Logo
>

IMF Pangkas Proyeksi, Ekonomi Indonesia Terancam Merosot

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
IMF Pangkas Proyeksi, Ekonomi Indonesia Terancam Merosot
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi tumbuh di bawah 5 persen. (Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai pernyataan Dana Moneter Internasional (IMF) yang menurunkan proyeksi pertumbuhan global, termasuk Indonesia, mencerminkan kekhawatiran besar terhadap dampak jangka pendek kebijakan agresif sejumlah negara besar.

    Ia menyoroti langkah Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menaikkan tarif secara agresif terhadap hampir seluruh mitra dagangnya, seperti Tiongkok, Eropa, dan negara-negara berkembang. Kebijakan tersebut memicu reaksi pasar global dalam bentuk ketidakpastian dan volatilitas tinggi.

    “Ketika Presiden Trump menaikkan tarif secara agresif terhadap hampir seluruh mitra dagangnya, termasuk Tiongkok, Eropa, dan negara-negara berkembang, pasar global merespons dengan ketidakpastian dan volatilitas tinggi,” jelas Syafruddin dalam keterangan tertulis, Rabu, 23 April 2025.

    Menurut IMF, pertumbuhan ekonomi global 2025 diperkirakan hanya akan mencapai 2,8 persen—tingkat terendah sejak pandemi Covid-19. Bagi Indonesia, proyeksi tersebut bahkan turun di bawah 5 persen. Hal ini menunjukkan tekanan serius terhadap fondasi ekonomi nasional, terutama dari sisi ekspor dan konsumsi.

    “Bagi Indonesia, proyeksi turun menjadi di bawah 5 persen menandakan bahwa fondasi ekspor dan konsumsi nasional tertekan akibat kombinasi dari perlambatan ekonomi mitra dagang utama, fluktuasi harga komoditas, dan pelemahan daya beli domestik,” terangnya.

    Melihat kondisi tersebut, Syafruddin menekankan pentingnya langkah strategis pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah tekanan global.

    “Sinyal ini penting sebagai peringatan bahwa Indonesia harus segera mengambil kebijakan penyeimbang, tidak hanya untuk memperkuat ketahanan ekonomi domestik, tetapi juga untuk menyusun ulang strategi dagang dan investasi luar negeri agar lebih adaptif di tengah tekanan global yang terus berubah,” tegasnya.

    IMF Ramal Ekonomi RI Hanya Tumbuh 4,7 Persen

    Untuk diketahui, Dana Moneter Internasional (IMF) telah menurunkan estimasi pertumbuhan ekonomi RI menjadi hanya 4,7 persen untuk tahun 2025 dan 2026, menurut laporan World Economic Outlook edisi April 2025 yang dirilis Selasa malam 22 April 2025.

    Angka ini turun dari perkiraan awal dalam laporan Januari lalu yang masih optimistis menempatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 5,1 persen. Pemangkasan proyeksi ini tak lepas dari tekanan eksternal, khususnya kebijakan perdagangan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump.

    Penerapan tarif dagang resiprokal oleh AS menjadi batu sandungan baru bagi ekspor RI. Pemerintah mencatat, Indonesia kini dikenakan tarif sebesar 32 persen dan bisa melonjak hingga 47 persen untuk beberapa komoditas tertentu.

    Langkah proteksionis tersebut dipandang IMF sebagai faktor utama yang akan memperdalam defisit neraca transaksi berjalan Indonesia, dari minus 0,6 persen pada 2024 menjadi minus 1,5 persen pada 2025, dan makin dalam ke 1,6 persen pada 2026.

    Tak hanya ekspor yang terdampak, tekanan ini juga diperkirakan akan mengganggu stabilitas ketenagakerjaan. IMF memproyeksikan tingkat pengangguran di Indonesia akan meningkat perlahan dari 4,9 persen pada 2024 menjadi 5 persen pada 2025, lalu naik tipis lagi ke 5,1 persen pada 2026.

    Ironisnya, di saat Indonesia tersendat, beberapa negara tetangga masih menunjukkan resiliensi. Vietnam, meski turut terimbas kebijakan tarif dari AS, tetap diproyeksi tumbuh lebih tinggi dari Indonesia. IMF memprediksi ekonomi Vietnam akan naik sebesar 5,2 persen pada 2025, meski melambat dari realisasi 2024 yang mencapai 7,1 persen. Namun perlambatan itu diperkirakan makin tajam di 2026, dengan pertumbuhan hanya sekitar 4 persen.

    Sementara itu, Filipina diprediksi akan tumbuh 5,5 persen tahun depan, turun sedikit dari 5,7 persen di 2024, namun diperkirakan kembali bangkit menjadi 5,8 persen pada 2026.

    Dengan begitu, posisi Indonesia sebagai salah satu motor ekonomi kawasan ASEAN mulai dipertanyakan. Jika tren ini berlanjut, bukan tak mungkin Vietnam dan Filipina akan mengambil alih sorotan investor asing yang selama ini melihat Indonesia sebagai pasar utama di Asia Tenggara.

    Adapun Dosen Ekonomi Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi nasional kemungkinan besar memang tidak akan menembus angka 5 persen. 

    Menurutnya, penyebab utamanya adalah pelemahan pada konsumsi rumah tangga, yang sejatinya menjadi penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

    “Tingkat konsumsi di Indonesia sedang mengalami penurunan. Padahal ekonomi Indonesia itu 56-58 persen dari konsumsi rumah tangga,” ujar Wijayanto dalam diskusi yang bertajuk Trump Trade War: Menyelamatkan Pasar Modal, Menyehatkan Ekonomi Indonesia, Jumat, 11 April 2025.

    Wijayanto memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama kemungkinan hanya berada di kisaran 4,7-4,8 persen. Hal serupa diperkirakan akan berlanjut di kuartal kedua. 

    “Kuartal kedua, year-on-year ya, kuartal kedua mungkin juga berada di level yang sama,” ujarnya

    Menurutnya, tekanan global yang semakin memburuk turut berkontribusi terhadap sikap kehati-hatian di kalangan pelaku ekonomi. Ketidakpastian ini membuat banyak pihak, termasuk pengusaha dan masyarakat umum, cenderung bersikap wait and see.

    “Kenapa global semakin memburuk? Ini membuat secara psikologi semua orang wait and see. Apakah ini pengusaha, apakah ini masyarakat yang akan mengkonsumsi,” ujarnya.

    Wijayanto juga menyoroti peran penting pembiayaan dalam aktivitas ekonomi. Di tengah situasi yang tidak menentu, masyarakat cenderung menahan diri untuk mengambil keputusan finansial jangka panjang, seperti membeli rumah atau kendaraan.

    “Banyak sekali transaksi ekonomi itu difasilitasi oleh pinjaman. Dalam situasi sangat tidak menentu ini, orang pasti berpikir ulang untuk komit melakukan transaksi yang berdampak jangka panjang. Misalnya membeli rumah, membeli mobil, dan lain sebagainya. Apalagi sekutu juga belum tentu stabil, kemudian pendapatan konsumen juga belum tentu stabil,” jelasnya.

    Melihat kondisi ini, Wijayanto mengusulkan agar pemerintah melakukan penyesuaian terhadap program-program prioritasnya. Ia menyarankan agar fokus anggaran dialihkan sementara ke program jangka pendek yang berdampak langsung pada masyarakat.

    “Makanya saya mengusulkan supaya pemerintah melakukan rekalibrasi program-program besar jangka panjangnya dialokasikan untuk program-program yang immediate, yang short term, yang menciptakan lapangan kerja, mendongkrak daya beli,” ujarnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.