KABARBURSA.COM – Center of Reform on Economics (CORE) memprediksi ancaman penutupan Selat Hormuz bakal mengancam stabilitas ekonomi global, termasuk Indonesia. Selama ini peran selat ini adalah sebagai jalur pelayaran strategis bagi perdagangan minyak mentah dunia.
CORE memprediksi potensi penutupan selat ini bakal memicu harga minyak mentah Brent hingga USD100-150 per barel. Harga tersebut disebut punya dampak besar bagi negara pengimpor energi seperti Indonesia.
“Setiap kenaikan USD1 per barel harga minyak ICP, pemerintah harus menambah belanja Rp10,1 triliun, sementara penerimaan hanya naik Rp3,2 triliun,” tulis CORE dalam kajiannya, dikutip Kamis, 3 Juli 2025.
Artinya, beban fiskal bersih bertambah sekitar Rp6,9 triliun per kenaikan USD1. CORE juga memperingatkan bahwa efek domino dari lonjakan harga energi akan menekan konsumsi rumah tangga.
Berdasarkan data historis 2014-2023, ketika inflasi melonjak akibat kenaikan harga minyak, konsumsi masyarakat langsung menurun tajam selama tiga bulan pertama, dan baru pulih ke tingkat normal setelah hampir dua tahun.
Dari sisi geopolitik, situasi di Selat Hormuz menjadi sangat krusial. Jalur ini tidak memiliki alternatif sepadan dan menjadi satu-satunya rute ekspor bagi negara-negara seperti Kuwait, Qatar, dan Bahrain. Bahkan Iran sendiri masih sangat bergantung pada jalur tersebut untuk menyalurkan minyak ke Asia, terutama Tiongkok.
“Penutupan Selat Hormuz bukan sekadar persoalan logistik regional, ini adalah urat nadi energi dunia,” terangnya.
Cadangan minyak strategis dunia seperti milik International Energy Agency (IEA) sebesar 1,2 miliar barel pun diperkirakan tidak cukup untuk meredam gejolak pasokan. Kapasitas jalur alternatif, seperti pipa East-West milik Arab Saudi, juga terbatas hanya 5 juta barel per hari. Jumlah ini disebut lebih dari cukup untuk menggantikan 20 juta barel minyak yang setiap hari melintasi Selat Hormuz.
Bagi Indonesia, yang menjadi net importir energi, skenario krisis energi global ini membawa dua tantangan utama, yakni lonjakan biaya subsidi energi dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Jika harga minyak melonjak ke atas USD120, subsidi bahan bakar berpotensi membengkak secara drastis, memaksa pemerintah merevisi postur APBN atau bahkan memangkas belanja sektor lain.
Sementara itu, dari pasar keuangan, gejolak harga minyak telah mendorong naiknya harga emas dan penurunan indeks saham global. “Pada hari pertama serangan (13 Juni), harga emas naik 1,38 persen, sementara indeks Dow Jones dan S&P 500 masing-masing turun 1,79 persen dan 1,13 persen,” ungkapnya
Hal ini menunjukkan bahwa pasar merespons eskalasi konflik dengan aksi lindung nilai dan penghindaran risiko, kondisi yang berpotensi menular ke pasar modal Indonesia.
Gencatan senjata yang diumumkan pada 24 Juni dinilai CORE masih bersifat sepihak dan tidak dilandasi proses diplomatik formal yang kuat. Artinya, risiko eskalasi ulang tetap tinggi.
“Gencatan senjata tampak sebagai pernyataan politik sepihak tanpa dukungan proses diplomatik formal,” tulis laporan tersebut.(*)