Logo
>

Gelembung Teknologi Mulai Panas, Pasar Asia Rontok

Bursa Asia kompak melemah mengikuti Wall Street dan Eropa, setelah para CEO Goldman Sachs dan Morgan Stanley memperingatkan gelembung valuasi saham AI yang dinilai sudah terlalu panas.

Ditulis oleh Yunila Wati
Gelembung Teknologi Mulai Panas, Pasar Asia Rontok
Ilustrasi pasar saham Asia. (Foto: Adobe Stock)

KABARBURSA.COM – Bursa saham Asia dibuka melemah pada perdagangan Rabu, 5 November 2025. Pelemahan ini terseret oleh tekanan global yang melanda sektor teknologi dan saham-saham berbasis kecerdasan buatan (AI). 

Arah pasar pagi ini memperpanjang koreksi yang sudah lebih dulu terjadi di Wall Street dan Eropa. Penyebabnya adalah sejumlah pimpinan bank investasi besar memberi sinyal waspada terhadap reli saham yang dianggap sudah terlalu panas.

Indeks acuan di kawasan langsung memerah sejak pembukaan. Di Jepang, Nikkei 225 terperosok tajam 2,76 persen atau anjlok 1.421 poin ke level 50.075,95, sementara Topix ikut melemah 0,26 persen. 

Tekanan juga terasa di Korea Selatan, di mana Kospi jatuh 4,50 persen ke 3.936,18, disertai pelemahan Kosdaq sebesar 0,95 persen. Pasar Australia pun tak luput dari koreksi, di mana ASX 200 turun 0,44 persen ke 8.774,80 pada pukul 08.15 WIB.

Koreksi serentak di bursa Asia ini terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran akan terbentuknya gelembung pasar (market bubble) di sektor AI. Para investor merespons peringatan dari CEO Goldman Sachs, Morgan Stanley, dan Capital Group yang sama-sama menyebut bahwa reli besar saham teknologi dalam dua tahun terakhir telah menciptakan valuasi yang “tidak realistis” dan berpotensi memicu koreksi besar dalam waktu dekat. 

Kepala strategi ekuitas Jepang di Ortus Advisors Andrew Jackson menilai, aksi jual pagi ini merupakan reaksi alami setelah euforia panjang di pasar mulai memudar. 

“Penjualan akhirnya terjadi setelah reli besar-besaran terhenti, menyusul komentar para CEO bahwa pasar sudah saatnya terkoreksi,” ujar Jackson kepada CNBC.

Pasar Timbang Ulang Valuasi Saham Teknologi

Sinyal kehati-hatian ini tampaknya menjadi pemicu utama gelombang risk-off di kawasan Asia. Investor global kembali menimbang ulang valuasi saham-saham teknologi yang dalam beberapa bulan terakhir menjadi pendorong utama indeks global, terutama di Jepang, Korea, dan Taiwan. Ketiga negara tersebut sangat sensitif terhadap tema AI dan semikonduktor. 

Kinerja positif sektor teknologi yang terlalu dominan kini justru menjadi sumber volatilitas baru, di tengah ekspektasi bahwa likuiditas global mungkin akan mengetat lagi jika bank sentral besar menunda pemangkasan suku bunga tambahan.

Meski begitu, di pasar domestik, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan masih berpeluang bergerak positif setelah sempat terkoreksi 0,4 persen pada sesi sebelumnya dan ditutup di level 8.241. 

Harga ETF Indonesia di Wall Street, iShares MSCI Indonesia (EIDO), juga hanya terkoreksi tipis 0,54 persen ke USD18,36, menandakan tekanan terhadap aset Indonesia relatif moderat dibanding kawasan lain.

Beberapa analis memandang pelemahan IHSG kemarin lebih disebabkan oleh aksi ambil untung sementara (profit taking) pasca reli Oktober. 

Analis Indo Premier menilai, koreksi saham-saham konglomerasi merupakan langkah wajar menjelang pengumuman rebalancing indeks MSCI yang akan dirilis malam nanti. Investor disebut sedang melakukan penyesuaian portofolio sambil menunggu kepastian bobot baru, yang bisa memicu arus dana masuk atau keluar dari saham-saham tertentu.

Secara teknikal, IHSG masih memiliki peluang rebound dengan pergerakan di kisaran 8.200–8.300, terutama jika aliran dana asing tetap berlanjut. Sentimen positif juga bisa datang dari sektor komoditas dan perbankan yang stabil di tengah pelemahan global. 

Namun, investor tetap perlu mewaspadai tekanan lanjutan dari pasar eksternal, karena volatilitas saham teknologi dunia bisa menular dengan cepat ke Asia, terutama bila koreksi di Wall Street berlanjut dalam beberapa sesi ke depan.

Untuk saat ini, pasar Asia berada di persimpangan antara euforia dan kehati-hatian. Ketika sektor AI yang dulu menjadi bahan bakar utama reli global kini mulai kehabisan tenaga, investor tampak mulai mencari keseimbangan baru, yaitu antara valuasi yang masuk akal dan ekspektasi pertumbuhan yang realistis. 

Koreksi tajam pagi ini bisa menjadi sinyal awal dari fase konsolidasi yang lebih panjang, terutama jika komentar para eksekutif top Wall Street benar bahwa pasar sedang menuju masa pendinginan dua tahun ke depan.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79