Logo
>

IMEF: Tambang Jangan Sekadar Cari Cuan

Ditulis oleh Dian Finka
IMEF: Tambang Jangan Sekadar Cari Cuan
Ilustrasi pengelolaan tambang batu bara di Indonesia. Foto: doc ESDM

KABARBURSA.COM - Ketua Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo, mengingatkan pemerintah agar tidak terjebak dalam euforia produksi batubara tanpa strategi jangka panjang yang berkelanjutan. 

Menurutnya, pengelolaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang mencapai ratusan jumlahnya perlu dibarengi dengan kebijakan pengendalian dan pemanfaatan energi yang lebih terarah.

“Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita bisa mengelola 844 IUP produksi dan 11 IUP eksplorasi yang sudah ada? Apakah kita sudah punya strategi untuk menciptakan multiplier effect dan mengurangi dampak lingkungannya?” ujar Singgih dalam forum Batu Bara dan Kedaulatan Energi di Jakarta Selatan, pada Jumat, 30 Mei 2025

Singgih menyoroti langkah India dan Tiongkok yang terus menggenjot produksi batubara sebagai sinyal bahwa pasar tidak akan kembali pada era harga tinggi. India bahkan menargetkan angka 1,3 miliar ton, sementara Tiongkok pernah menembus 4,3 miliar ton dan sempat mengguncang pasar global.

“Dengan kondisi seperti ini, berharap harga batubara naik itu ilusi. Fundamentalnya tidak mendukung. Jika tidak ada kendali, tambang-tambang akan semakin agresif, dan risiko terhadap lingkungan makin besar,” tegas Singgih.

Terkait komitmen Net Zero Emission (NZE), Singgih menilai India lebih realistis dengan target tahun 2070. Ia menyebut bahwa dalam dokumen Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terbaru, batubara masih memegang porsi dominan hingga 2060, mencapai 73,6 persen dalam bauran energi fosil nasional.

Menurutnya, selama masih dibutuhkan, batubara tetap punya ruang untuk dibangun kembali, asalkan mengikuti regulasi yang telah ditetapkan pemerintah, seperti Perpres No. 122.

“Artinya, bukan berarti PLTU batubara tidak boleh dibangun lagi. Tapi pembangunan itu harus berada dalam koridor bauran energi yang terukur dan terkendali,” paparnya.

Teknologi Harus Sejalan, Bukan Sekadar Target

Pemerintah memang telah menggagas penggunaan teknologi rendah emisi pasca-2030, salah satunya lewat program retrofitting pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan teknologi Carbon Capture Storage (CCS). Namun, Singgih mengingatkan bahwa teknologi ini tak bisa dipasang sembarangan.

“CCS itu butuh syarat geologi yang spesifik, seperti porositas batuan dan struktur bawah tanah. Tanpa itu, jangan bermimpi bisa langsung diterapkan secara luas,” katanya.

Di sisi lain, opsi co-firing atau pencampuran batubara dengan biomassa juga tengah diupayakan. Namun efektivitasnya bergantung dari jenis PLTU yang digunakan.

“Kalau tipe stoker, bisa pakai biomassa penuh. Tapi kalau tipe harvest-pool, paling-paling hanya bisa 5 sampai 10 persen. Jadi enggak bisa disamaratakan,” jelas Singgih.

Beralih dari Revenue ke Sustainability

Menurut Singgih, masa depan industri energi nasional bukan lagi sekadar mengejar pendapatan dari sumber daya alam, tetapi membangun keberlanjutan jangka panjang. Ia menilai bahwa pendekatan “resources for revenue” sudah waktunya digantikan dengan “resources for sustainability”.

“Transisi energi itu harus dibangun dari berbagai sisi. Bukan cuma soal gasifikasi atau PLTU bersih, tapi juga bagaimana karbon dari batubara bisa dimanfaatkan kembali, misalnya lewat lubrikasi dan teknologi turunan lainnya,” imbuhnya.

Industri Batu Bara Terjepit

Harga batu bara memang belum anjlok, namun tekanan mulai terasa di pasar domestik. Ketua Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo, mengungkapkan bahwa industri batu bara nasional kini berada di situasi yang kompleks. Tekanan harga global, kompetisi ekspor dengan India dan China, serta tantangan infrastruktur dalam negeri, menjadi kombinasi persoalan yang tidak bisa diabaikan.

Dalam forum media yang digelar Kamis, 29 Mei 2025, Singgih menekankan pentingnya melihat realitas di lapangan saat membicarakan transisi energi. Ia mengingatkan bahwa semangat menuju target nol emisi jangan sampai mengabaikan fondasi energi yang saat ini masih belum kokoh.

“Saya ingin mengajak kita semua melihat potret besar arah pembicaraan kita mengenai kegiatan energi—baik realitas saat ini maupun transisi energi,” ujar Singgih.

Ia juga menyoroti penurunan Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia yang menyentuh angka 46,7. Angka tersebut dinilai sebagai indikator bahwa sektor manufaktur tengah menghadapi tekanan yang cukup berat.

Singgih lantas membandingkan langkah strategis negara lain seperti India yang menurunkan harga batu baranya guna menjaga daya saing di tengah pelemahan permintaan global. Langkah itu, menurutnya, dapat dipahami sebagai respons atas dinamika pasar internasional yang kian kompetitif.

Situasi semakin rumit ketika harga batu bara Indonesia sempat menyentuh USD240 per ton, dengan potensi menembus USD400 per ton. Namun, dua pasar utama—India dan China—tetap bertahan di kisaran USD240, tak menunjukkan minat untuk membayar lebih. Hal ini membuat posisi Indonesia dalam rantai perdagangan menjadi sulit.

“Kita tidak punya banyak pilihan karena mereka adalah pasar besar bagi kita,” tegas Singgih.

Lebih jauh, ia menilai bahwa paradigma dalam pengelolaan energi nasional perlu bergeser. Jika sebelumnya pendapatan menjadi fokus utama, kini harus mulai diarahkan ke proses transisi energi yang lebih berkelanjutan.

“Kalau kita mau melihat satu potret saja dalam konteks kegiatan energi, kita harus memahami konsep yang berkembang. Dulu, mungkin sumber utama kita adalah revenue. Kini, kita mulai bergerak ke arah konsep transisi,” jelasnya.

Namun ia menegaskan bahwa arah transisi tersebut tak bisa dipisahkan dari kondisi infrastruktur yang sudah terbangun selama ini. Artinya, strategi menuju energi hijau harus realistis, dan disesuaikan dengan kemampuan aktual di lapangan.

“Kalau kita bicara transisi energi, kita juga harus memahami bagaimana infrastruktur energi saat ini dibangun,” katanya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.