KABARBURSA.COM – Harga minyak global mengalami penurunan signifikan pada perdagangan Kamis dinihari WIB, 27 Februari 2025, mencapai level terendah dalam dua bulan terakhir. Tren ini dipicu oleh peningkatan tak terduga dalam persediaan bahan bakar Amerika Serikat yang mengindikasikan melemahnya permintaan, serta perkembangan terbaru dalam potensi kesepakatan damai antara Rusia dan Ukraina yang menekan sentimen pasar.
Minyak mentah berjangka Brent, yang menjadi patokan global, ditutup melemah 49 sen atau sekitar 0,67 persen ke level USD72,53 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) sebagai acuan harga minyak di Amerika Serikat juga mengalami penurunan sebesar 31 sen atau 0,45 persen, mengakhiri sesi perdagangan di USD68,62 per barel.
Kedua patokan ini mencatatkan penutupan terendah sejak 10 Desember dan menandakan adanya tekanan kuat yang terus membayangi pasar minyak dunia.
Laporan dari Badan Informasi Energi AS menunjukkan bahwa meskipun stok minyak mentah mengalami penurunan akibat meningkatnya aktivitas penyulingan, persediaan bensin dan sulingan justru mengalami peningkatan di luar perkiraan. Data ini menandakan adanya pelemahan dalam tingkat konsumsi bahan bakar di AS, yang merupakan salah satu faktor utama dalam merosotnya harga minyak.
Selain itu, prospek kesepakatan damai antara Rusia dan Ukraina semakin membaik, memberikan harapan bagi stabilitas di kawasan tersebut. Para analis dari ING mencatat bahwa pasar minyak kini mulai mempertimbangkan kemungkinan pencabutan sanksi terhadap Rusia, yang jika terjadi, akan mengurangi ketidakpastian pasokan dan memperbesar potensi peningkatan pasokan minyak global.
Di sisi lain, kebijakan ekonomi yang diambil Presiden AS Donald Trump juga berkontribusi terhadap tekanan harga minyak. Salah satu langkah yang diambil adalah inisiatif untuk meningkatkan ekspor minyak Irak, yang berpotensi menambah pasokan global dan menekan harga lebih lanjut. Selain itu, kebijakan tarif yang diusulkan Trump dapat memicu ketegangan perdagangan baru, berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi permintaan energi secara keseluruhan.
Dalam perkembangan geopolitik lainnya, Amerika Serikat dan Ukraina telah menyepakati rancangan awal perjanjian terkait sektor mineral, yang menjadi bagian dari upaya diplomatik Trump untuk mengakhiri perang di Ukraina. Langkah ini semakin memperkuat spekulasi bahwa hubungan dagang dan ekonomi antara kedua negara akan berpengaruh terhadap dinamika pasar energi global.
Sementara itu, keputusan Trump untuk membatalkan konsesi yang sebelumnya diberikan kepada Venezuela oleh mantan Presiden Joe Biden turut menjadi faktor yang diperhitungkan oleh pelaku pasar. Kebijakan Biden sebelumnya telah mengizinkan Chevron untuk memperluas produksi minyak di Venezuela dan mengekspor minyak mentah negara itu ke Amerika Serikat. Dengan pembatalan konsesi ini, dinamika pasokan minyak dari Venezuela ke pasar global dapat mengalami perubahan signifikan, yang berpotensi mempengaruhi harga minyak dalam beberapa bulan ke depan.
Kekhawatiran utama yang masih membayangi pasar adalah kemungkinan dampak dari perang dagang yang berlanjut, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi global dan pada akhirnya menekan permintaan minyak. Meskipun sanksi baru AS terhadap Iran telah diberlakukan, hal ini tampaknya belum cukup untuk menyeimbangkan tekanan yang ditimbulkan oleh faktor-faktor lain yang lebih dominan dalam menekan harga minyak dunia.
Sanksi AS Bikin Harga Minyak Naik
Pada hari sebelumnya, harga minyak ditutup lebih tinggi pada Senin, 25 Februari 2025, karena sanksi baru AS terhadap Iran serta komitmen Irak untuk mengimbangi kelebihan produksi menambah kekhawatiran terhadap ketatnya pasokan dalam jangka pendek, membantu pasar pulih dari kerugian tajam pada Jumat.
Futures minyak mentah Brent naik 35 sen, atau 0,5 persen, menjadi USD74,78 per barel. Sementara itu, futures minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS naik 30 sen, atau 0,4 persen, menjadi USD70,70.
Analis UBS Giovanni Staunovo mengatakan sanksi ini mungkin memiliki dampak kecil pada harga minyak, bersama dengan pernyataan kembali dari Kementerian Perminyakan Irak tentang komitmennya terhadap kesepakatan pasokan kelompok OPEC+. Namun, ia memperingatkan bahwa ekspor minyak mentah Iran tetap tinggi. “Waktu yang akan menentukan apakah sanksi ini berdampak pada ekspor,” ujarnya.
Irak menyatakan akan menyampaikan rencana terbaru untuk mengimbangi kelebihan produksinya atas kuota OPEC+ dalam beberapa bulan terakhir. Pada Minggu, Irak mengumumkan akan mengekspor 185.000 barel per hari dari ladang minyak Kurdistan melalui pipa minyak Irak-Turki setelah pengiriman minyak dilanjutkan.
Menurut analis Commodity Context Rory Johnston, harga minyak memang cenderung pulih setelah aksi jual tajam pada sesi sebelumnya, yang dipicu oleh ekspektasi dimulainya kembali ekspor dari Irak utara dan kemungkinan berakhirnya perang di Ukraina yang menyebabkan harga patokan turun lebih dari USD 2.
Ia menambahkan bahwa struktur pasar juga menunjukkan tanda-tanda ketatnya pasokan dalam jangka pendek. Premi futures Brent bulan depan dibandingkan kontrak bulan berikutnya mencapai level tertinggi pada Senin sejak 11 Februari, setelah mengalami kenaikan selama seminggu terakhir.
Namun, beberapa pihak memperingatkan bahwa harga minyak bisa tetap berada di bawah tekanan akibat pembicaraan untuk mengakhiri perang di Ukraina, yang berpotensi membuka jalan bagi lebih banyak minyak Rusia masuk ke pasar, serta berbagai kebijakan tarif AS yang dapat membebani aktivitas ekonomi dan permintaan minyak mentah.(*)
Harga Minyak Dunia Anjlok Lantaran Stok Minyak AS Luber
