KABARBURSA.COM - Rencana ambisius Presiden Terpilih, Prabowo Subianto, untuk melebur Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai menjadi Badan Otorita Penerimaan Negara telah memicu reaksi tajam, termasuk dari Dana Moneter Internasional (IMF). Langkah yang digadang-gadang sebagai upaya untuk meningkatkan rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (tax-to-GDP ratio) ini dianggap berisiko tinggi jika tidak dipersiapkan dengan matang.
IMF, dalam dokumen terbarunya, memberikan peringatan serius bahwa pembentukan badan baru ini bisa menjadi bumerang jika tidak dirancang dengan teliti.
"Rencana untuk membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) harus dirancang dengan hati-hati, karena restrukturisasi seperti itu mungkin akan memakan banyak biaya,” tulis IMF, dikutip Senin, 12 Agustus 2024.
Menurut IMF, justru masalah mendasar dalam administrasi perpajakan Indonesia perlu diatasi terlebih dahulu sebelum memulai perubahan besar seperti ini.
IMF menyebutkan, belajar dari pengalaman internasional memperlihatkan keberhasilan dalam administrasi penerimaan tidak hanya bergantung pada restrukturisasi, tetapi juga pada perbaikan manajemen risiko, digitalisasi, dan peningkatan basis wajib pajak.
Lebih lanjut, IMF secara tegas menyatakan, bahwa target Prabowo untuk meningkatkan pendapatan hingga 23 persen dari produk domestik bruto (PDB) adalah misi yang sangat ambisius, dan hampir mustahil tercapai tanpa reformasi besar-besaran yang dilakukan dengan hati-hati.
IMF juga mengingatkan agar kebijakan perpajakan, termasuk pembatasan insentif pajak dan pembenahan belanja perpajakan, tidak dijadikan alat politik yang justru merugikan negara.
Oleh karena itu, IMF menekankan perlunya reformasi kebijakan perpajakan yang ambisius, selain dari implementasi penuh Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Selanjutnya, lembaga internasional yang memberikan utang kepada negara anggotanya itu juga menyarankan agar Pemerintah Indonesia memperbarui Strategi Penerimaan Jangka Menengah (MTRS) 2017, yang mencakup penguatan pajak langsung dan tidak langsung serta meminimalkan kebocoran dari insentif perpajakan agar lebih tepat sasaran. Salah satu langkah lain untuk mencapai target rasio pajak tersebut adalah dengan meninjau kembali belanja pajak (tax expenditure).
Menurut data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), nilai belanja perpajakan Indonesia pada tahun 2022 tercatat mencapai Rp323,5 triliun atau sebesar 1,65 pesen dari PDB, meningkat 4,4 persen dibandingkan tahun 2021 yang sebesar Rp310,0 triliun atau 1,83 persen dari PDB.
IMF mendorong pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa pembebasan pajak dan insentif tetap terbatas guna mencegah erosi basis pajak dan mengamankan peningkatan penerimaan pajak dalam jangka menengah.
Meskipun demikian, menjelang pengumuman Nota Keuangan dan RAPBN 2025, baik pemerintah petahana maupun pemerintah terpilih belum mengungkapkan secara rinci rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara.
Praktik Korupsi Marak
Menanggapi itu, Center of Reform on Economics (CORE) menilai minimnya pendapatan negara bukan tentang independensi kelembagaan. Melainkan korupsi yang masih marak di dalam tubuh kelembagaan itu sendiri. Artinya Badan Penerimaan Negara (BPN) dianggap bukan menjadi solusi untuk meningkatkan pendapatan negara.
“Persoalannya bukan lembaga yang berdiri sendiri atau di bawah Kementerian Keuangan. Tapi apakah itu akan mengurangi korupsi atau tidak,” kata Ekonom Core, Akhmad Akbar Susamto, kepada Kabar Bursa, Senin 12 Juli 2024.
Menurutnya, usulan pembentukan badan penerimaan negara itu berangkat dari asumsi bahwa dirjen pajak dan dirjen bea cukai tidak cukup kuat untuk bisa menjadi sumber penerima negara.
Padahal, penerimaan negara paling besar didapat dari pajak dan cukai. Yang mana kata dia, kedua lembaga itu masih lemah dan belum ideal lantaran masih banyak prakrik korupsi yang melenggang bebas dalam tubuh pemerintahan.
Oleh karena itu, jika memang isu utamanya adalah meningkatkan pendapatan pajak, dia menganggap, membuat badan sendiri bukanlah jawaban yang solutif.
“pertanyaannya apakah pendapatan pajak akan meningkat? belum tentu juga. Korupsi berkurang? belum tentu juga. Karena kita tahu, korupsi itu terjadi bukan hanya di yang bawah-bawah saja, atas juga iya. Menteri-menteri itu korupsi juga ada,” ujar Akbar Susamto.
Menurut Akbar, praktik korupsi tersebut menyebabkan kebocoran anggaran. Baik dalam pengeluaran ataupun penerimaan pajak.
Dia menjelaskan, korupsi dalam hal ini bukan dalam artian ada belanja yang tidak tepat sasaran. Melainkan, ada penerimaan yang harusnya masuk negara Tapi tidak dimasukkan ke dalam pendapatan negara.
“Kalau kaitannya dengan kebocorannya sebenarnya bukan dalam bentuk pengeluaran ya, itu lebih kecil. Tapi dari sisi penerimaan yang harusnya masuk negara, tapi enggak masuk,” jelas dia.
Dia mencontohkan, masih ada praktik pembayar pajak yang seringkali tidak bayar sesuai dengan kewajibannya.
Misal, seharusnya membayar sekian miliar. Tapi bisa hanya membayar Rp1 miliar, tapi petugas pajaknya dikasih kompensasi, imbalan berupa uang. “Itu salah satu modus yang paling sering dilakukan,” tegas Akbar.
Begitupun juga di cukai. Ada yang ketika sedang dilakukan pemeriksaan tidak memberikan cukai aslinya. “Harusnya cukai yang digunakan sekian lalu kemudian yang dilaporkan sekian, selebihnya cukai palsu,” ungkapnya.
Ada juga di bea atau tarif. Kata dia, misal impor barang dari luar negeri. Seharusnya importir atau individu yang membawa barang masuk ke Indonesia dikenakan bea masuk.
tapi kemudian tidak dikenai bea masuk atau beanya kecil sekali dengan kompensasi bayar kepada petugasnya.
“Semacam itu modus-modusnya. Sehingga yang terjadi pendapran negaranya Jadi kecil sekali,” tuturnya.
Oleh karena itu, dia tidak bisa menjamin, wacana pembentukan badan penerimaan negara bisa menjadi solusi atas minimnya pendapatan negara dari pajak atau tidak.
Kendati demikian, dia mengatakan, pembentukan lembaga tersebut memiliki sisi positif. Yang mana bisa membuat badan itu memiliki power yang lebih kuat karena langsung berada di bawah presiden.
Di samping itu, tanggung jawab Kementerian Keuangan juga jadi bisa lebih difokuskan sebagai treasury atau yakni manajemen kas, investasi kas, dan transaksi pembayaran.
“Kalau dia langsung di bawah presiden, dia punya power lebih kuat, kemudian dapat mengurangi beban dari Kementerian Keuangan, jadi Kemenkeu bisa lebih fokus sebagai treasury,” ujar dia.
Namun, di luar itu, ketika dibuat badan berdiri sendiri, otomatis akan ada lembaga baru, yang mana membuang banyak waktu dalam hal persiapan.
Pasalnya, opsi penataannya kelembagaan tidak mudah. Serta butuh anggaran yang besar. Di tambah harus mencari pejabat yang levelnya di atas direktorat jendral.
“Belanjanya juga lebih besar pengeluaran. Belum lagi berarti ada pejabat yang akan lebih tinggi levelnya. Susah kan pejabat tertingginya bukan hanya sekedar direktorat jenderal,” jelasnya.
Oleh karena itu, dia kembali menegaskan, pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) belum tentu dapat menjadi solusi dalam hal peningkatan pendapatan pajak. Lantaran memiliki sisi baik dan buruk yang belum bisa dipastikan.
“Pendapat saya sampai di sini saja, bahwa semuanya sama-sama belum pasti. Saya tidak bisa mengatakan apakah itu lebih baik atau tidak lebih baik. Belum tentu,” pungkas Akbar. (*)