Logo
>

Harga Minyak Dunia Melejit, Ancaman Krisis Energi Bayangi RI

Lonjakan harga minyak akibat konflik Iran-Israel berisiko guncang APBN dan subsidi energi Indonesia, potensi krisis mengintai bila perang meluas.

Ditulis oleh Dian Finka
Harga Minyak Dunia Melejit, Ancaman Krisis Energi Bayangi RI
Ilustrasi: Konflik Timur Tengah picu lonjakan harga minyak. Indonesia terancam krisis energi jika harga tembus USD100 per barel. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji/Reuters

KABARBURSA.COM – Lonjakan harga minyak global akibat ketegangan Iran-Israel membuka babak baru risiko fiskal bagi negara-negara pengimpor energi, tak terkecuali Indonesia. Bila perang di kawasan Teluk terus meluas, subsidi energi yang selama ini menjadi perisai masyarakat bisa saja tak lagi mampu menahan tekanan.

Pengamat Ekonomi Energi yang juga dosen Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menilai efek konflik ini berpotensi mengerek harga minyak dunia ke level yang sangat memberatkan fiskal nasional.

“Serangan pertama Israel sudah memicu kenaikan harga minyak dunia sebesar 9–10 persen. Kalau sekarang harga Brent menyentuh USD75 per barel, itu masih bisa ditahan. Tapi kalau perang meluas, harga bisa tembus USD100 per barel, dan itu akan berdampak langsung ke APBN,” ujar Fahmy kepada KabarBursa.com, Senin, 16 Juni 2025.

Berdasarkan data Trading Economics, harga kontrak berjangka minyak mentah WTI sempat menyentuh USD73 per barel pada awal pekan ini, setelah reli lebih dari 7 persen pada Jumat dan sempat melesat 5,5 persen di sesi sebelumnya. Namun penguatan itu mulai terkoreksi seiring meredanya kekhawatiran pasar terhadap potensi eskalasi konflik Iran-Israel.

Per sore ini, harga minyak mentah jenis WTI kembali bergerak melemah. Pantauan di TradingView menunjukkan kontrak berjangka WTI di NYMEX berada di posisi USD72,39 per barel, terkoreksi 0,81 persen atau turun USD0,59 dari harga sebelumnya. Pola grafik menunjukkan tekanan jual masih mendominasi sejak sesi pagi. Setelah sempat diperdagangkan di kisaran USD77, harga terus tergerus hingga mendekati level support USD72.

Menurut Fahmy, Iran merupakan pemain utama dalam pasar energi global. Jika konflik meluas dan menyeret Iran, bahkan Irak, maka jalur perairan strategis seperti Selat Hormuz berisiko terganggu. Sekitar 20 persen distribusi minyak global melewati selat ini setiap harinya. Gangguan kecil pun bisa memantik lonjakan harga signifikan.

“Kalau konflik meluas, misalnya Iran dan Irak ikut terlibat dan mengganggu perairan internasional seperti Selat Hormuz, ini akan menghambat distribusi dan memicu lonjakan harga tajam. Angkanya bisa saja di atas USD100 per barel,” ujarnya.

Sejauh ini, pemerintah masih bisa bertahan karena harga minyak dunia masih berada di bawah asumsi APBN 2025, yakni sekitar USD82 per barel. Namun Fahmy menegaskan skema subsidi energi memiliki batas toleransi fiskal. Jika harga terus menanjak, pemerintah tak punya banyak pilihan selain meninjau ulang struktur harga BBM subsidi di dalam negeri.

“Selama harga minyak dunia masih dalam kisaran asumsi APBN, pemerintah dinilai masih bisa bertahan tanpa harus menaikkan harga BBM bersubsidi,” kata Fahmy.

"Tapi kalau harga sudah tembus USD100 dan terus bertahan di sana, maka APBN tidak akan kuat menanggung beban subsidi. Pemerintah akan dihadapkan pada pilihan sulit, menaikkan harga atau menambah subsidi dengan konsekuensi fiskal," imbuhnya.

Fahmy menilai, lonjakan harga BBM bersubsidi dapat mendorong inflasi dan melemahkan daya beli masyarakat. Namun di sisi lain, jika pemerintah memilih untuk tetap menahan harga tanpa menyesuaikan besaran subsidi, maka konsekuensinya adalah tekanan berat terhadap anggaran negara. Ia menekankan pentingnya kalkulasi yang matang dari pemerintah dan perlunya langkah mitigasi disiapkan sejak dini, mengingat kompleksitas situasi yang sedang dihadapi.

Mengenai rencana pemerintah membeli minyak dari Amerika Serikat sebagai alternatif pasokan, Fahmy justru menyarankan agar langkah tersebut dibatalkan. Menurutnya, kebijakan itu tidak efisien secara logistik dan teknis.

"Kalau beli dari Amerika, ongkos logistiknya mahal, dan belum tentu spesifikasi minyaknya cocok dengan kilang kita. Butuh penyesuaian lagi yang akan menambah biaya. Di tengah kondisi geopolitik yang tidak menentu, sebaiknya langkah itu dibatalkan saja," ujarnya.

Subsidi Energi APBN 2025 Bisa Jebol?

Menjawab pertanyaan soal kecukupan alokasi subsidi energi dalam APBN 2025 yang mencapai Rp186 triliun, Fahmy menyebut angka itu hanya memadai jika harga minyak dunia tetap di bawah USD 90 per barel.

“Kalau harga naik terus di atas USD100, ya pasti perlu revisi. ICP-nya harus disesuaikan, alokasi subsidi bisa jebol. Pemerintah harus realistis menakar kemampuan fiskal,” ujarnya.

Meski lonjakan harga minyak menjadi tekanan jangka pendek, Fahmy menilai momentum ini sekaligus menjadi pengingat pentingnya transisi energi. Menurutnya, komitmen pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto harus serius dalam mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT).

"Transisi energi memang tidak bisa dilakukan dalam sekejap. Tapi sekarang saatnya mulai. Program B40 dan diversifikasi sumber energi harus dilanjutkan dan dipercepat agar kita tidak terus tergantung pada minyak impor," ungkapnya.

Fahmy menambahkan, dalam lima tahun ke depan, Indonesia harus menyiapkan peta jalan energi alternatif yang konkret dan berkelanjutan agar lebih tahan terhadap gejolak global. "Kalau tidak, kita akan terus tersandera oleh harga minyak dunia dan krisis-krisis geopolitik seperti ini," katanya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.