KABARBURSA.COM - Harga minyak mentah global kembali merosot pada perdagangan Jumat dinihari WIB, 3 Oktober 2025. Fakta ini memperpanjang tren penurunan empat hari beruntun dan membawa harga ke titik terendah dalam empat bulan terakhir.
Terkoreksinya harga minyak disebabkan tekanan pasar yang kian berat seiring meningkatnya kekhawatiran kelebihan pasokan, terutama menjelang pertemuan penting negara-negara produsen OPEC+ pada akhir pekan ini. Pertamuan tersebut diperkirakan akan menentukan arah produksi ke depan.
Minyak mentah berjangka Brent, acuan internasional, anjlok USD1,24 atau 1,9 persen menjadi USD64,11 per barel. Ini menjadi level terendah sejak Juni. Sementara patokan Amerika Serikat, West Texas Intermediate (WTI), turun lebih dalam, USD1,30 atau 2,1 persen ke USD60,48 per barel. Angka ini terendah sejak 30 Mei.
Penurunan harga minyak memperkuat tren pelemahan yang sejak awal pekan sudah dihantui sentimen bearish akibat kabar meningkatnya pasokan global.
OPEC+ Setujui Produksi 500 Ribu Barel per Hari
Tiga sumber yang memahami dinamika pembahasan internal OPEC+ mengungkapkan bahwa kelompok produsen minyak tersebut kemungkinan akan menyepakati peningkatan produksi hingga 500.000 barel per hari pada November.
Prduksi tersebut tiga kali lipat dari kenaikan yang terjadi di bulan Oktober. Sebuah Langkah agresif yang dinilai sebagai strategi Arab Saudi untuk merebut kembali pangsa pasar di tengah perlambatan permintaan dunia.
Kekhawatiran pasar semakin dalam setelah beberapa bank besar, termasuk Macquarie, memproyeksikan potensi “super glut”, atau kelebihan pasokan besar-besaran. Kelebihan pasokan ini bisa menekan harga lebih jauh.
Lembaga riset HFI Research menegaskan, tren persediaan minyak Amerika Serikat yang terus meningkat hingga akhir tahun, ditambah ekspor minyak OPEC+ yang makin besar, akan menambah beban pelemahan pasar.
Data terbaru dari Badan Informasi Energi (EIA) AS memperlihatkan stok minyak mentah, bensin, dan distilat kembali naik. Artinya, permintaan melemah, begitu pula dengan aktivitas di kilang.
Tekanan juga datang dari sisi permintaan global. PVM Energy mencatat adanya revisi turun rata-rata 150.000 barel per hari sepanjang Januari hingga September. Artinya, konsumsi energi lebih lemah dari ekspektasi awal.
Anggota G7 Sepakat Tekan Gerak Rusia
Faktor geopolitik turut membentuk lanskap harga. Negara anggota G7 sepakat memperketat tekanan terhadap Rusia dengan menargetkan pihak-pihak yang masih membeli minyak dari Moskow.
Di saat yang sama, Amerika Serikat memastikan dukungan intelijen bagi Ukraina untuk memperlancar serangan rudal jarak jauh ke infrastruktur energi Rusia, termasuk kilang dan jaringan pipa.
Namun, analis UBS Giovanni Staunovo menilai, dampak geopolitik ini terhadap harga minyak masih terbatas. Apalagi selama pasokan fisik Rusia belum benar-benar terganggu.
Meski banyak tekanan, ada pula faktor yang menahan pelemahan lebih dalam. China sebagai importir minyak terbesar dunia masih menunjukkan permintaan penimbunan strategis. Di lain sisi, jaringan pipa Colonial Pipeline di AS kembali beroperasi normal setelah sempat mengalami gangguan teknis singkat.
Kedua faktor ini sedikit memberi penopang, meski tak cukup mengubah tren bearish saat ini.
Secara keseluruhan, pasar minyak dunia kini berada di persimpangan yang krusial. Penurunan tajam Brent dan WTI menggambarkan keresahan mendalam atas prospek kelebihan pasokan.
Sementara arah kebijakan OPEC+ pada akhir pekan akan sangat menentukan apakah tekanan jual akan berlanjut atau justru mereda. Hingga saat ini, harga minyak masih bergerak di bawah bayang-bayang oversupply yang kian nyata, meski ditopang oleh beberapa faktor permintaan jangka pendek.(*)