KABARBURSA.COM - Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) Budihardjo Iduansjah meminta pemerintah untuk memperbanyak pembangunan pabrik asing di Indonesia.
Menurutnya, dengan mengundang lebih banyak merek internasional untuk memproduksi barang di Indonesia, pemerintah dapat memperkuat perdagangan domestik dan menciptakan lebih banyak peluang ekonomi.
“Jadi mohon dibantu pak Menko Perekonomian (Airlangga Hartarto) untuk membantu memperbanyak pabrik asing di Indonesia, kita undang brand-brand luar untuk bikin barang di Indonesia dan kita jual di indonesia,” katanya dalam pembukaan ‘Indonesia Retail Summit 2024’ di Swissotel Jakarta PIK Avenue, Jakarta Utara, Rabu, 28 Agustus 2024.
Lebih lanjut dia katakan, HIPPINDO mendukung segala bentuk perdagangan yang resmi. Dalam hal ini terkait dukungan terhadap produk-produk yang diproduksi di dalam negeri, meskipun memiliki merek internasional.
“HIPPINDO mendukung semua yang resmi dan itu untuk membuat perdagangan domestik kuat,” ujar dia.
Dia mencontohkan seperti ketika membeli minuman bersoda dari Amerika Serikat (AS), Coca-Cola. Meskipun minuman itu merupakan merek asing, tapi diproduksi di pabrik yang terletak di Bekasi, Jawa Barat. Begitu juga dengan perusahaan penyedia pakaian dari jepang, Uniqlo, yang telah memproduksi barangnya di Indonesia.
Jadi menurutnya, dengan membeli dua produk tersebut itu sama saja mendukung industri domestik karena produk tersebut diproduksi di Indonesia. Karena, setiap pembelian membantu perdagangan dalam negeri dan memperkuat ekonomi lokal.
“Walaupun itu merk (brand) luar negeri, kita sudah membantu perdagangan dalam negeri, karena pabriknya ada di Indonesia, jadi dengan membeli produk Indonesia tidak harus merek lokal, merek asing pun kita akan dukung,” kata Budihardjo.
Pabrik Coca-Cola di Indonesia
Pabrik Coca-Cola pertama di Indonesia berdiri pada tahun 1932 di Jakarta. Sebelumnya, pada tahun 1927, De Nederland Indische Meneral Water Fabrik (pabrik Air Mineral Hindia Belanda) membotolkan Coca-Cola untuk pertama kali di Batavia (Jakarta).
Pada tahun 1977, PT Coca-Cola Europacific Partners Indonesia (CCI) mendirikan pabrik Commercial Support Supply (CPS) di Cilangkap, Depok, Jawa Barat, untuk memenuhi pasokan sirup konsentrat Coca-Cola pabrik pembotolan di Indonesia.
CPS juga mengekspor produknya ke negara-negara tetangga seperti Singapura, Australia, Selandia Baru, Kamboja, Vietnam, dan Thailand.
Pada tahun 1982, PT Tirta Mukti Indah Bottling Company mulai membangun tiga pabriknya di Jalan Raya Bandung Garut. Pada tahun 1990-an, beberapa perusahaan independen mulai bergabung.
Pada tahun 2012, Coca-Cola Amatil Indonesia mengakuisisi pabrik baru di Cikedokan, Bekasi. Pada tahun 2016, Coca-Cola Amatil Indonesia memiliki lebih dari 12.000 karyawan di delapan pabrik pembotolan dan lebih dari 200 pusat penjualan dan distribusi di seluruh negeri.
Pabrik Uniqlo
Perusahaan pakaian Uniqlo beberapa waktu lalu membeberkan lokasi pabrik garmen mereka di seluruh dunia. Setengahnya berada di China dan 17 pabrik di Indonesia.
Dilaporkan Nikkei Asian Review, Uniqlo memiliki 242 pabrik di 11 negara. 128 di antaranya berada di China, namun perusahaan berusaha mengurangi ketergantungan ke China karena biaya tenaga kerja yang meningkat.
Vietnam menjadi lokasi pabrik terbanyak milik Uniqlo di kawasan Asia Tenggara dengan lebih dari 40 pabrik. Lokasinya tersebar merata seperti di Ho Chi Minh City, dan berbagai provinsi seperti Tay Ninh, Hai Duong, dan Binh Duong.
Di Indonesia, tercatat ada 17 pabrik Uniqlo. Lokasinya kebanyakan ada di Jawa Tengah seperti di kabupaten Semarang, meski ada juga pabrik di Jawa Barat Jawa Timur.
Pabrik Uniqlo di Jepang justru hanya ada dua, yakni di kota Shimabara, prefektur Nagasaki dan Daifuku Sakurai di prefektur Nara. Sedikitnya pabrik di Jepang karena biaya yang mahal dan pekerja yang menua.
Jokowi Resmikan Pabrik Baterai Litium
Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi meresmikan pabrik bahan anoda baterai litium milik PT Indonesia BTR New Energy Material di Kawasan Ekonomi Khusus Kendal pada hari ini, Rabu 7 Agustus 2024.
Pabrik ini, pada fase awal, akan memiliki kapasitas produksi 80 ribu ton material anoda per tahun. Kapasitas ini cukup untuk memasok komponen baterai untuk 1,5 juta mobil listrik setiap tahunnya. Nilai investasi untuk tahap pertama ini mencapai USD478 juta, setara dengan Rp7,69 triliun.
Fase kedua pembangunan pabrik akan meningkatkan kapasitas produksi menjadi 160 ribu ton per tahun, setara dengan bahan baku untuk 3 juta mobil listrik setiap tahun.
“Dengan ini, kita akan menjadi pemasok terbesar baik untuk baterai EV maupun kendaraan listriknya,” ujar Jokowi, Rabu 7 Agustus 2024.
Jokowi menjelaskan bahwa pabrik ini akan mengimpor natural graphite dari negara-negara Afrika. Sementara itu, artificial graphite akan diperoleh dari Kilang Pertamina di Riau, yang akan diolah menjadi bahan anoda baterai.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengungkapkan bahwa peningkatan kapasitas fase kedua akan dimulai pada awal kuartal IV-2024 dan ditargetkan selesai pada Maret 2025.
Luhut menyebutkan bahwa dengan kapasitas produksi 160 ribu ton per tahun, pabrik ini akan menjadi yang terbesar di dunia, menyaingi kapasitas pabrik di China. Saat ini, pabrik terbesar di China hanya memiliki kapasitas 100 ribu ton per tahun, Jepang 10 ribu ton per tahun, dan Korea Selatan 40 ribu ton per tahun.
“Kita akan melampaui kapasitas pabrik terbesar di China dalam waktu dekat,” tegas Luhut.
Perjalanan Anoda Baterai Litium
Pendirian pabrik anoda baterai litium bermula dari kebutuhan yang semakin meningkat akan baterai berkinerja tinggi untuk kendaraan listrik dan perangkat elektronik lainnya. Awal mula penelitian dan pengembangan anoda baterai litium dapat ditelusuri kembali ke era 1970-an ketika ilmuwan mulai mengeksplorasi potensi litium sebagai material anoda karena kapasitas penyimpanan energinya yang tinggi.
Pada tahun 1980-an, penemuan material grafit sebagai anoda litium-ion oleh Akira Yoshino membuka jalan bagi pembuatan baterai litium-ion yang lebih stabil dan aman. Inovasi ini menjadi dasar pengembangan pabrik anoda baterai litium modern.
Memasuki dekade 1990-an, permintaan akan baterai litium-ion meningkat pesat dengan kemajuan teknologi elektronik portabel seperti ponsel dan laptop. Perusahaan-perusahaan besar seperti Sony dan Panasonic mulai memproduksi baterai litium-ion dalam skala besar, mendorong investasi dalam pembangunan pabrik anoda baterai litium.
Dengan berkembangnya pasar kendaraan listrik di awal 2000-an, produsen baterai mulai memperluas kapasitas produksi anoda baterai litium. Perusahaan seperti Tesla, melalui kemitraan dengan Panasonic, mendirikan Gigafactory untuk memenuhi kebutuhan baterai kendaraan listrik mereka.
Di era 2020-an, perhatian terhadap keberlanjutan dan efisiensi produksi semakin meningkat. Pabrik-pabrik anoda baterai litium mulai berfokus pada penggunaan material ramah lingkungan dan metode produksi yang lebih efisien. Di Indonesia, Presiden Joko Widodo meresmikan pabrik anoda baterai litium PT Indonesia BTR New Energy Material di Kendal, yang merupakan salah satu upaya besar untuk menjadikan Indonesia sebagai pemain utama dalam industri baterai global.
Ke depan, perkembangan teknologi baterai solid-state dan penggunaan material anoda yang lebih canggih seperti silikon diperkirakan akan mengubah lanskap industri baterai litium. Pabrik-pabrik anoda baterai litium di seluruh dunia terus berinovasi untuk meningkatkan kinerja, keamanan, dan keberlanjutan produk mereka, menjawab tantangan kebutuhan energi masa depan.
Bahan dan logam untuk pembuatan katode dapat mencapai 30-40 persen dari biaya total sel baterai lithium, sementara bahan anoda mewakili sekitar 10-15 persen dari total biaya.
Dengan meningkatnya permintaan baterai lithium-ion, keberlanjutan dan efisiensi biaya menjadi semakin penting. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan meningkatkan penggunaan material daur ulang dalam produksi katode dan anoda. Konten daur ulang ini dapat berasal dari baterai bekas atau sisa-sisa produksi.
Kinerja baterai memang akan menurun seiring waktu, namun logam dan material berharga di dalamnya tidak habis terpakai. Dengan meningkatnya permintaan baterai lithium-ion, pemanfaatan material yang berkelanjutan dan hemat biaya pun menjadi krusial. Menggunakan konten daur ulang dalam produksi katode dan anoda menjadi salah satu solusi utama. Material daur ulang ini bisa berasal dari baterai yang sudah tidak dipakai atau dari sisa-sisa produksi. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.