KABARBURSA.COM – Krisis Iran-Israel sempat membuat harga minyak dunia melonjak, tapi lonjakan itu terbukti hanya sesaat. Harga minyak kembali turun saat gencatan senjata diumumkan, sementara pasokan dari negara-negara OPEC+ terus meningkat.
Survei Reuters terhadap 40 ekonom dan analis menunjukkan, rata-rata harga minyak Brent pada 2025 diperkirakan berada di angka USD67,86 per barel (sekitar Rp1,1 juta dengan kurs Rp16.300), naik tipis dari proyeksi bulan sebelumnya sebesar USD66,98.
Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) asal Amerika Serikat juga direvisi naik ke USD64,51, dari sebelumnya USD63,35. Hingga pertengahan tahun ini, rata-rata harga Brent tercatat USD70,80 dan WTI USD67,50.
Lonjakan harga sempat terjadi awal Juni ketika ketegangan Iran-Israel memanas dan Amerika Serikat menyatakan intervensi. Harga Brent sempat menyentuh USD81,40 sebelum melorot kembali ke USD67,14 setelah gencatan senjata diberlakukan.
“Kami memperkirakan kawasan itu akan tetap tegang untuk sementara waktu, dan ini akan memunculkan volatilitas harga dalam beberapa hari dan pekan ke depan,” kata analis energi senior di DBS Bank, Suvro Sarkar, dikutip dari Reuters di Jakarta, Selasa, 1 Juli 2025.
Namun sebagian besar analis menilai dampak konflik terhadap harga hanya bersifat jangka pendek—selama produksi minyak Teluk tetap berjalan lancar. “Jika konflik tidak meluas, harga akan kembali mendekati level fundamental,” ujar kepala ekonom Hamburg Commercial Bank, Cyrus De La Rubia.
Ia menekankan bahwa kenaikan pasokan OPEC+ serta cadangan minyak global yang masih aman akan menahan reli harga lebih lanjut.
OPEC+ sendiri pada Mei lalu menyepakati kenaikan produksi tambahan sebesar 411 ribu barel per hari (bph) untuk Juli 2025, menyusul peningkatan sebelumnya sebesar 1,37 juta bph sejak April. “Kenaikan ini berpengaruh besar terhadap sentimen pasar yang sudah lebih dulu tertekan oleh ketidakpastian kebijakan dagang Amerika,” ujar Matthew Sherwood, analis komoditas utama di The Economist Intelligence Unit (EIU).
Sherwood juga memperkirakan OPEC+ akan berhati-hati dalam menaikkan produksi ke depan. “Mereka kemungkinan besar akan menahan rencana ekspansi bila melihat harga mulai turun tajam,” katanya.
Sementara itu, proyeksi permintaan minyak global juga direvisi turun. Analis memperkirakan konsumsi akan tumbuh rata-rata 730 ribu bph pada 2025, lebih rendah dari proyeksi bulan lalu sebesar 775 ribu bph.
Kesepakatan dagang Amerika–China memang memberi angin segar pada pasar, tapi dampaknya belum akan signifikan. “Kesepakatan itu mungkin mendongkrak sentimen dan arus perdagangan, tapi pengaruhnya terbatas dan tetap bergantung pada dinamika ekonomi global serta sisi pasokan,” kata Tobias Keller, analis energi UniCredit.
OPEC+ Bersiap Menambah Pasokan
Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, OPEC+, tengah menyusun rencana untuk kembali menaikkan produksi minyak mulai Agustus. Empat sumber internal menyebut kepada Reuters, penambahan sebesar 411 ribu barel per hari bakal menjadi kelanjutan dari tren kenaikan bertahap yang sudah bergulir sejak Mei.
Jika rencana itu disepakati dalam pertemuan OPEC+ pada 6 Juli mendatang, total tambahan pasokan sepanjang tahun ini akan menembus 1,78 juta barel per hari—setara lebih dari 1,5 persen permintaan minyak global. Namun sinyal penambahan ini belum sepenuhnya tercermin dalam harga.
“Kondisi pasar belum benar-benar menghargai tekanan dari sisi pasokan. Harga minyak mentah masih sangat mungkin melemah,” ujar Kepala Strategi Komoditas Saxo Bank, Ole Hansen.
Kendati suplai meningkat, gejolak pasar tak serta-merta mereda. Menurut analis UBS, Giovanni Staunovo, kenaikan output OPEC pada Mei lalu tergolong terbatas karena beberapa produsen utama seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab memilih bermain hati-hati—menaikkan produksi secara konservatif, bahkan di bawah kuota resmi.
Di luar OPEC, Kazakhstan mencuri perhatian. Negeri yang berbagi pesisir dengan Laut Kaspia itu diperkirakan akan memproduksi dua persen lebih tinggi dari target nasional berkat lonjakan output dari ladang minyak raksasa milik KazMunayGaz, perusahaan energi pelat merah.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.