Logo
>

Harga Batu Bara Menyala di Saat Stok China Melimpah

Data dari Asosiasi Transportasi dan Distribusi Batu Bara Tiongkok mengungkapkan bahwa stok batu bara saat ini berada di dekat level tertinggi sepanjang sejarah.

Ditulis oleh Yunila Wati
Harga Batu Bara Menyala di Saat Stok China Melimpah
Ilustrasi batu bara Indonesia.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Harga batu bara terus menunjukkan tren kenaikan meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan dan sentimen negatif, terutama dari pasar Tiongkok. Pada perdagangan Jumat dinihari WIB, 28 Maret 2025, harga batu bara mencapai USD102 per ton, menguat 1,6 persen dibandingkan hari sebelumnya. 

    Penguatan ini menjadi yang kedua secara beruntun dengan total kenaikan mencapai 3,8 persen, mempertahankan posisinya di atas level psikologis USD100 per ton setelah sempat terpuruk ke bawah angka tersebut.

    Meskipun mengalami kenaikan dalam jangka pendek, tekanan terhadap harga batu bara masih cukup besar. Salah satu faktor utama yang membayangi prospek pasar adalah tingginya tingkat persediaan di Tiongkok. Data dari Asosiasi Transportasi dan Distribusi Batu Bara Tiongkok mengungkapkan bahwa stok batu bara saat ini berada di dekat level tertinggi sepanjang sejarah. Kondisi ini berpotensi menekan harga lebih jauh jika permintaan tidak mengalami peningkatan yang signifikan dalam beberapa bulan ke depan.

    Para analis memperkirakan bahwa tekanan terhadap harga batu bara bisa semakin dalam. Morgan Stanley bahkan mengisyaratkan kemungkinan pemerintah Tiongkok akan menerapkan kebijakan pembatasan impor jika harga turun terlalu jauh. 

    Meskipun demikian, langkah ini diperkirakan tidak akan berupa larangan total mengingat kewajiban Tiongkok di bawah aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Sebagai gantinya, pemerintah dapat menerapkan hambatan non-tarif seperti memperketat prosedur inspeksi atau menunda proses impor guna mengendalikan pasokan di dalam negeri.

    Kondisi kelebihan pasokan saat ini merupakan dampak dari agresivitas pembelian batu bara pada paruh kedua tahun lalu, yang ternyata tidak diimbangi dengan peningkatan konsumsi. Pada 2024, pertumbuhan pembangkit listrik tenaga uap di Tiongkok hanya mencapai 1,5 persen, menjadikannya tingkat pertumbuhan terendah dalam beberapa tahun terakhir. 

    Meski demikian, produksi listrik berbasis batu bara tetap mencatatkan rekor dengan total output mencapai 6,34 triliun kWh. Hal ini menunjukkan bahwa batu bara masih menjadi sumber energi utama dalam sistem kelistrikan China, terutama sebagai cadangan untuk mengantisipasi fluktuasi produksi dari pembangkit listrik berbasis tenaga angin dan surya.

    Namun, tren dalam jangka pendek menunjukkan adanya penurunan penggunaan batu bara dan gas dalam pembangkitan listrik di China selama dua bulan pertama tahun 2025. Fenomena ini terbilang langka, karena dalam 35 tahun terakhir hanya terjadi tiga kali. 

    Penurunan ini bukan disebabkan oleh meningkatnya kontribusi energi terbarukan, melainkan oleh faktor cuaca yang lebih hangat dari biasanya, sehingga mengurangi kebutuhan energi untuk pemanas.

    Secara keseluruhan, meskipun harga batu bara masih mengalami kenaikan dalam beberapa hari terakhir, tekanan dari sisi fundamental tetap kuat. Pergerakan harga dalam beberapa bulan ke depan akan sangat bergantung pada kebijakan pemerintah China terkait impor serta perkembangan permintaan listrik di negara tersebut. 

    Di sisi lain, peran batu bara dalam sistem energi global, khususnya di China, masih akan bertahan dalam jangka panjang, terutama sebagai penopang stabilitas energi di tengah meningkatnya elektrifikasi rumah tangga dan sektor transportasi.

    Proyek DME Prabowo Dikritik Pengamat

    Dari dalam negeri, proyek gasifikasi batu bara menjadi dimetil eter (DME) yang didorong oleh Presiden Prabowo Subianto menuai kritik tajam dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA). Lembaga ini menilai bahwa proyek dengan kapasitas produksi 1,4 juta ton per tahun tersebut bukanlah investasi yang layak secara ekonomi.

    Analis Keuangan Energi IEEFA Ghee Peh, menjelaskan bahwa besarnya investasi yang dibutuhkan untuk proyek ini tidak sebanding dengan manfaat yang dihasilkan. Dengan kebutuhan modal mencapai USD3,1 miliar atau setara dengan Rp51,3 triliun, proyek ini dinilai tidak menawarkan profitabilitas yang memadai, baik dari segi harga produk maupun dampak lingkungannya. 

    Beban biaya yang tinggi akan berdampak pada harga energi yang lebih mahal bagi masyarakat, sehingga proyek ini dinilai tidak ekonomis dalam jangka panjang.

    Salah satu justifikasi utama dalam pengembangan DME adalah mengurangi ketergantungan terhadap impor LPG. Proyek ini diharapkan dapat menggantikan 15 persen impor LPG Indonesia. 

    Namun, dari sisi keekonomian, keberlanjutannya masih diragukan. Pengalaman dari proyek serupa di Shanxi Lanhua, Tiongkok, menunjukkan bahwa produksi DME tidak kompetitif karena biaya produksinya mencapai USD533 per ton, sementara harga jual DME di pasar Tiongkok hanya USD460 per ton pada 2023.

    Kondisi serupa juga dapat terjadi di Indonesia. Pada 2020, PT Bukit Asam (Persero) Tbk memperkirakan bahwa proyek DME membutuhkan biaya sekitar USD2 miliar. Dengan mempertimbangkan inflasi yang mencapai 30 persen, biaya tersebut diprediksi melonjak menjadi USD2,6 miliar pada 2025. 

    Jika perusahaan memilih untuk mengolah batu bara menjadi DME, ada risiko kehilangan keuntungan yang cukup besar. Laporan keuangan PT Bukit Asam per September 2024 mencatat bahwa perusahaan memperoleh keuntungan sekitar USD8 untuk setiap ton batu bara yang dijual. 

    Dengan asumsi bahwa 6,5 juta ton batu bara dialihkan untuk produksi DME, potensi keuntungan yang hilang dapat mencapai USD520 juta dalam kurun waktu 10 tahun.

    Ketika semua biaya dihitung, total investasi proyek DME diperkirakan mencapai USD3,1 miliar, terdiri dari belanja modal sebesar USD2,6 miliar ditambah hilangnya potensi keuntungan sebesar USD520 juta. Angka ini setara dengan 70 persen dari biaya impor LPG Indonesia yang mencapai USD4,3 miliar per tahun untuk volume impor sebesar 7 juta ton. 

    Namun, proyek DME hanya mampu menghasilkan 1 juta ton setara energi LPG, yang berarti dampaknya terhadap pengurangan impor LPG masih sangat terbatas.

    Selain itu, biaya produksi DME juga tergolong tinggi. Dengan memperhitungkan komponen biaya batu bara dan non-batu bara dalam proses produksinya, biaya produksi DME diperkirakan berada di kisaran USD614-651 per ton. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga LPG yang setara secara energi, yakni sekitar USD431 per ton.

    Kelemahan lain dari DME adalah kandungan energinya yang lebih rendah dibandingkan LPG. Meskipun proyek ini bertujuan untuk menyediakan alternatif energi yang lebih mandiri bagi Indonesia, kenyataannya harga produksi DME tetap lebih mahal. 

    Bahkan dalam skenario terbaik sekalipun, harga DME pada batas bawah biaya produksi non-batu bara masih lebih tinggi 42 persen dibandingkan harga LPG per Maret 2025, dengan harga DME mencapai USD183 per ton lebih mahal dibanding LPG.

    Dengan berbagai tantangan ini, proyek gasifikasi batu bara menjadi DME masih menghadapi pertanyaan besar terkait kelayakan investasinya. Meskipun menawarkan potensi pengurangan impor LPG, biaya yang tinggi dan tingkat profitabilitas yang rendah membuat proyek ini sulit untuk bersaing secara ekonomi. 

    Jika tidak ada strategi yang lebih efisien dalam menekan biaya produksi, proyek ini berisiko menjadi beban keuangan yang signifikan bagi negara dan masyarakat.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79