, pendekatan taktis menjadi penting.
“Pasar akan bergerak berdasarkan persepsi risiko tertinggi,” kata Wahyu kepada KabarBursa.com, Selasa, 24 Juni 2025.
Dengan harga minyak yang terus merangkak naik, sektor energi terlihat menjanjikan. Namun tidak semua emiten energi akan diuntungkan.
Ada perbedaan mencolok antara perusahaan produsen migas seperti MEDC yang langsung menikmati kenaikan harga minyak, dengan distributor seperti PGAS yang justru bisa tertekan akibat regulasi harga domestik.
Di sisi lain, lonjakan harga emas juga kembali mengukuhkan statusnya sebagai aset pelindung nilai. Ia menuturkan, investor pun mulai melirik saham tambang emas, terutama yang bersifat pure-play seperti BRMS dan PSAB.
Namun, diversifikasi tetap dibutuhkan, karena sektor ini pun memiliki volatilitas tersendiri. Investor juga perlu menyeimbangkan portofolio dengan sektor defensif seperti consumer staples, farmasi, dan telekomunikasi yang cenderung tahan terhadap inflasi dan tekanan suku bunga tinggi.
Diversifikasi aset termasuk ETF berbasis emas dan saham global berbasis komoditas juga patut dipertimbangkan.
“Yang penting bukan hanya memilih sektor yang menang saat krisis, tetapi juga menghindari sektor yang sangat rentan terhadap suku bunga tinggi dan pelemahan daya beli,” kata Wahyu.
Strategi bertahan dalam konteks ini bukan soal panik atau spekulasi, melainkan soal rasionalitas dan disiplin. Menyusun portofolio bukan hanya tentang mencari untung saat krisis, tapi juga menjaga daya tahan untuk keluar dari krisis dengan posisi yang lebih kuat.(*)