Logo
>

Penjualan Mobil Anjlok 15 Persen, Ada Apa dengan Pasar Otomotif?

Penjualan mobil baru di Indonesia turun 15,1 persen pada Mei 2025. Pengamat nilai pasar otomotif stagnan akibat daya beli menurun dan tekanan ekonomi makro.

Ditulis oleh Harun Rasyid
Penjualan Mobil Anjlok 15 Persen, Ada Apa dengan Pasar Otomotif?
Ilustrasi penjualan mobil di Indonesia. (Foto: doc KabarBursa.com)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Penjualan mobil baru di dalam negeri belum membaik dari keterpurukan. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil baru secara wholesales (dari pabrik ke dealer) sepanjang Mei 2025 tercatat sebanyak 60.613 unit, turun 15,1 persen dibandingkan Mei tahun lalu yang meraih 71.391 unit.

    Dalam penjualan ritel (dari dealer ke konsumen), mobil baru yang berhasil diboyong  secara eceran per Mei 2025 ini membukukan 61.339 unit, atau anjlok sebesar 15,1 persen dibanding Mei 2024.

    Sementara jika dilihat sepanjang tahun, penjualan mobil baru secara kumulatif pada Januari–Mei 2025 (wholesales) yaitu sebanyak 316.981 unit, turun 5,5 persen secara tahunan yang mampu terdistribusi 335.405 unit.

    Secara ritel, penjualan kendaraan roda empat bahkan ambles lebih dalam yakni sebesar 9,2 persen dengan perolehan 328.852 unit. Padahal Januari-Mei 2024 bisa mencapai 362.163 unit.

    Menanggapi penurunan penjualan mobil Pengamat Otomotif, Yannes Martinus Pasaribu, penjualan mobil baru di Indonesia masih jalan di tempat alias mengalami stagnasi karena berbagai faktor.

    "Penurunan penjualan mobil salah satunya disebabkan merosotnya daya beli middle income class ditambah dengan tekanan ekonomi makro, lalu diperparah oleh faktor siklus seperti liburan," ujarnya saat dihubungi KabarBursa.com, Kamis, 3 Juli 2025.

    "Meski ada pemulihan bulanan, tren (year-on-year) YoY yang negatif (Januari-Mei turun 5,5 persen) ini jelas telah mengonfirmasikan terjadinya stagnasi struktural pasar otomotif Indonesia, dan tren berlangsungnya penurunan penjualan mobil yang menerus," sambungnya.

    Lebih lanjut, kelesuan penjualan mobil sepanjang tahun ini sebenarnya telah berlangsung cukup lama. Jika dilihat beberapa tahun ke belakang, penjualan mobil baru secara tahunan masih terjebak di angka 1 juta unit ke bawah.

    Yannes menyebutkan, harga mobil juga dinilai melampaui kemampuan finansial konsumen di kelas menengah ke bawah. 

    "Mobil baru dapat dikatakan secara historis merupakan aset aspirasional utama dan barometer kesehatan finansial bagi segmen ini. Stagnasi pasar selama hampir satu dekade di level satu juta unit atau kurang ini, mengindikasikan bahwa kenaikan harga kendaraan secara struktural telah melampaui pertumbuhan pendapatan riil mayoritas rumah tangga di segmen middle income class kita," jelasnya.

    Jika ekonomi terus tertekan dan penuh ketidak pastian, kata dia, masyarakat kelas menengah yang jumlahnya terus tergerus ini tentu bakal kehilangan minat membeli mobil baru, dan fokus bertahan hidup dengan memenuhi kebutuhan primernya.

    Yannes menilai, tekanan ekonomi dalam negeri sudah berlangsung berkepanjangan, sebagai imbas kondisi ekonomi global. Hal ini juga yang menyebabkan melemahnya daya beli konsumen dan sederet pemicu lainnya dalam penjualan kendaraan.

    "Penurunan penjualan mobil sebesar 15,1 persen di Mei 2025 mencerminkan sedang berlangsungnya tekanan ekonomi makro yang berkepanjangan, seperti pelemahan daya beli konsumen akibat kenaikan suku bunga kredit yang tinggi, dan depresiasi rupiah yang membatasi akses kredit. Deflasi 0,37 persen pada Mei 2025 juga menunjukkan keraguan konsumen dalam berbelanja barang non-esensial," terangnya.

    "Kondisi ini juga dapat terjadi sebagai akibat dari ketidakpastian ekonomi global dan dampaknya pada ketidakpastian ekonomi dalam negeri, yang semakin menekan kemampuan belanja dan menunda realisasi konsumsi barang-barang konsumsi bernilai tinggi seperti misalnya kendaraan," tambah Yannes.

    Akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini menyimpulkan, kelesuan pasar otomotif bukanlah akibat faktor tunggal dari merosot dan berkurangnya daya beli konsumen kelas menengah atau masalah internal industri semata.

    "Tapi lebih merupakan cerminan dari tantangan ekonomi makro yang lebih fundamental, yaitu kemampuan belanja masyarakat terhadap barang-barang konsumsi berharga mahal yang tidak berkembang secepat kenaikan biaya hidup dan harga barang yang semakin mahal," ujarnyua.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Harun Rasyid

    Vestibulum sagittis feugiat mauris, in fringilla diam eleifend nec. Vivamus luctus erat elit, at facilisis purus dictum nec. Nulla non nulla eget erat iaculis pretium. Curabitur nec rutrum felis, eget auctor erat. In pulvinar tortor finibus magna consequat, id ornare arcu tincidunt. Proin interdum augue vitae nibh ornare, molestie dignissim est sagittis. Donec ullamcorper ipsum et congue luctus. Etiam malesuada eleifend ullamcorper. Sed ac nulla magna. Sed leo nisl, fermentum id augue non, accumsan rhoncus arcu. Sed scelerisque odio ut lacus sodales varius sit amet sit amet nibh. Nunc iaculis mattis fringilla. Donec in efficitur mauris, a congue felis.