KABARBURSA.COM - Nilai tukar dolar Amerika Serikat kembali melemah tajam pada Rabu waktu setempat, 16 April 2025. Pelemahan ini mencerminkan meningkatnya kekhawatiran investor terhadap arah kebijakan perdagangan global dan prospek ekonomi domestik.
Mata uang-mata uang safe haven seperti franc Swiss dan yen Jepang mencatat penguatan signifikan, sementara mata uang yang sensitif terhadap risiko seperti dolar Australia dan dolar Kanada juga mencatatkan kinerja positif terhadap greenback.
Pelemahan dolar dipicu oleh meningkatnya ketidakpastian pasar, seiring para pelaku keuangan menunggu hasil perundingan dagang yang sedang berlangsung antara pemerintahan Presiden Donald Trump dengan sejumlah mitra utama, termasuk Jepang, Inggris, dan Korea Selatan. Di saat yang sama, ketegangan dengan China terus membara, memperkeruh proyeksi kestabilan ekonomi global.
Brad Bechtel, analis mata uang dari Jefferies di New York, menyebut bahwa pasar berada dalam situasi "kekosongan informasi", dengan ketidakjelasan hasil perundingan antara Washington dan Beijing. Meski ada kemungkinan kesepakatan dengan beberapa negara dapat diumumkan dalam waktu dekat, pembicaraan dengan China dan Uni Eropa diperkirakan akan memakan waktu lebih lama.
Pernyataan Wakil Presiden JD Vance yang menyebut peluang "kesepakatan besar" antara AS dan Inggris semakin memperkuat ekspektasi pasar akan arah baru kebijakan perdagangan, meski langkah lanjutan Trump—termasuk penyelidikan tarif terhadap impor mineral penting—justru memperlihatkan bahwa konfrontasi dagang masih menjadi opsi serius.
Sementara itu, komentar dari Ketua Federal Reserve Jerome Powell memperkeruh kekhawatiran pasar. Powell mengakui bahwa ekonomi AS menunjukkan tanda-tanda pelambatan, dengan pertumbuhan konsumsi hanya meningkat secara moderat dan dampak tarif yang membebani proyeksi pertumbuhan domestik.
Ia juga mengindikasikan bahwa The Fed akan berhati-hati dalam menentukan kebijakan suku bunga, menunggu kejelasan lebih lanjut soal inflasi dan dampak jangka panjang dari kebijakan tarif.
Sentimen negatif terhadap dolar diperkuat oleh data penjualan ritel AS yang meningkat pada Maret, sebagian besar disebabkan oleh percepatan pembelian kendaraan bermotor sebelum tarif baru diberlakukan. Namun, kenaikan tersebut justru dibaca sebagai reaksi sementara terhadap ketidakpastian tarif, bukan sebagai indikator fundamental yang kuat.
Di pasar valuta asing, euro melonjak hampir 0,84 persen ke level USD1,1376, mendekati level tertinggi tiga tahun yang sempat disentuh pada pekan lalu. Yen Jepang menguat 0,71 persen ke 142,22 per dolar AS, sementara franc Swiss menjadi bintang di antara mata uang G10 dengan penguatan hingga 1 persen.
Franc bahkan nyaris menyentuh level terkuatnya dalam satu dekade, memicu spekulasi bahwa Swiss National Bank (SNB) mungkin akan kembali menurunkan suku bunga ke wilayah negatif untuk mengendalikan apresiasi berlebihan.
SNB selama ini dikenal aktif melakukan intervensi pasar untuk mengatur pergerakan franc, namun meningkatnya perhatian dari Washington terhadap manipulasi nilai tukar membuat otoritas Swiss berada dalam dilema. Beberapa analis menilai pasar mulai meragukan kemampuan atau kesediaan SNB untuk terus melakukan intervensi, memberikan ruang bagi investor untuk lebih percaya diri membeli franc.
Sementara itu, poundsterling Inggris sedikit terkoreksi ke USD1,3221, meskipun sebelumnya sempat menyentuh level tertinggi enam bulan. Di sisi lain, dolar Kanada mencatat penguatan sebesar 0,5 pers n terhadap dolar AS setelah Bank of Canada mempertahankan suku bunga acuannya di 2,75 persen, menghentikan rangkaian pemangkasan suku bunga tujuh kali berturut-turut.
Dolar Australia juga menunjukkan kekuatan, naik 0,35 persen ke USD0,6365, setelah sebelumnya sempat menyentuh level tertinggi dalam lebih dari satu bulan. Kinerja positif mata uang komoditas ini menunjukkan bahwa pasar mulai menaruh harapan pada stabilisasi ekonomi global meski tekanan tarif dan kebijakan proteksionis masih menghantui.
Secara keseluruhan, pelemahan dolar mencerminkan perubahan arah arus modal global di tengah ketidakpastian kebijakan perdagangan AS dan kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi domestik. Selama ketegangan dagang belum mereda dan The Fed tetap berhati-hati, volatilitas nilai tukar kemungkinan akan terus menjadi tema dominan di pasar keuangan global.
Sementara, nilai tukar mata uang Asia terhadap dolar Amerika Serikat (USD) menunjukkan pergerakan yang beragam pada perdagangan Rabu, 16 April 2025. Beberapa mata uang mencatat penguatan yang cukup signifikan, sementara lainnya justru melemah atau hanya mencatatkan penguatan tipis di tengah dinamika global yang masih diliputi ketidakpastian.
Yen Jepang mencatat penguatan ke level 142,57 per dolar AS, naik 0,45 persen. Penguatan ini didorong oleh meningkatnya permintaan aset safe haven di tengah kekhawatiran pasar global terhadap ketegangan geopolitik dan ketidakpastian kebijakan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Hal ini membuat investor kembali melirik yen sebagai aset lindung nilai.
Dolar Singapura (SGD) juga menunjukkan penguatan terhadap USD, berada di level 1,3136 atau naik 0,41 persen. Kinerja ekonomi Singapura yang relatif stabil serta ekspektasi terhadap kebijakan moneter yang tetap ketat turut mendorong mata uang ini menguat.
Untuk dolar Australia (AUD) menguat ke level 0,6372 terhadap dolar AS, naik 0,43 persen. Penguatan ini didorong oleh harga komoditas yang membaik, terutama sektor logam dan batu bara, yang menjadi andalan ekspor Australia. Dukungan ini menjadi katalis positif bagi pergerakan mata uang negeri kanguru.
Berbeda dengan beberapa mata uang Asia lainnya, rupiah justru mencatatkan pelemahan terhadap dolar AS. Mata uang Indonesia itu melemah ke level Rp16.837 per dolar AS, turun 0,06 persen. Melemahnya rupiah terjadi seiring dengan kekhawatiran investor terhadap prospek ekonomi domestik yang diperkirakan tumbuh lebih lambat pada kuartal I 2025. Selain itu, tekanan eksternal berupa arus modal keluar juga memperburuk kinerja rupiah di pasar valuta asing.
Mata uang India, rupee, juga mencatat penguatan ke level 85,6237 per dolar AS, menguat 0,17 persen. Penguatan ini mencerminkan stabilitas ekonomi makro India serta keberhasilan pemerintah dalam menjaga inflasi tetap terkendali.
Yuan Tiongkok bergerak sedikit lebih kuat di angka 7,3154 terhadap dolar AS, naik tipis 0,01 persen. Meski hanya mencatatkan kenaikan marginal, hal ini tetap menunjukkan ketahanan yuan di tengah tekanan eksternal, termasuk dari meningkatnya tensi perdagangan dengan Amerika Serikat. Pemerintah Beijing tampaknya terus menjaga stabilitas nilai tukar untuk mendukung sektor ekspor yang krusial bagi pemulihan ekonomi.
Ringgit Malaysia justru melemah terhadap dolar AS, turun ke level 4,4167, meskipun dengan pelemahan yang terbatas sebesar 0,09 persen. Penurunan ini terjadi di tengah kecemasan investor terhadap kondisi fiskal domestik serta ekspektasi pasar terhadap perlambatan ekonomi regional.
Mata uang baht Thailand menjadi salah satu yang mencatatkan penguatan paling besar. Baht menguat hingga 1,02 persen ke level 33,2490 per dolar AS. Penguatan ini didukung oleh surplus neraca perdagangan serta optimisme terhadap sektor pariwisata Thailand yang kembali menggeliat setelah pandemi, sehingga mendukung permintaan terhadap baht.(*)