KABARBURSA.COM - Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali menciptakan ancaman serius terhadap perekonomian global. Indonesia, sebagai negara pengimpor minyak, berada di posisi rentan apabila Selat Hormuz, jalur krusial bagi distribusi energi dunia, terhambat akibat konflik.
Dalam laporan CORE Indonesia, disampaikan bahwa ancaman penutupan Selat Hormuz, yang merupakan jalur utama bagi 25 persen perdagangan minyak mentah dunia dan 20 persen gas alam global, berpotensi mengerek harga minyak dunia.
Harga minyak Brent disebut bisa meroket ke kisaran USD100 hingga USD150 per barel atau sekitar Rp1,6-Rp2,4 juta (asumsi kurs Rp16.250,95). Artinya krisis energi global bukan lagi sekadar potensi, melainkan ancaman nyata.
Bagi Indonesia, lonjakan harga ini berisiko menciptakan tekanan berat pada APBN. Setiap kenaikan USD1 per barel harga minyak ICP, pemerintah harus menambah belanja Rp10,1 triliun, sementara penerimaan hanya naik Rp3,2 triliun
"Dengan demikian, defisit anggaran bisa melebar hingga Rp6,9 triliun," tulisnya dalam keterangan resmi, Rabu 2 Juli 2025.
Tekanan tidak hanya datang dari sisi fiskal, melainkan juga konsumsi masyarakat. CORE menyebut bahwa lonjakan inflasi cenderung menyebabkan penurunan tajam konsumsi rumah tangga dalam tiga bulan pertama, dan baru kembali ke level normal setelah sekitar 20 bulan.
Artinya, daya beli masyarakat dapat terpukul dalam jangka menengah jika harga energi melonjak dalam waktu dekat. Ketidakpastian di pasar keuangan juga makin terasa.
"Pada 13 Juni (2025) ketika serangan pertama terjadi harga emas naik 1,38 persen, sementara indeks Dow Jones dan S&P 500 masing-masing turun 1,79 persen dan 1,13 persen," ungkapnya.
Ini menunjukkan reaksi cepat investor terhadap risiko geopolitik. Pasar sempat pulih usai gencatan senjata pada 24 Juni 2025.
“volatilitas tetap tinggi akibat ketidakpastian lanjutan dari konflik," terangnya.
Meski telah diumumkan gencatan senjata, CORE memberi catatan bahwa pernyataan itu tampak sebagai pernyataan politik sepihak tanpa dukungan proses diplomatik formal.
Dengan kondisi seperti ini, potensi konflik kembali memanas masih sangat terbuka, dan risiko fiskal Indonesia tetap mengintai.
Lonjakan Harga Komoditas tak Menyelamatkan Ekonomi RI
Lonjakan harga komoditas global akibat memanasnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah tidak serta-merta menjadi penyelamat ekonomi Indonesia.
Kenaikan harga batu bara, nikel, dan crude palm oil atau CPO memang memberikan keuntungan bagi sejumlah pelaku industri, namun kontribusi terhadap pendapatan negara dan ketahanan ekonomi secara menyeluruh dinilai belum memadai. Hal ini karena bentuk kepemilikannya yang tidak dikuasai negara.
Pembukaan lahan di sektor tambang dan pertanian kelapa sawit dinilai percuma saja. Dan gembar-gembor topangan penguatan ekonomi karena sektor itu hanyalah omong kosong.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menyatakan bahwa Indonesia belum bisa sepenuhnya bergantung pada komoditas unggulan tersebut untuk mengantisipasi gejolak ekonomi global. Menurutnya, struktur penerimaan negara dari sektor komoditas masih lemah, karena sebagian besar dikuasai oleh swasta dan kontribusinya ke negara terbatas.
“Keuntungan terbesar dinikmati pengusaha, bukan negara. Penerimaan dari pajak dan royalti tidak besar,” ujar Fahmy kepada KabarBursa.com dikutip Senin, 30 Juni 2025.
Ia menambahkan, selama ini kebijakan pemerintah belum cukup tegas dalam mendorong hilirisasi dan penguatan kontribusi sektor tambang terhadap perekonomian nasional.
Produk-produk seperti batubara dan nikel masih dijual dalam bentuk mentah tanpa nilai tambah yang optimal, sehingga manfaatnya terhadap pembangunan ekonomi domestik tidak maksimal. Karena hanya dinikmati segelintir orang.
Di sisi lain, situasi geopolitik yang semakin memanas menciptakan potensi ancaman baru. Meski beberapa pihak mulai mendorong tercapainya gencatan senjata, banyak kalangan menilai bahwa kesepakatan itu bersifat rapuh dan sewaktu-waktu bisa dilanggar. Jika eskalasi konflik meningkat dan Selat Hormuz, jalur vital distribusi dua pertiga minyak dunia, ditutup, harga minyak global bisa melonjak drastis.
“Kalau perang meluas dan Selat Hormuz ditutup, harga minyak bisa tembus USD130 per barel,” kata Fahmy.
Skenario tersebut pernah terjadi di awal konflik antara Iran dan Israel beberapa waktu lalu, di mana harga minyak dunia langsung melonjak sekitar 8 sampai 10 persen hanya dalam waktu singkat. Ini menunjukkan betapa sensitifnya pasar energi global terhadap eskalasi konflik di kawasan tersebut. (*)