KABARBURSA.COM - Tren penurunan harga batu bara global semakin menekan industri pertambangan nasional, terutama bagi perusahaan dengan cadangan tua dan kalori rendah.
Asosiasi Pertambangan Indonesia – Indonesia Mining Association (API-IMA) menyoroti bahwa kondisi ini diperparah dengan kebijakan royalti yang masih tinggi dan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) yang belum ditinjau ulang.
Menurut Direktur Eksekutif API-IMA, Hendra Sinadia, banyak perusahaan tambang saat ini sudah mengalami margin tipis, bahkan ada yang mendekati biaya produksi (cash cost).
"Setiap perusahaan punya faktor penentu yang berbeda, seperti cadangan, luas wilayah, jarak ke pelabuhan, dan kualitas batu baranya. Tapi yang jelas, dengan harga saat ini, beberapa perusahaan sudah mendekati cash cost, artinya harga jual hampir sama dengan biaya operasional," ungkap Hendra kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Kamis, 6 Maret 2025.
Hendra menjelaskan bahwa aturan harga jual domestik ke PLN sebesar USD 70 per ton yang berlaku sejak 2018 semakin membebani perusahaan, terutama di tengah kenaikan biaya produksi yang terus terjadi.
"Kita wajib menjual 25 persen ke domestik dengan harga yang dipatok USD 70 per ton, sementara harga produksi terus naik. Ditambah lagi 75 persen yang diekspor juga dikenakan royalti tinggi dan biaya operasional lainnya. Ini makin menyulitkan," tambahnya.
Beberapa perusahaan tambang, terutama yang memiliki batu bara kalori rendah, semakin merasakan tekanan. Harga batu bara acuan (HBA) saat ini berada di level USD 128 untuk kalori 6.300, namun untuk kalori yang lebih rendah, harga bisa turun jauh hingga di bawah USD 40 per ton.
"Dengan harga seperti ini, perusahaan kecil yang mengandalkan batu bara kalori rendah makin sulit bertahan. Solusi yang diharapkan, seperti revisi royalti atau penyesuaian harga jual domestik, hingga kini belum ada kepastian dari pemerintah," pungkasnya.
Permintaan Dari Eropa Meningkat
Harga batu bara dunia mengalami kenaikan setelah permintaan dari Eropa meningkat secara tak terduga, meskipun kawasan tersebut tengah gencar mendorong transisi ke energi baru terbarukan (EBT). Berdasarkan data Barchart, harga batu bara pada perdagangan Kamis, 30 Januari 2025, tercatat di level USD116,9 per ton, naik 0,73 persen dibandingkan posisi sebelumnya.
Kenaikan ini sejalan dengan lonjakan impor batu bara termal Eropa pada kuartal IV 2024 yang mencapai 8,5 juta metrik ton, naik signifikan dari 5,2 juta metrik ton pada kuartal sebelumnya. Meskipun masih di bawah rekor kuartalan tertinggi sebesar 10,8 juta metrik ton pada kuartal I 2023, peningkatan permintaan ini cukup mengejutkan mengingat tren jangka panjang Eropa yang berusaha mengurangi ketergantungan pada batu bara.
Menurut pelaku pasar, lonjakan impor dipicu oleh beberapa faktor, termasuk volatilitas harga gas yang membuat batu bara kembali menjadi pilihan bagi pembangkit listrik. Selain itu, produksi tenaga angin yang lebih lemah dari perkiraan dan suhu musim dingin yang lebih rendah, turut meningkatkan konsumsi batu bara oleh sektor utilitas.
Dengan kondisi tersebut, tingkat pembakaran batu bara naik karena margin keuntungan bagi produsen listrik menjadi lebih menarik.
Harga batu bara di pasar fisik juga menunjukkan tren yang menguat. Platts mencatat bahwa harga batu bara CIF ARA 6.000 kcal/kg NAR rata-rata mencapai USD117,15 per metrik ton pada kuartal IV 2024, lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya yang berada di level USD113,45 per metrik ton. Namun, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, harga ini masih lebih rendah dari USD125,65 per metrik ton, menunjukkan bahwa secara keseluruhan, penggunaan batu bara di Eropa masih mengalami penurunan.
Di sisi lain, produksi tenaga angin di Uni Eropa tetap stagnan di angka 477 terawatt-hour (TWh), meskipun pemerintah terus berupaya menambah kapasitas baru. Laporan dari Ember, lembaga think tank berbasis di London, menyebutkan bahwa kondisi angin yang kurang mendukung menjadi salah satu faktor yang membatasi pertumbuhan produksi energi angin.
Meski mengalami peningkatan konsumsi dalam jangka pendek, Eropa tetap berkomitmen pada transisi energi. Sejak akhir 2019, kawasan ini berhasil menghindari impor sekitar 92 miliar MMBtu gas dan sekitar 55 juta metrik ton batu bara keras untuk sektor listrik. Dalam lima tahun ke depan, gelombang penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara akan semakin masif, dengan 11 negara Uni Eropa telah mengumumkan rencana untuk sepenuhnya menghapus batu bara dari bauran energi mereka.
Jika rencana tersebut berjalan sesuai target, hanya tujuh negara yang masih akan menggunakan batu bara sebagai sumber energi pada 2030. Dari total kapasitas pembangkit batu bara yang masih beroperasi sebesar 101 gigawatt (GW), setidaknya 34 GW di antaranya diproyeksikan akan ditutup dalam lima tahun mendatang.
Skema MIP dan Penurunan Tarif Royalti
Harapan besar mengarah pada dua kebijakan penting yang dinanti, yaitu penerapan skema Mitra Instansi Pengelola (MIP) dan penurunan tarif royalti batu bara. Skema MIP dirancang untuk menjaga stabilitas harga batu bara domestik sekaligus memastikan ketersediaan pasokan bagi sektor strategis seperti kelistrikan, pupuk, dan semen.
Dalam rancangan skema ini, harga batu bara untuk sektor kelistrikan akan dipatok pada level USD70 per ton, sedangkan sektor non-kelistrikan di angka USD90 per ton. Kebijakan ini, yang merupakan bagian dari langkah stabilisasi domestic market obligation (DMO), diharapkan mampu memberikan kestabilan yang lebih baik bagi industri batu bara domestik.
Tidak hanya itu, juga mengurangi dampak fluktuasi harga global yang sering kali menjadi tantangan besar bagi pelaku industri. Namun, penerapan skema MIP hingga kini masih menanti keputusan final dari Kementerian Keuangan.
Analis Verdhana Sekuritas Michael Edward, dalam risetnya menyebut bahwa kebijakan ini akan memberikan keuntungan signifikan bagi perusahaan batu bara dengan porsi penjualan domestik yang besar. Michael menyebut beberapa emiten yang berpeluang mendapatkan cuan dari sektor ini, yaitu PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Indika Energy Tbk (INDY), dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI).
Jika MIP terealisasi, laba setelah pajak PTBA diprediksi melonjak hingga 59 persen. Sementara itu, INDY dan BUMI masing-masing berpotensi mengalami kenaikan laba sebesar 65 persen dan 52 persen.
Selain MIP, perhatian juga tertuju pada kebijakan penurunan tarif royalti batu bara, yang diperkirakan akan membawa dampak signifikan bagi para pemegang lisensi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Michael memprediksi bahwa kebijakan ini akan menguntungkan sejumlah pemain besar, seperti PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO), INDY, dan BUMI. Jika penurunan tarif royalti direalisasikan, ADRO dapat melihat kenaikan laba bersih sebesar 20 persen pada tahun ini. Sementara itu, laba INDY dan BUMI diperkirakan akan melonjak hingga masing-masing 135 persen dan 44 persen.
Dua kebijakan tersebut, jika diimplementasikan, tidak hanya berpotensi mengangkat performa emiten-emiten batu bara di Indonesia tetapi juga mengokohkan sektor ini sebagai salah satu pilar utama ekonomi nasional.
Dengan demikian, sektor batu bara tak hanya menjadi tonggak penting bagi kebutuhan energi dan industri dalam negeri, tetapi juga sebuah peluang besar bagi investor yang memahami potensi besar di balik dinamika regulasi dan tren pasar yang terus berkembang.(*)
 
      