Logo
>

ICW: 54 Persen Komisaris BUMN Rangkap Jabatan

Ekonom UPN Veteran Jakarta desak Kemenkeu dan KemenPAN-RB melarang ASN rangkap jabatan komisaris BUMN demi cegah konflik kepentingan dan jaga profesionalisme.

Ditulis oleh Desty Luthfiani
ICW: 54 Persen Komisaris BUMN Rangkap Jabatan
Ilustrasi rangkap jabatan di kalangan ASN. Foto: doik KabarBursa.com

KABARBURSA.COM – Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mendesak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian PAN-RB segera mengambil sikap tegas melarang aparatur sipil negara (ASN) merangkap jabatan sebagai komisaris di perusahaan pelat merah. 

Menurutnya, kebijakan pelarangan ini mendesak dilakukan untuk menghindari benturan kepentingan dan memperkuat tata kelola BUMN yang bersih, transparan, serta profesional. 

“Rangkap jabatan komisaris oleh ASN menciptakan benturan kepentingan, menumpulkan akuntabilitas, dan menggerus profesionalisme baik di birokrasi maupun di BUMN,” kata Achmad, Selasa, 4 November 2025. 

Ia menjelaskan bahwa praktik rangkap jabatan bukan hanya persoalan etika individu, melainkan masalah sistemik yang dapat merusak integritas kelembagaan negara. 

ASN, katanya, memiliki tanggung jawab merancang dan mengawasi kebijakan publik, sehingga tidak seharusnya duduk di posisi komisaris yang berpotensi terdampak langsung oleh kebijakan yang dibuatnya sendiri. 

“Perusahaan negara butuh mekanik yang memeriksa kendaraan, bukan sopir yang mengaudit dirinya sendiri,” ujar Achmad. 

Menurutnya, konflik kepentingan dalam rangkap jabatan tidak bisa diatasi hanya dengan izin berjenjang atau deklarasi formal. Ia menilai, satu-satunya langkah efektif adalah pelarangan total. 

“Larangan adalah rem tangan institusional yang memastikan kendaraan tata kelola tidak meluncur ke jurang abu-abu,” tegasnya. 

Achmad menyoroti tiga distorsi utama dari praktik rangkap jabatan: konflik kepentingan, berkurangnya fokus kerja ASN, dan penerimaan ganda dari sumber keuangan negara yang sama. 

“Publik berhak mempertanyakan kenapa negara harus membayar dua kali untuk satu jam kerja yang sama,” ujarnya. 

Dari sisi fiskal, Achmad menilai Kemenkeu memiliki tanggung jawab moral dan kelembagaan untuk menjaga keutuhan satu dompet negara.  

“Jika ASN menerima honorarium sebagai komisaris di perusahaan yang mendapat penyertaan modal atau fasilitas fiskal dari pemerintah, maka prinsip akuntabilitas fiskal menjadi kabur,” katanya. 

Menegakkan Arah Reformasi Kelembagaan 

Sementara itu, KemenPAN-RB disebut memegang peran penting dalam menjaga profesionalisme birokrasi. Menurut Achmad, larangan rangkap jabatan bukan bentuk pembatasan karier ASN, melainkan bentuk penghormatan terhadap tugas utama mereka sebagai pelayan publik. 

“ASN harus fokus pada outcome pelayanan, bukan terbagi oleh rapat-rapat dewan di perusahaan negara,” ujarnya. 

Untuk memastikan kebijakan berjalan efektif, Achmad mengusulkan langkah konkret berupa penerapan larangan prospektif bagi ASN aktif, masa transisi bagi pejabat yang sudah menjabat ganda, serta pembentukan talent pool nasional untuk calon komisaris independen dari kalangan profesional dan akademisi. 

Ia juga menekankan pentingnya transparansi penuh atas seluruh proses pengangkatan, izin, dan mitigasi konflik kepentingan, serta reformasi sistem honorarium agar berbasis kinerja. 

“Keterbukaan bukan sekadar akuntabilitas, tetapi juga pagar kepercayaan publik dan sinyal positif bagi investor,” tambahnya. 

Achmad mengingatkan bahwa rangkap jabatan mempersempit ruang regenerasi bagi profesional muda dan perempuan dalam posisi strategis BUMN. 

“BUMN butuh darah baru, bukan birokrat yang menambah portofolio jabatan,” ujarnya. 

Menurutnya, inilah momentum bagi pemerintah untuk menegaskan arah reformasi kelembagaan. “Melarang rangkap jabatan komisaris bagi ASN akan memurnikan peran, memperjelas akuntabilitas, dan meningkatkan kualitas pengawasan BUMN,” kata Achmad. 

Ia memperingatan bahwa kebijakan tegas ini bukan langkah anti-ASN, tetapi justru upaya pro-publik untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. 

“Publik berhak atas birokrasi yang hadir penuh dan BUMN yang diawasi secara objektif. Saatnya Kemenkeu dan KemenPAN-RB bertindak, bukan menunggu,” katanya. 

Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), dari total 263 anggota dewan komisaris dan dewan pengawas di BUMN, setidaknya 142 orang atau sekitar 54 persen terindikasi merangkap jabatan. Sebagian besar berasal dari kalangan pejabat aktif di kementerian dan lembaga negara, termasuk wakil menteri. 

Sejumlah nama yang disebutkan dalam laporan publik antara lain Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara yang juga menjabat sebagai Komisaris PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), serta Angga Raka Prabowo yang merangkap sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Digital sekaligus Komisaris Utama PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. 

Ada pula Ahmad Riza Patria yang selain menjabat sebagai Wakil Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, diketahui menjadi komisaris di PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel). 

Tokoh lain yang turut disorot ialah Diaz Hendropriyono, Wakil Menteri Lingkungan Hidup, yang juga menduduki posisi Komisaris Utama Telkomsel, serta Fahri Hamzah, Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang merangkap sebagai Komisaris PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. 

Laporan beberapa media mainstream juga mengungkapkan bahwa sedikitnya 33 pejabat setingkat wakil menteri di Kabinet Merah Putih kini menjabat di posisi komisaris BUMN atau anak usahanya.(*) 

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Desty Luthfiani

Desty Luthfiani seorang jurnalis muda yang bergabung dengan KabarBursa.com sejak Desember 2024 lalu. Perempuan yang akrab dengan sapaan Desty ini sudah berkecimpung di dunia jurnalistik cukup lama. Dimulai sejak mengenyam pendidikan di salah satu Universitas negeri di Surakarta dengan fokus komunikasi jurnalistik. Perempuan asal Jawa Tengah dulu juga aktif dalam kegiatan organisasi teater kampus, radio kampus dan pers mahasiswa jurusan. Selain itu dia juga sempat mendirikan komunitas peduli budaya dengan konten-konten kebudayaan bernama "Mata Budaya". 

Karir jurnalisnya dimulai saat Desty menjalani magang pendidikan di Times Indonesia biro Yogyakarta pada 2019-2020. Kemudian dilanjutkan magang pendidikan lagi di media lokal Solopos pada 2020. Dilanjutkan bekerja di beberapa media maenstream yang terverifikasi dewan pers.

Ia pernah ditempatkan di desk hukum kriminal, ekonomi dan nasional politik. Sekarang fokus penulisan di KabarBursa.com mengulas informasi seputar ekonomi dan pasar modal.

Motivasi yang diilhami Desty yakni "do anything what i want artinya melakukan segala sesuatu yang disuka. Melakukan segala sesuatu semaksimal mungkin, berpegang teguh pada kebenaran dan menjadi bermanfaat untuk Republik".